Info




SELAMAT DATANG DI WEB Haris Gudang Ilmu



Selamat datang di Web Side saya , saya harap anda senang berada di Web sederhana ini. Web ini saya tulis dengan komputer yang sederhana dan koneksi internet yang juga sederhana. Saya berharap Anda sering datang kembali. Silahkan anda mencari hal-hal yