Info




SELAMAT DATANG DI WEB Haris Gudang Ilmu



Selamat datang di Web Side saya , saya harap anda senang berada di Web sederhana ini. Web ini saya tulis dengan komputer yang sederhana dan koneksi internet yang juga sederhana. Saya berharap Anda sering datang kembali. Silahkan anda mencari hal-hal yang baru di blog saya ini. Terima Kasih



SEKILAS HARIS GUDANG ILMU



Nama saya Mohammad Haris saya seorang yang mempunyai Web Side ini . Saya mulai belajar blogger sejak bulan Oktober 2009, dan blog ini saya buat pada bulan January 2009. Terimakasih Atas Kunjungannya.Follow Grup saya di https://www.facebook.com/harisgudangilmu?ref=hl







Exit
Jangan Lupa Klik Like Ya

Social Icons

My Biodata Admin



Nama:Muhammad Haris Yuliandra
Angkatan Ke 2 Anak Didikan Dari
Sekolah SMK Negri 1 Kutalimbaru
Sudah Tamat

Selamat Bergabung Di Blog Saya






selamat berkujung di blog saya semoga apa yang saya berikan kepada anda semoga bermanfaat

Sabtu, 13 Agustus 2016

Sultan van Langkat

Lambang Kesultanan Langkat


Meskipun Kesultanan Aceh menggempur Aru dengan hebat, menurut Zainal Arifin dalam buku “Subuh Kelabu di Bukit Kubu” (2002) yang diterbitkan oleh Dewan Kesenian Langkat, petinggi Aru yang baru itu tak turut tewas. Ia melarikan diri ke Kota Rentang Hamparan Perak, Deli Serdang kini (Sumatera Utara), dan mendirikan kerajaan baru dengan rajanya yang bernama Dewa Syahdan (1500-1580). Kerajaan inilah yang kemudian melahirkan Kerajaan Langkat.

Langkat berasal dari nama sebuah pohon yang menyerupai pohon langsat. Pohon langkat memiliki buah yang lebih besar dari buah langsat namun lebih kecil dari buah duku. Rasanya disebut-sebut pahit dan kelat. Pohon ini dahulu banyak dijumpai di tepian Sungai Langkat, yakni di hilir Sungai Batang Serangan yang mengaliri kota Tanjung Pura. Hanya saja, pohon itu kini sudah punah.

Selain itu, yang menarik adalah pengakuan dari para tetua Langkat, hingga kini, yang menganggap dirinya adalah keturunan marga Perangin-angin. Utamanya yang berasal dari Bahorok maupun Tanjung Pura. Padahal, jika dilihat dari pandangan orang Karo semula ihwal Kerajaan Aru, tentu ini menjadi membingungkan.

Di masa Kerajaan Langkat, para keturunan pembesar Aru yang masih berada di Besitang, Aru I, kembali membangun reruntuhan kerajaan yang sudah luluh lantak. Kawasan Besitang kemudian menjadi kejuruan yang berada dalam lingkup Kerajaan Langkat. Kejuruan ini memiliki kawasan sampai ke Salahaji, desa di Kecamatan Pematang Jaya kini (Kabupaten Langkat). Sedangkan Kerajaan Langkat sendiri meluaskan wilayahnya sampai ke Tamiang, Kabupaten Aceh Tamiang kini (Aceh), dan Seruai, Deli Serdang kini.

Besitang kemudian dikenal sangat setia pada Kerajaan Langkat. Ia kerap menjadi palang pintu bagi pihak lain yang ingin melakukan penyerbuan kepada Kerajaan Langkat, seperti serangan dari Gayo dan Alas.

Berkaitan dengan penguasa Aru, tidak dapat dipisahkan dengan peran lembaga Raja Berempat, yang menurut Peret (2010) telah ada sebelum pengaruh Aceh. Raja Urung di pesisir ini meliputi Urung Sunggal. Urung XII Kuta, Urung Sukapiring dan Urung Senembah, yang masing-masing berkaitan dengan Raja Urung di dataran tinggi (Karo), yakni Urung Telu Kuru merga Karo-Karo), Urung XII Kuta (merga Karo-Karo), Urung Sukapiring (merga Karo-Karo) dan Urung VII Kuta (merga Barus). Dalam kesempatan berikut, Raja Berempat ini berperan dalam penentuan calon pengganti Sultan di Deli dan Serdang saja, dengan menempakan Datuk Sunggal sebagai Ulun Janji.

1580 - Dewa Syahdan wafat, Kerajaan Langkat kemudian dipimpin oleh anaknya, Panglima Dewa Sakdi (Indra Sakti), yang memerintah dari 1580 takat 1612.

1612 - Dewa Sakdi yang bergelar Kejuruan Hitam ini dikabarkan hilang (tewas) dalam penyerangan yang kembali dilakukan oleh Kerajaan Aceh. Dewa Sakti digantikan oleh anaknya Sultan Abdullah yang lebih dikenal dengan nama Marhum Guri. Akan tetapi, dalam sebuah terombo, tak ditemukan nama Sultan Abdullah sebagai anak Dewa Sakti. Terombo tersebut menampilkan bahwa anak dari Dewa Sakti adalah T. Tan Djabar dan T. Tan Husin. Dan dari Tan Husin, generasinya adalah T. Djalaluddin yang disebut juga Datuk Leka (Terusan), T. Bandarsjah, T. Oelak, dan T. Gaharu.

Sultan Abdullah yang banyak disebut dalam literatur kemudian wafat dan dimakamkan di Buluh Cina Hamparan Perak dengan gelar Marhum Guri. Selanjutnya, tahta Kerajaan Langkat jatuh pada anak Sultan Abdullah, yakni Raja Kahar (1673-1750). Di zaman Raja Kahar, pusat Kerajaan Langkat dipindahkan dari Kota Rentang Hamparan Perak ke Kota Dalam Secanggang.

1673 - Sultan Abdullah digantikan oleh Raja Kahar. Beliau adalah pendiri Kerajaan Langkat dan berzetel di Kota Dalam Secanggang, daerah antara Stabat dengan Kampung Inai kira-kira pertengahan abad ke-18.
Berpedoman kepada tradisi dan kebiasaan masyarakat Melayu Langkat, maka dapatlah ditetapkan kapan Raja Kahar mendirikan Kota Dalam yang merupakan cikal bakal Kerajaan Langkat kemudian hari. Setelah menelusuri beberapa sumber dan dilakukan perhitungan, maka Raja Kahar mendirikan kerajaannya bertepatan tanggal 12 Rabiul Awal 1163 H, atau tanggal 17 Januari 1750. Melalui seminar yang berlangsung di Stabat, pada tanggal 20 Juli 1994 atas kerjasama Tim Pemkab Langkat dengan sejumlah pakar dari jurusan sejarah Fakultas Sastra USU, maka dapat menentukan Hari Jadi Kabupaten Langkat yaitu 17 Januari 1750.
Perkembangan selanjutnya Kota Binjai pernah jadi Ibukota Kabupaten Langkat hingga pada saat ini Kabupaten Langkat beribukota Stabat, dan berdasarkan Perda Nomor 11 tahun 1995 telah ditetapkan Hari Jadi Kabupaten Langkat 17 Januari 1750, dengan Motto : Bersatu Sekata Berpadu Berjaya.
Tak hanya itu, Raja Kahar juga melakukan banyak perubahan, baik dalam manajemen negara maupun kepemimpinan. Raja Kahar memiliki tiga orang anak, yakni Badiulzaman yang bergelar Sutan Bendahara, Sutan Husin, dan Dewi Tahrul

1750 - Raja Kahar Mangkat diangkatlah Badiulzaman Sutan Bendahara sebagai Raja Langkat dan Sutan Husin menjadi raja di Bahorok. Saat Sutan Bendahara memimpin, kesultanan Langkat berhasil meluaskan wilayah kekuasaannya.

1814 - Badiulzaman glr.Sutan Bendahara pun mangkat, posisinya digantikan oleh anaknya Tuah Hitam. Tuah Hitam, yang memerintah sejak 1815 takat 1823. Oleh Tuah Hitam, Istana Kerajaan Langkat dipindahkan ke Jentera Malai yang tak jauh dari Kota Dalam. Sementara itu, adik Tuah Hitam, Raja Wan Jabar menjadi raja di Selesai, dan adik ketiga, Syahban, menjadi raja di Pungai. Sedangkan si bungsu, Indra Bongsu, tetap tinggal bersama Tuah Hitam.

Di masa kepemimpinan Tuah Hitam, serangan terhadap Kerajaan Langkat kini berasal dari Kerajaan Belanda dan Kerajaan Siak Sri Inderapura. Pada awal abad ke-19, serangan bertubi-tubi Kerajaan Siak Sri Inderapura membuat Kerajaan Langkat takluk.


1823 - Dalam catatan Zainal Arifin, pasukan Tuah Hitam bergabung dengan Sultan Panglima Mengedar Alam dari Kerajaan Deli. Tujuannya untuk merebut kembali Kerajaan Langkat dari Kerajaan Siak Sri Inderapura dan Belanda. Tetapi, dalam perjalanan kembali dari Deli, Tuah Hitam tewas.
Sementara itu, Kerajaan Siak Sri Inderapura membuat gerakan untuk menjamin kesetiaan Kerajaan Langkat, yakni dengan mengambil anak Tuah Hitam, Nobatsyah, dan anak Indra Bongsu, Raja Ahmad. Keduanya dibawa ke Kerajaan Siak Sri Inderapura untuk diindoktrinasi dan dikawinkan dengan putri-putri Siak. Nobatsyah kawin dengan Tengku Fatimah dan Raja Ahmad kawin dengan Tengku Kanah.

Setelah itu, keduanya dipulangkan kembali dan menjadi raja ganda di Kerajaan Langkat. Nobatsyah diberi gelar Raja Bendahara Kejuruan Jepura Bilad Jentera Malai dan Raja Ahmad bergelar Kejuruan Muda Wallah Jepura Bilad Langkat.
Seperti sudah diperkirakan, kepemimpinan ganda Nobatsyah dan Raja Ahmad menuai pertikaian. Sengketa kekuasaan berujung pada tewasnya Nobatsyah di tangan Raja Ahmad. 


1824 - Selanjutnya, Raja Ahmad menjadi Raja Kerajaan Langkat antara 1824. Di zaman Raja Ahmad, pusat Kerajaan Langkat dipindahkan ke Gebang, yakni di sekitar Desa Air Tawar kini. 

Pada pertengahan abad 19, menurut situs www.acehpedia.org, Kerajaan Aceh menggalang kekuatan dari negara-negara di Sumatera Timur untuk menghadang laju gerakan Belanda bersama pembesar-pembesar Siak. Di masa ini, negara-negara di Sumatera Timur, seperti Kerajaan Deli, Kerajaan Serdang (yang merupakan pecahan dari Deli), dan Kerajaan Asahan menyambut baik ajakan Kerajaan Aceh untuk memerangi Belanda. Bahkan ada yang mengibarkan bendera Inggris sebagai simbol perlawanan.

Akan tetapi, hanya Kerajaan Langkat lah yang menolak seruan perang sabil itu, meski Kejuruan Bahorok mengobarkan api pada rakyat untuk berperang dengan Belanda. Bahkan Sultan Musa meminta bantuan Belanda-Siak untuk menghantam Kejuruan Stabat karena bekerjasama dengan Kerajaan Aceh.

Saat Kerajaan Langkat menuai kontroversi, Kejuruan Besitang tetap menampilan kesetiaannya. Dalam catatan Zainal Arifin, ketika Tengku Musa banyak mendapat serangan, termasuk dari Raja Stabat, Bahorok, dan Bingai, Besitang tetap menjadi perisai bagi Kerajaan Langkat. Meski demikian, ada juga sejumlah petinggi Besitang yang mengorganisasikan rakyat untuk menentang Belanda, walau kemudian diredam.

Tengku Musa atau Sultan Musa memiliki tiga orang anak, yakni Tengku Sulong yang menjabat Pangeran Langkat Hulu, Tengku Hamzah yang menjabat Pangeran Langkat Hilir, dan Tengku Abdul Aziz.

Dalam tradisi kerajaan, anak tertua adalah pewaris tahta. Namun, Sultan Musa tak melakukan itu. Kemudian tahta diberikan kepada Tengku Hamzah al Haz untuk menggantikan posisinya, tetapi Tengku Hamzah bukanlah dari istri seorang Keturunan Bangsawan dan juga dikarenakan ada tarik menarik kekuatan politik dimasa itu dimana Tengku Hamzah menentang kekuasaan Belanda.

1870 - Raja Ahmad tewas karena diracun. Dan anaknya, Tuanku Sultan Haji Musa al-Khalid al-Mahadiah Muazzam Shah (Tengku Ngah), naik menjadi Sultan Langkat I. Di masa Tengku Musa inilah Kerajaan Langkat banyak mendapat tekanan, baik dari Aceh maupun negeri-negeri yang berada di dalam Kerajaan Langkat sendiri.

1876 -  Seorang administrator Aeilko Zijlker Yohanes Groninger dari Deli Maatschappij menemu konsesi minyak Telaga Said di kawasan Kerajaan Langkat. Lihat artikelnya disini .

Perkawinan Tengku Musa dan Tengku Maslurah memang perkawinan politik. Setelah Langkat menggempur Bangai, maka sang permaisuri diambil oleh sang pemenang, sebagaimana yang terjadi pada zaman raja-raja. Akan tetapi, Maslurah tetap meminta syarat, yakni anak dari perkawinannya dengan Sultan Musa kelak haruslah menjadi Raja Langkat.


Istana Darul Aman - Langkat

Tindakan Sultan Musa melahirkan protes dari anak-anaknya yang lain, terutama Tengku Hamzah. Sempat terjadi upaya kudeta, namun tak berhasil. Tengku Hamzah lalu memisahkan diri dari Istana Kerajaan Langkat, Darul Aman, dan membangun istananya sendiri di Kota Pati. Karena posisinya yang berada di tanjung atau persimpangan, maka Tengku Hamzah juga dikenal sebagai Pangeran Tanjung. Dan tak jauh dari istana, ada sebuah pura atau pintu gerbang tempat para anak raja mandi di sungai. Alhasil, nama kawasan itu kemudian disebut Tanjung Pura.


Tengku Pangeran Adil - Luhak Langkat Hulu

Tengku Hamzah kemudian memiliki seorang putra bernama Tengku Pangeran Adil. Pangeran Adil dikenal pemberani dan sangat membenci Belanda. Beberapa kali ia terlibat perkelahian dengan orang-orang dari Eropa itu. Dan dari Pangeran Adillah lahir anak bernama Tengku Amir Hamzah, seorang penyair besar yang kelak turut menggelorakan gerakan anti kolonialisme melalui gagasan Indonesia.


Tengku Pangeran Jambak
Luhak Langkat Hilir

Atas kebijakan dari YM Tengku Musa, Anak-anak dari Pangeran Tanjung (Tengku Hamzah) diberikan wewenang memimpin Luhak Langkat Hulu YM Tengku Pangeran Adil, YM Tengku Pangeran Jambak, selanjutnya dilanjutkan Oleh YM Tengku Pangeran Muhammad Yasin (dalam royal ark tahun Desember 2001 tidak menuliskan YM Tengku Pangeran jambak sementara dilitiratur Pemerintahan Langkat nama beliau sebagai Luhak Langkat Hilir dan di edisi desember 2003 nama beliau di terakan dimana beliau mangkat dalam usia muda 37 tahun) dan Langkat Tamiang Tengku Jaaffar

1889 - Resident Van Sumatra Oostkust, Michielsen melakukan pelawatan ke istana Sultan Musa. Artikelnya disini

19 Juli 1893 - Tengku Mahmud anak Tuanku Aziz Abdul Djalil dan istrinya Tengku Alautiah binti Raja Muda Tengku Sulaiman, Tengku Mahasuri, adik dari Tengku Sulaiman ibni al-Marhum Sultan Panglima Mangedar Otteman, Raja Muda Deli, lahir di Kota Dalam.



Abdul Aziz Abdul Djalil Rachmat Sjah 
Sultan Langkat II

1896 - Akhirnya Tengku Musa memberikan tahtanya pada si bungsu, Tuanku Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rakhmat Shah menjadi Sultan Langkat II, meski belum dilantik karena alasan usia yang terlalu muda.

Mesjid Azizi, Tanjung Pura
1899 - Masjid Azizi berdiri di atas tanah seluas 18.000 meter persegi, Masjid Azizi dibangun atas anjuran Syekh Abdul Wahab Babussalam pada masa pemerintahan Sultan Musa al-Muazzamsyah. Mulai dibangun pada tahun 1320 H (1899M) atau setidaknya 149 tahun sejak Langkat resmi berdiri sebagai Kesultanan, namun Sultan Musa wafat sebelum pembangunan masjid selesari dilaksanakan. Pembangunan diteruskan oleh putranya yang bergelar Sultan Abdul Aziz Djalil Rachmat Syah (1897-1927) Sultan Langkat ke-7

Rancangan masjid ditangani oleh seorang arsitek berkebangsaan Jerman, para pekerjanya banyak dari etnis Tionghoa dan masyarakat Langkat sendiri. Sedangkan bahan bangunan didatangkan dari Penang Malaysia dan Singapura dengan menggunakan kapal ke Tanjungpura. Pada masa itu sungai Batang Serangan masih berfungsi baik dan kapal-kapal dengan tonase 600 ton dapat melayarinya.

Masjid Azizi diresmikan sendiri oleh Sultan Abdul Aziz Djalil Rachmat Syah bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw dan peringatan perubahan Kerajaan menjadi kesultanan Langkat pada tanggal 12 Rabiul Awal 1320H (13 Juni 1902 M) menghabiskan dana sekitar 200,000 Ringgit, dan dinamai masjid Azizi sesuai dengan nama Sultan Abdul Aziz Djalil Rachmat Syah.

1907 - Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rakhmat Shah menandatangani politik kontrak dengan Belanda yang diwakili oleh Jacob Ballot selaku Residen van Sumatra Oostkust. Dalam perjanjian ini langkat dibagi menjadi daerah Sultan yang terdiri dari Pulau Koempei, Pulu Sambilan, Tapa Koeda, Pulu Masjid dan pulau-pulau kecil di dekatnya, Kedjoeroean Stabat, Kedjoeroean Bingei, Kedjoeroean Selesei, Kedjoeroean Bohorok, daerah dari Datu Lepan, dan daerah dari Datu Besitang.

Wilayah Langkat secara administratif dibagi menjadi tiga bagian:

  1. Boven Langkat (Hulu)
  2. Beneden Langkat. (Hilir)
  3. Teloek Haroe.
yang merupakan wakil dari Sultan; mereka dibagi menjadi distrik di bawah kedjoeroeans, di bawah kepala Sungei Bingei dan di bawah Datoes. Dari perjanjian ini Sultan dan pemerintahannya mendapatkan hibah sebesar f 49.150/tahun, dengan rincian sebagai berikut:

  1. Sultan Abdul Aziz mendapat f 34.500/tahun,
  2. Wakil Beneden Langkat mendapat f 1000/tahun
  3. Wakil Boven Langkat mendapat f 1000/tahun
  4. Wakil Teloek Haroe mendapat f 1000/tahun
  5. Kepala Sungei Bingei mendapat f 1250/tahun
  6. Kejuruan Stabat mendapat f 2000/tahun
  7. Kejuruan Bingei mendapat f 750/tahun
  8. Kejuruan Selesei mendapatkan f 4000/tahun
  9. Kejuruan Bahorok mendapatkan f 300/tahun
  10. Datuk Tjampa mendapatkan f 950/tahun
  11. Datuk Sungai Rebat mendapatkan f 650/tahun
  12. Datuk Hiney mendapatkan f 650/tahun
  13. Datuk Toealang mendapatkan f 650/tahun
  14. Datuk Lepan mendapat f 150/tahun
  15. Datuk Besitang mendapat f 300/tahun 
I. Setengah dari dalam wilayah yang membayar upeti untuk izin dan konsesi, didistribusikan sebagai berikut:

  • Wilayah Sultan
    • Sungei Bingei:
      • Untuk Sultan.........................................1/3 bagian
      • Untuk Penghulu Batak Bersama.............1/3 bagian
      • Untuk Kepala Sungei Bingei...................2/9 bagian
      • dan Wakilnya.........................................1/9 bagian
    • Sungei Selapian
      • Untuk Sultan.........................................1/3 bagian
      • Untuk Penghulu Batak Bersama.............1/3 bagian
      • Untuk wakil Sultan di Langkat Hulu.......1/3 bagian
    • Dilain wilayah Sultan, Sultan segalanya
  • Wilayah Kejuruan
    • Dibagian Melayu 
      • Untuk Sultan.........................................1/2 bagian
      • Untuk bagian Kejuruan..........................1/2 bagian
    • Dibagian Batak
      • Untuk Sultan.........................................1/3 bagian
      • Untuk Kejuruan.................................... 1/3 bagian
      • Untuk Penghulu Batak Bersama.............1/3 bagian
  • Wilayah Lepan dan Besitang
      • Untuk Sultan.........................................2/3 bagian
      • Untuk Datuk........................................ 1/3 bagian

II. 3/4 dari wilayah Sultan merupakan "Present Tanah" adalah untuk izin dan konsesi.
Jelas dari perjanjian ini sangat mengikat dan sangat merugikan pihak kesultanan Langkat. Perjanjian ini pun ditandatangani oleh sultan berikut cap kesultanan pada tanggal 24 September 1907.

1917 - Tengku Mahmud menikah dengan Tengku Rauda binti al-Marhum Tuanku Al-Haji Muhammad Shah dengan gelar Tengku Permaisuri. Tengku Rauda lahir 8 Agustus 1892 dan meninggal tanggal 9 Maret 1971 dan dimakamkan di Tanjung Pura. Dari pernikahannya ini dia mendapatkan 12 orang anak terdiri dari 4 orang putra:
  1. Y.A.M. Tengku Musa bin Sultan Mahmud ‘Abdu’l Jalil Rahmad Shah, Raja Muda. Musa lahir di Istana Dar ul-Aman, Tanjung Pura tanggal 22nd September 1924 Setelah ditawan pada masa Revolusi Sosial, beliau menghilang di Agustus-September 1946. 
  2. Y.A.M. Tengku Atha’ar ibni al-Marhum Sultan Mahmud ‘Abdu’l Jalil Rahmad Shah, Wakil putra mahkota. Beliau lah nantinya yang meneruskan kesultanan Langkat setelah selesai Revolusi Sosial 1946 sebagai Pemangku Adat Langkat.
  3. Y.A.M. Tengku Yahya ibni al-Marhum Sultan Mahmud ‘Abdu’l Jalil Rahmad Shah.
  4. Y.A.M. Tengku Mustafa Kamal Pasha ibni al-Marhum Sultan Mahmud ‘Abdu’l Jalil Rahmad Shah.
dan 8 orang putri,yaitu:
  1. Y.A.M. Tengku Kamaliah binti al-Marhum Sultan Mahmud ‘Abdu’l Jalil Rahmad Shah. Tengku Kamaliah menikah dengan Y.M. Tengku Amir Hamzah bin Tengku Muhammad Adil, Tengku Pangeran Indraputra lahir di Tanjung Pura, 28 February 1911 dan meninggal tanggal 20 Maret 1946), putra dari Y.M. Tengku Muhammad Adil Rahmad Shah bin Tengku Hamzah al-Haj, Pangeran Kusuma Perwira Binjai dan Wakil Sultan Luhak Langkat Bengkulu. dari pernikahan ini lahirlah Tengku Tahura.
  2. Y.A.M. Tengku Atfah binti al-Marhum Sultan Mahmud ‘Abdu’l Jalil Rahmad Shah menikah dengan Y.M. Tengku Ramli bin Tengku Haji Bahrum, anak dari Y.M. Tengku Haji Bahrum of Binjai.di Istana Dar ul-Aman, Tanjung Pura, 25th December 1943.
  3. Y.A.M. Tengku Kalsum binti al-Marhum Sultan Mahmud ‘Abdu’l Jalil Rahmad Shah. Beliau pernah menemani sang ayahnda mengikuti acara Jubilee Perayaan Emas Ratu Wilhelmina, di Amsterdam, 1938. Beliau menikah dengan Hassan Darus.
  4. Y.A.M. Tengku Latifa Khanum binti al-Marhum Sultan Mahmud ‘Abdu’l Jalil Rahmad Shah (d/o Tengku Rauda). Juga pernah ikut acara Jubilee Perayaan Emas Ratu Wilhelmina. Beliau menikah dengan Y.M. Tengku Razali bin Tengku Hafas, putra ke empat dari Y.M. Tengku Hafas bin Tengku Ismail al-Haj, Tengku Pangeran, Wakil of Bedagai and Pangeran of Langkat Hilir dan istrinya Y.A.M. Tengku Uan Mahanun, adik dari Y.M.M. Tuanku Sutan Bidar Alam Shah III, Raja Bilah. Mereka memiliki 1 Putra dan 8 Putri.
  5. Y.A.M. Tengku Baina binti al-Marhum Sultan Mahmud ‘Abdu’l Jalil Rahmad Shah. menikah dengan Y.M. Tengku Sulaiman.
  6. Y.A.M. Tengku Ajerun binti al-Marhum Sultan Mahmud ‘Abdu’l Jalil Rahmad Shah menikah dengan Y.M. Tengku Shahrul.
  7. Y.A.M. Tengku Mahseran binti al-Marhum Sultan Mahmud ‘Abdu’l Jalil Rahmad Shah. Ia menikah dengan Yopie Endoh.
  8. Y.A.M. Tengku Nur Jahan [Nurzehan] binti al-Marhum Sultan Mahmud ‘Abdu’l Jalil Rahmad Shah menikah dengan Mayor Jenderal Barkah Tirtadidjaja.
1926 - Terjadi perhelatan besar pada bulan November 1926, Dimana Sultan Ahmad Sulaiman Raja dari Kerajaan Bulungan meminang Putri Sultan Abdul Aziz yaitu Putri Lailan Supimah. Oleh rakyat Langkat, Sultan Bulungan dikenal dengan nama Sri Sultan Maulana Ahmad Sulaiman Ud-din. Jarak antara Bulungan dan Langkat tak terkira jauhnya, yang jika ditarik garis lurus mencapai sekitar 2.200 kilometer. Sebuah situs Belanda juga mencatat sejumlah foto pernikahan keduanya di Tanjungpura, Langkat, yang juga dirayakan dengan tarian Karo.

Tarian Karo menyambut pengantin Sultan Bulungan 1926


Sultan Mahmud Abdul Aziz 
Abdul Jalil Rahmadsyah  
Sultan Langkat III

1927 - Tanggal 1 Juli, Tuanku Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rakhmat Shah mangkat, tahta Kerajaan Langkat kemudian turun kepada anaknya, Tengku Mahmud, yang bergelar Sultan Mahmud Abdul Aziz Abdul Jalil Rahmadsyah sebagai Sultan Langkat III pada tanggal 24 Oktober 1927 di Istana Darul Aman, Tanjung Pura.


Istana Darul Aman banjir `1921
Seperti kebiasaan sebelumnya dan karena sering banjirnya Istana Darul Aman seperti tahun 1921, Tengku Mahmud pun memindahkan lagi pusat Kerajaan atau Kesultanan Langkat ke Binjai dan mendirikan istana baru di sana.

2 September 1927 -  Sultan Mahmud menikah dengan putri sulung dari Sri Paduka Tuanku Al-Haji Muhammad Shah Ibni al-Marhum Tuanku Al-Haji 'Abdu'llah Ni'matu'llah Shah, Yang di Pertuan-of Kualuh Leidong dan istrinya, Tengku Zubaida binti Tengku Al -Haji Ismail, Tengku Ampuan, putri YAM Tengku Al-Haji Ismail Ibni al-Marhum Sultan Usman al-Sani Perkasa 'Alam Shah, Tengku Pangeran Nara, dari Bedagai yaitu Encik Sri Darma (Seridam). Dari pernikahan ini Sultan Mahmud memiliki 1 orang putri yaitu: Y.A.M. Tengku Zaharia binti al-Marhum Sultan Mahmud ‘Abdu’l Jalil Rahmad Shah.

Sultan Mahmud Mendali


1927 -  Sultan Mahmud pernah mengeluarkan mendali, tapi sampai sekarang tidak ada rincian tentang mendali tersebut.

Penyambutan De Graeff di Istana Sultan Langkat

1928 - Gubernur Jenderal Hindia Belanda de Graeff berkunjung ke Istana Sultan.


De Graeff berpose dibalkon Istana Sultan
1931 - Tengku Musa bin Sultan Mahmud ‘Abdu’l Jalil Rahmad Shah diangkat menjadi Raja Muda.


Dewan Kota Bindjai

1933 - Diangkatlah Dewan Kota Binjai terdiri dari:

  1. W.Ph. Cool Haas, Ketua; 
  2. Tjoeng Njan Khin, Kapten China dari Above Langkat; 
  3. Djalaloedin, Dokter Langkat; 
  4. Tengkoe Mohamad Jasin, pangeran yang bertindak sebagai wakil Kerapatan Langkat, 
  5. Mr. JB Kan, Ketua Dewan Tanah Bindjai dan Langsa; 
  6. Baharoeddin, Panitera Pajak Pengadilan Bindjai; 
  7. WF Enrich, Pengawas Department of Road and Works Deli Railway Company; 
  8. ir PM Visser, Pengawas Langkat ondernemingen the Deli Company, 
  9. J. Louwerier, Kepala Dokter Rumah Sakit Bangkattan the Deli Company, 
  10. HJ Liver, Administrator Perusahaan Timbang Langkat of the Deli Batavia Society



Knight Order
Of The Netherlands Lion

1935 -  Tanggal 21 Oktober, Atas Jasa-jasanya terhadap Belanda, Sultan Mahmud dianugerahi mendali Knight order of The Netherlands Lion.

1937 - Pergerakan Amir Hamzah anak dari Tengku Muhammad Adil, Pangeran (Raja Muda dan Wakil Sultan) untuk Luhak Langkat Hulu yang berkedudukan di Binjai di Pulau Jawa yang begitu aktif. Sehingga memancing kekhawatiran pamannya, Sultan Mahmud Abdul Aziz. Dengan lemah lembut, Sultan berusaha mengingatkan Amir bahwa banyak kerajaan kecil yang lebih sukar untuk menyanggah kemauan Belanda. Pada banyak hal, bahkan terlalu banyak, kerajaan Langkat masih sangat tergantung kepada admnistrasi Belanda.

Tanpa perlu sultan bersusah payah meminta Amir untuk mengambil sikap tertentu, Amir langsung memahami apa maksud ucapan itu. Sebagai seorang pangeran kerajaan yang membawa marwah bangsa di dadanya, Amir pun mengucapkan tradisi adat yang lazim pada Sultan, “Sembah patik sembahkan, titah patik junjung.”

Sikap Amir yang kemudian mundur teratur dari pergerakan di Jawa pada 1937 hingga akhirnya berujung pada kepatuhannya akan titah sang paman untuk menikah dan kembali ke Langkat pun dilakoni dengan kerelaan. Demi ucap janjinya pada kesultanan, ia telan segala kesedihan akibat perpisahannya dengan cita dan cintanya di negeri Jawa.


Pernikahan Tengku Amir Hamzah dan Tengku Kamaliah

21 Maret 1938 -  Untuk menyatukan kembali puing-puing Melayu di Langkat, Sultan Mahmud menikahkan anaknya Tengku Kamaliah dengan Tengku Amir Hamzah anak dari Tengku Muhammad Adil, Pangeran (Raja Muda dan Wakil Sultan) untuk Luhak Langkat Hulu yang berkedudukan di Binjai. Ayahanda Tengku Amir Hamzah mempunyai garis kekerabatan dengan Sultan Machmud, penguasa Kesultanan Langkat yang memerintah pada tahun 1927-1941. Berdasarkan silsilah keluarga istana Kesultanan Langkat, Tengku Amir Hamzah adalah generasi ke-10 dari Sultan Langkat. Garis keturunan tersebut memperlihatkan bahwa ia adalah pewaris tahta salah satu kerajaan Melayu, yakni Kesultanan Langkat.


Kantor Kerapatan Bindjai 1933


Ia diberi jabatan Raja Muda atau Pangeran dengan wilayah tugas Langkat Hilir yang berkedudukan di Tanjung Pura dan berkantor di Balai Kerapatan, gedung Museum Kabupaten Langkat kini.
Setelah itu, sejumlah jabatan dibebankan pada Amir Hamzah. Ia memimpin Teluk Haru di Pangkalan Brandan, kemudian ditarik ke Istana sebagai Bendahara Paduka Raja di Binjai, lalu memimpin Langkat Hulu, juga di Binjai. Pada masa Jepang, ia juga menjadi Ketua Pengadilan Kerapatan Kerajaan Langkat.


Istana Sultan Langkat di Tanjung Pura

1939 - Tepatnya tanggal 1 Januari 1939 Sultan Mahmud Abdul Aziz Abdul Jalil Rahmadsyah menikah lagi dengan Enzik Asmah. Banyak pembesar Belanda dan Kesultanan Deli termasuk Sultan Deli Amaluddin Sani hadir pada acara perhelatan ini. Dari Pernikahan ketiganya dengan Encik Asmah, Sultan Mahmud memiliki 1 orang putri bernama Y.A.M. Tengku Basra binti al-Marhum Sultan Mahmud ‘Abdu’l Jalil Rahmad Shah. 
Kemudian menurut catatan lainnya, Enzik Asmah sepeninggalnya Sultan Mahmud menikah lagi dengan adik Tengku Amir Hamzah, yaitu: Y.M. Tengku Malik ul-Bahar bin Tengku Muhammad Adil Rahmad Shah

17 Februari 1939 - Sultan Mahmud menerima GC of the Order of the Dragon of Annam dari Kerajaan Vietnam.


GC of the Order of the Dragon of Annam



CDR of the Order of Leopold II

29 Maret 1939 - Beliau dianugerahi CDR of the Order of Leopold II dari Kerajaan Belgia.

Di masa Sultan Mahmud, tepatnya kala Kerajaan Jepang masuk dan membuat Kerajaan Belanda tersungkur, sejumlah catatan menunjukkan penderitaan rakyat. Rakyat diperas dan diperbudak untuk mengerjakan proyek-proyek Jepang. Di sini tak ditemukan bagaimana relasi, kontestasi, dan peta politik Langkat dengan negara-negara tetangga.


1945 -  Tanggal 5 Oktober setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dibacakan oleh Ir.Soekarno dan Hatta kabar itu belum sampai ke Kerajaan Langkat. Tapi tak lama kemudian, suasana mulai memanas. Laskar-laskar terbentuk. Dan pada 5 Oktober 1945, Sultan Mahmud kemudian menyatakan penggabungan negaranya dengan negara Republik Indonesia.


Tengku Amir Hamzah
Asisten Residen Langkat



1945 - Pada tanggal 29 Oktober, Tengku Amir Hamzah diangkat menjadi Asisten Residen (Bupati) Langkat dan berkedudukan di Binjai oleh Gubernur Sumatera, Mr. Tengku Muhammad Hasan.


Stasiun Besitang
1945 - Tanggal 15 Desember Mantan Datuk Panglima Sultan Langkat yang karena tindakan-tindakan sang datuk yang kerap menantang Belanda sehingga dia dipindahkan menjadi Wakil Kepala Negeri Besitang, OK. M. Nurdin yang bergelar Datuk Setia Bakti Besitang melakukan perlawanan.
Saat Belanda hengkang dan Jepang masuk ke Langkat, Nurdin melakukan konsolidasi untuk melawan Jepang. Kejadian yang terkenal adalah di saat ia dan pasukannya menyerang markas Jepang yang berada di Stasiun Kereta Api Besitang. Penyerangan itu berhasil. Enam tentara Jepang tewas dan sisanya melarikan diri ke Pangkalan Berandan. Senjata-senjata Jepang dilucuti.

Namun, pada malam itu juga, dini hari, Jepang membalas. Menurut penuturan Keluarga Nurdin, Bahwa beliau difitnah oleh Jepang dengan adanya penemuan peluru dirumahnya. Nurdin tahu bahwa dia dicari Jepang, maka diapun melarikan kerumah anaknya bersama istrinya Sahbram. Saat sampai didepan rumah, Nurdin menggedor rumah anaknya, tapi karena anaknya ketakutan Jepang sudah dekat dan tidak tahu siapa yang menggedor pintu maka pintu tidak dibuka. Saat Jepang mendekat, maka terjadilah perkelahian sengit. Nurdin pun mengeluarkan Sundang (Sejenis Pedang Panjang) dan menghajar pasukan Jepang satu persatu. Karena Beliau kebal dengan peluru, maka pasukan Jepang itu pun melaso Nurdin dengan tali, kemudian ia ditarik dengan truk dan dimasukkan kedalam tong yang disemen kemudian tong tersbut dibuang ke sungai Besitang.

Diorama Revolusi Sosial Langkat
1946 - Maret 1946 pecahlah Revolusi Sosial di Langkat. Gesekan dan perang dingin antara Kerajaan Langkat dengan laskar-laskar terus terjadi. Di sini, sosok Amir Hamzah adalah simbol terbaik mengenai terjepitnya batin manusia Langkat diantara dua identitas. “… Tenggelam dalam malam/ Air di atas menindih keras/ Bumi di bawah menolak ke atas” adalah salah satu bait dari puisi Amir, “Hanyut Aku”, yang dapat dibaca dalam konteks ini.
Meski demikian, Amir menegaskan pernyataan yang amat terkenal:
“Lari dari Binjai patik pantang. Patik adalah keturunan Panglima, kalah di gelanggang sudah biasa. Dari dahulu patik merasa tiada bersalah kepada siapa. Jadi salah besar dan tidak handalan, kalau patik melarikan diri ke kamp NICA di Medan. Sejak Sumpah Pemuda, patik ingin merdeka.”


1946 - Tanggal 7 Maret 1946, Tengku Amir Hamzah selaku Asisten Residen Langkat pada waktu itu pun dijemput oleh sekelompok pemuda, meski versi lain menyebutkan tanggal 3 dan 4.

“Tinggallah buah hati Entu (ayah). Baik-baiklah dan jangan nakal!” begitu ucap Amir kepada Si Kuyung kala laskar pemuda menjemputnya. Sedari kecil, Tahura, anak Amir Hamzah satu-satunya ini, memang menerima panggilan ‘Kuyung’ (sulung) dari sang ayah. Amir pun mengecup kening Tahura sebelum masuk ke dalam mobil yang bergerak cepat menuju markas Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Sejak saat itu, Tengku Amir Hamzah tak pernah kembali.

20 Maret 1946 - Kesetiaan Amir ini berujung pada suatu subuh di perladangan Kuala Begumit. Peradilan Rimba, demikian istilah orang-orang yang melakukan penghukuman itu, menjatuhkan hukuman pancung pada kemenakan Sultan Langkat itu. Tuduhannya: bersifat feodal dan tunduk pada Sultan.
“Tuan-Tuan janganlah bertanya-tanya lagi, karena saya sedang bersiap-siap akan menghadap Tuhan,” begitulah penyair masyhur ini menuturkan kalimat terakhirnya.

Parang algojo Yang Wijaya, orang yang pernah mengabdikan diri di Istana Langkat sebagai guru silat, pun jatuh ke kuduk Sang Tengku. Terlepas kepala dengan badan. Dan jasad Amir pun ditumpukan dengan jenazah ke-26 tengku lainnya. Keesokan harinya Jasad Tengku Amir Hamzah dikebumikan di Mesjid Azizi Tanjung Pura.

Akan tetapi, Sultan Mahmud tak turut dibunuh. Ia ditangkap dan diasingkan ke Batang Serangan hingga kemudian Belanda membebaskannya pada bulan Juli 1947.

23 April 1948 - Karena terus sakit dan semakin parah, akhirnya Sultan Mahmud mangkat. Beliau digantikan oleh putra keduanya yaitu: Y.A.M. Tengku Atha'ar ibni al-Marhum Sultan Mahmud 'Abdu'l Jalil Rahmad Shah sebagai Pemangku Adat Langkat IV. Tengku Atha'ar lahir 14 November 1929 di Istana Darul Aman Tanjung Pura. 

Beliau menikah dengan Y.M. Tengku Radliya binti Tengku Mansur Shah, putri Sulung dari Y.A.M. Tengku Mansur Shah ibni al-Marhum Sultan Muhammad Shah, Tengku Besar, Kerajaan Kualuh dengan istrinya Tengku Darjat, Putri sulung dari Sri Paduka Tuanku Sultan Muhammad Husain Rahmad Shah II ibni al-Marhum Sultan Ahmad Shah, Sultan and Yang di-Pertuan of Asahan.

3 November 1975 -  Y.M. Tengku Amir Hamzah bin Tengku Muhammad Adil, Tengku Pangeran Indraputra diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 106/ tahun 1975. 

14 Juni 1990 - Tengku Atha'ar selaku Pemangku Adat Langkat mangkat. Beliau digantikan oleh adiknya yaitu: Y.A.M. Tengku Mustafa Kamal Pasha ibni al-Marhum Sultan Mahmud ‘Abdu’l Jalil Rahmad Shah sebagai Pemangku Adat Langkat V. Tengku Mustafa lahir di Istana Darul Aman tanggal 27 Agustus 1935. Beliau menikah dengan Y.M. Tengku Zulfa binti Tengku Harison, putri dari Y.M. Tengku Harison, dari Bedagai, Deli, dan istrinya, Y.A.M. Tengku Maimuna binti al-Marhum Sultan 'Abdu'l Aziz 'Abdu'l Jalil Rahmad Shah, putri dari H.H. Sri Paduka Tuanku Sultan 'Abdu'l 'Aziz 'Abdu'l Jalil Rahmad Shah ibni al-Marhum Sultan Haji Musa al-Khalid al-Mu'azzam Shah, Sultan Langkat II. Dari pernikahan ini Tuanku Mustafa Kamal mendapat seorang putra, yaitu: Y.M. Tengku Azihar bin Tengku Mustafa Kamal Pasha.

22 Mei 1999 -  Y.A.M. Tengku Mustafa Kamal Pasha ibni al-Marhum Sultan Mahmud ‘Abdu’l Jalil Rahmad Shah sebagai Pemangku Adat Langkat V mangkat. Kepala 13 Adat Langkat pun turun rembuk memilih pemangku adat berikutnya. Akhirnya dipilihlah Y.A.M. Tengku Dr. Herman Shah bin Tengku Kamil sebagai Pemangku Adat Langkat VI. Tengku Dr. Herman adalah putra ketiga dari Tengku Kamil putra Sultan 'Abdu'l Aziz' Sultan Abdu'l Jalil Rahmad Shah, Sultan Langkat II dan istrinya, YAM Tengku Arfah binti al-Marhum Sultan Muhammad Husain Rahmad Shah, putri Sri Paduka Tuanku HH Sultan Muhammad Husain Rahmad Shah II Ibni al-Marhum Adil Tengku Muhammad ', Sultan dan Yang Dipertuan di-Asahan.


Sri Paduka Tuanku Sultan Iskandar Hilali  
Abdu'l Jalil Rahmad Shah al-Haj 
Sultan Langkat VII

2001 - 2002 - Genap 2 tahun menjabat sebagai pemangku adat Langkat, Tengku Dr. Herman Shah meninggal dunia pada tahun 2001. Untuk meneruskan keturunan berikutnya setahun kemudian, pada tanggal 29 Mei 2002, Kepala 13 bangsawan adat Langkat mengangkat sepupu Dr.Herman Shah sebagai Sultan, yaitu: HH Sri Paduka Tuanku Sultan Iskandar Hilali 'Abdu'l Jalil Rahmad Shah al-Haj ibnu al-Marhum Tengku Murad Aziz, Sultan Langkat VII. Sultan Iskandar lahir di Medan pada tanggal 29 September 1952, anak tunggal dari Y.A.M. Tengku Murad Aziz al-Marhum Ibni Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahmad Shah, dan istrinya, YAM Hajjah Tengku Maheran binti al-Marhum Sultan 'Alam Shah Otteman al-Sani Perkasa' Alam, putri sulung Sri Paduka Tuanku HH Sultan 'Alam Shah Otteman II al-Sani Perkasa' Amal al-Alam Ibni Sultan Marhum 'ud-din al-Sani Perkasa 'Alam Shah, Sultan Deli.  
Beliau dilantik dengan gelar Sultan Langkat VII pada tanggal 27 Oktober 2002 di Tanjung Pura, Langkat. Tuanku Iskandar Hilali menikah dengan Y.M.Hajjah Dr. Mirla Safrina.

Penobatan Sultan Iskandar Hilali

21 Mei 2003 - Sultan Iskandar Hilali mangkat di sebuah Rumah sakit di Medan. Beliau dimakamkan di MesjidAzizi,Tanjung Pura. Kemudian diangkatlah Sri Paduka Tuanku Sultan Azwar 'Abdu'l Jalil Rahmad Shah al-Haj Ibni al-Marhum Tengku Maimun, Sultan Negara Langkat VIII. Sultan Azwar lahir di Medan tanggal 21 Januari 1951, anak bungsu dari YAM Tengku Maimun Ibni al-Marhum Sultan Abdul Aziz [Maimoen],dan istrinya, YM Tengku Nomel Badrul Buhaja [Badroel Boehaja] binti Tengku Hafas.  


Sri Paduka Tuanku Sultan Azwar  
'Abdu'l Jalil Rahmad Shah al-Haj  
Ibni al-Marhum Tengku Maimun
Sultan Negara Langkat VIII

Beliau pernah menjabat sebagai Direktur Badan Ekspor Development Nasional Sumatera Utara untuk Departemen Perindustrian Indonesia & Perdagangan, Dir Kamar Dagang Provinsi Sumatera Utara 2006, Dir  Riset & Development Departement Provinsi Sumatera Utara 2010, Ketua Kerapatan Adat Kesultanan Langkat (KAKL), Sec Otoritas Pengembangan Asahan sejak 2009, dll  

Beliau dilantik di Balairung, Istana Maimoon, Medan, Beliau menikah di Medan, 2 Oktober 1982 dengan Hajjah Marina Indra Utama [Ny Marina Aziz] lahir.di Medan, 1 Maret 1958. Dari pernikahan mereka mempunyai seorang putra dan satu putri,yaitu:
  1. Y.A.M. Tengku Ariefanda bin Tuanku Sultan Azwar ‘Abdu’l Jalil Rahmad Shah [T Ariefanda Aziz]. lahir di Medan, 7 Mei 1984, educ. SMA Harapan 1, SMU Harapan, and the Univ North Sumatra (BSc 2001, MSc Econ 2006), Medan. Sekarang menjadi Account Officer Bank Rakyat di Jakarta. Tengku Ariefanda menikah di Medan, 3rd October 2009 dengan Drg. Wulandari Ariefanda Nasution. Dari pernikahan mereka mempunyai seorang putra bernama Y.M. Tengku Arkhan Ataya bin Tengku Ariefanda Aziz. lahir tahun 2010. 
  2. Y.A.M. Tengku Anissa Velonia binti Tuanku Sultan Azwar ‘Abdu’l Jalil Rahmad Shah [T Anissa Velonia Aziz]. lahir di Medan, 10 Maret 1986.

Sejarah Perang Paderi di Sumatra Barat (Padri 1821-1837)

Sejarah Perang Paderi (Padri 1821-1837)|Perang Paderi atau Padri memiliki penyebab/Latar belakang terjadinya Perang padri, Perang Padri merupakan perang yang Panjang dari tahun 1821-1837 sekitar 26 tahun lamanya berlangsungnya Perang Padri, Dalam Peperangan tersebut memiliki berbagai Perjanjian-perjanjian, dan  Perang Padri berasal dari Perjuangan rakyat di daerah Sumatera Barat (Minangkabau), Nama Perang Padri diambil dari Kota yang ada di Sumatera barat dan berbagai bahasa-bahasa Asing sehingga terbentuk nama Perang Paderi (Padri), Dalam Peperangan ini memiliki tahap-tahap yang membuat Perang Padri sangat panjang, Dalam Perang Padri terkenal seorang nama yang sangat terkenal karena keberaniannya menegakkan kebenaran dan meluruskan ke jalan agama yang merupakan seorang tokoh yang sangat penting dalam peperangan tersebut. Untuk Mengetahu lebih jelas Sejarah Perang Paderi (Paderi) dan berbagai macam yang menyangkut Perang Padri , Mari kita lihat pembahasannya dibawah ini

PERANG PADERI  (PADRI) TAHUN 1821 - 1837
Perjuangan rakyat di daerah Sumatera Barat (Minangkabau) melawan pihak Belanda sering disebut dengan nama Perang Padri yang berlangsung dan tahun 1821 - 1837.
Adapun asal-usul nama Padri terdapat dua pendapat yaitu :
a Pedir atau Pideri yaitu sebuah kota kecil di pantai Barat Sumatera Utara tempat dimana mereka berangkat dan pulang dan naik haji. 
b. Berasal dari bahasa Portugis. Padre atau dalam bahasa Belanda Vader yang berarti “Ayah” atau “Pendeta”. Jadi dengan demikian kaum Padri adalah kaum pendeta.
Perang Padri ini dapat dibagi atau berlangsung tiga tahap yaitu:
a. Kaum Padrii melawan kaum adat.
b. Kaum Padri melawan kaum adat dan Belanda
c. Kaum Padri dan kaum adat melawan Belanda. 
Latar Belakang Terjadinya Perang Padri
Sejarah Perang Paderi (Padri 1821-1837) dan Latar Belakang Perang Padri serta Penyebab terjadinya perang padri Di daerah Minangkabau terdapat beberapa orang Haji yang kembali dari Mekah dan akan mengadakan pelaksanaan hidup yang sesuai menurut ajaran agama slam secara murni. Mereka yang baru pulang dari naik haji itu ialah Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piabang, mereka beraliran Wahabi Menurut ajaran agama banyak adat istiadat daerah Sumatera Barat (Minangkabau) yang harus ditinggalkan seperti: minum-minuman keras,.(minum tuak), menyambung ayam, berjudi, dan lain -lain.

Maksud kaum Padri untuk mengajarkan agama Islam secara murni dengan menghilangkan adat-istiadat yang jelek itu telah mendapat tantangan yang sangat hebat dan pemimpin-pemimpin kaum adat dan juga para bangsawan. Oleh sebab itu terjadinya peperangan antara kaum Padri dengan kaum adat tidak dapat dielakkan. Di dalam peperangan tersebut kaum Padri mengenakan pakaian serba putih (disebut kaum putth) dan kaum adat mengenakan pakaian serba hitam (kaum hitam).

Di dalam peperangan itu pada awalnya kaum Padri mendapat kemenangan dimana-mana, sehingga kedudukan kau adat terdesak dengan hebat. Karena adat-adat terdesak dengan hebat maka pimpinan-pimpinan kaum adat yaitu Tuanku Suroso memerintahkan meminta batuan kepada pihak Belanda di Padang. Permintaan ini sangat menyewakan pihak Belanda, sebab dengan demikian Belanda dapat meluaskan kekuasaannya ke daerah minangkabau.

Pada tahun 1824, Belanda dan kaum Padri mengadakan perdamaian di masang (perjanjian masang) yang isinya : .
Isi Perjanjian Masang :
1. Penetapan batas daerah kedua belah pihak.
2. Kaum Padri harus mengadakan perdagangan hanya dengan pihak belanda.
Tetapi ternyata pihak belanda tidak dapat menetapi perjanjiannya yang telah dibuatnya itu, sehingga peperangan tidak dapat dihindari lagi/berkobar lagi. Masyarakat Minangkabau dengan sangat giginya melawan serangan Belanda yang menggunakan senjata modern

Akhirnya kaum adat menyadari bahwa pihak Belanda sebenarnya tidak sungguh-sungguh/berhasrat untuk menolongnya, melainkan hendak menjajah seluruh daerah Minangkabau (Sumatera Barat). Hal ini dibuktikan dengan tindakan pihak Belanda seperti tersebut di bawah ini:
Tindakan-tindakan Belanda :
a. Rakyat Minangkabau dipaksa bekerja demi kepentingan pihak Belanda tanpa diberi upah.
b. Rakyat Minangkabau diharuskan membayar Cukai Pasar dan cukai mengadu ayam. 
  
Setelah kaum adat menyadari kekeliruannya maka kaum adat kemudian bersekutu/bergabung dengan pihak kaum padre guna melawan pihak Belanda. Dengan bersatunya kaum adat dan kaum padri maka peperangan melawan Belanda semakin menjadi hebat dan mencakup seluruh daerah Minang.Akibatnya pihak Belanda mengalami kerugian yang sangat besar. Kemudian setelah pihak Belanda berhasil menyelesaikan perang Diponegoro, maka seluruh pasukannya dikirim ke Sumatera Barat untuk menghadapi perlawanan rakyat Sumatera Barat.
Karena mendapat bantuan dari Pulau Jawa maka pihak Belanda berhasil menduduki daerah pertahanan rakyat Minangkabau (Sumatera Barat). Bahkan pada tahun 1837 pusat perjuangan kaum Padri di daerah Bonjol berhasil dikuasai oleh pihak Belanda. Tetapi Tuanku Imam Bonjol bersama-sama para pengikutnya berhasil meloloskan diri dari penangkapan pihak Belanda dan melanjutkan perjuangannya.
Tetapi pada tahun itu juga Tuanku Iman Bonjol berhasil ditangkap oleh Belanda dan diasingkan ke Cianjur, kemudian ke Ambon lalu ke Minahasa dan meninggal pada tahun 1855. Dengan demikian berakhirlah perang Padri dan daerah Minangkabau (Sumatera Barat) jatuh ke tangan pihak Belanda.

Perang Padri dilatarbelakangi oleh kepulangan tiga orang Haji dari Mekkah sekitar tahun 1803, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik & Haji Piobang yg ingin memperbaiki syariat Islam yg belum sempurna dijalankan oleh masyarakat Minangkabau. Mengetahui hal tersebut, Tuanku Nan Renceh sangat tertarik lalu ikut mendukung keinginan ketiga orang Haji tersebut bersama dengan ulama lain di Minangkabau yg tergabung dlm Harimau Nan Salapan. Harimau Nan Salapan kemudian meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yg bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Dalam beberapa perundingan tak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum Adat. Seiring itu beberapa nagari dlm Kerajaan Pagaruyung bergejolak, puncaknya pada tahun 1815, Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Kerajaan Pagaruyung & pecahlah peperangan di Koto Tangah. Serangan ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir & melarikan diri dari ibu kota kerajaan. Dari catatan Raffles yg pernah mengunjungi Pagaruyung pada tahun 1818, menyebutkan bahwa ia hanya mendapati sisa-sisa Istana Kerajaan Pagaruyung yg sudah terbakar. Perang Padri ialah peperangan yg berlangsung di Sumatera Barat & sekitarnya terutama di kawasan Kerajaan Pagaruyung dari tahun 1803 sampai 1838.
Perang ini merupaken peperangan yg pada awalnya akibat pertentangan dlm masalah agama sebelum berubah menjadi peperangan melawan penjajahan. Perang Padri dimulai dengan munculnya pertentangan sekelompok ulama yg dijuluki sebagai Kaum Padri terhadap kebiasaan-kebiasaan yg marak dilakukan oleh kalangan masyarakat yg disebut Kaum Adat di kawasan Kerajaan Pagaruyung & sekitarnya. Kebiasaan yg dimaksud seperti perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat, minuman keras, tembakau, sirih, & juga aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan, serta longgarnya pelaksanaan kewajiban ritual formal agama Islam. Tidak adanya kesepakatan dari Kaum Adat yg padahal telah memeluk Islam untuk meninggalkan kebiasaan tersebut memicu kemarahan Kaum Padri, sehingga pecahlah peperangan pada tahun 1803.
Hingga tahun 1833, perang ini dapat dikatakan sebagai perang saudara yg melibatkan sesama Minang & Mandailing. Dalam peperangan ini, Kaum Padri dipimpin oleh Harimau Nan Salapan sedangkan Kaum Adat dipimpinan oleh Yang Dipertuan Pagaruyung waktu itu Sultan Arifin Muningsyah. Kaum Adat yg mulai terdesak, meminta bantuan kepada Belanda pada tahun 1821. Namun keterlibatan Belanda ini justru memperumit keadaan, sehingga sejak tahun 1833 Kaum Adat berbalik melawan Belanda & bergabung bersama Kaum Padri, walaupun pada akhirnya peperangan ini dapat dimenangkan Belanda. Perang Padri termasuk peperangan dengan rentang waktu yg cukup panjang, menguras harta & mengorbankan jiwa raga. Perang ini selain meruntuhkan kekuasaan Kerajaan Pagaruyung, juga berdampak merosotnya perekonomian masyarakat sekitarnya & memunculkan perpindahan masyarakat dari kawasan konflik.

Bantuan Belanda Kepada Kaum Adat Pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar

Karena terdesak dlm peperangan & keberadaan Yang Dipertuan Pagaruyung yg tak pasti, maka Kaum Adat yg dipimpin oleh Sultan Tangkal Alam Bagagar meminta bantuan kepada Belanda pada tanggal 21 Februari 1821, walaupun sebetulnya Sultan Tangkal Alam Bagagar waktu itu dianggap tak berhak membuat perjanjian dengan mengatasnamakan Kerajaan Pagaruyung. Akibat dari perjanjian ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda penyerahan Kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah Hindia-Belanda, kemudian mengangkat Sultan Tangkal Alam Bagagar sebagai Regent Tanah Datar.
Keterlibatan Belanda dlm perang karena diundang oleh kaum Adat, & campur tangan Belanda dlm perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang & Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet & Kapten Dienema pada bulan April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang. Kemudian pada 8 Desember 1821 datang tambahan pasukan yg dipimpin oleh Letnan Kolonel Raaff untuk memperkuat posisi pada kawasan yg telah dikuasai tersebut. Pada tanggal 4 Maret 1822, pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff berhasil memukul mundur Kaum Padri keluar dari Pagaruyung. Kemudian Belanda membangun benteng pertahanan di Batusangkar dengan nama Fort Van der Capellen, sedangkan Kaum Padri menyusun kekuatan & bertahan di Lintau. Pada tanggal 10 Juni 1822 pergerakan pasukan Raaff di Tanjung Alam dihadang oleh Kaum Padri, namun pasukan Belanda dapat terus melaju ke Luhak Agam. Pada tanggal 14 Agustus 1822 dlm pertempuran di Baso, Kapten Goffinet menderita luka berat kemudian meninggal dunia pada 5 September 1822. Pada bulan September 1822 pasukan Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar karena terus tertekan oleh serangan Kaum Padri yg dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh.
Setelah mendapat tambahan pasukan pada 13 April 1823, Raaff mencoba kembali menyerang Lintau, namun Kaum Padri dengan gigih melakukan perlawanan, sehingga pada tanggal 16 April 1823 Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar. Sementara pada tahun 1824 Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah kembali ke Pagaruyung atas permintaan Letnan Kolonel Raaff, namun pada tahun 1825 Sultan Arifin Muningsyah raja terakhir Minangkabau ini wafat & kemudian dimakamkan di Pagaruyung. Sedangkan Raaff sendiri meninggal dunia secara mendadak di Padang pada tanggal 17 April 1824 sesudah sebelumnya mengalami demam tinggi. Sementara pada bulan September 1824, pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Frans Laemlin telah berhasil menguasai beberapa kawasan di Luhak Agam di antaranya Koto Tuo & Ampang Gadang. Kemudian mereka juga telah menduduki Biaro & Kapau, namun karena luka-luka yg dideritanya di bulan Desember 1824, Laemlin meninggal dunia di Padang.

Perdamaian & Perjanjian Masang

Perlawanan yg dilakukan oleh Kaum Padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui residennya di Padang mengajak pemimpin Kaum Padri yg waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat “Perjanjian Masang” pada tanggal 15 November 1825. Hal ini dimaklumi karena disaat bersamaan Pemerintah Hindia-Belanda juga kehabisan dana dlm menghadapi peperangan lain di Eropa & Jawa seperti Perang Diponegoro. Selama periode gencatan senjata, Tuanku Imam Bonjol mencoba memulihkan kekuatan & juga mencoba merangkul kembali Kaum Adat. Sehingga akhirnya muncul suatu kompromi yg dikenal dengan nama “Plakat Puncak Pato” di Bukit Marapalam, Kabupaten Tanah Datar yg mewujudkan konsensus bersama Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah yg artinya adat Minangkabau berlandaskan kepada agama Islam, sedangkan agama Islam berlandaskan kepada Al-Qur’an.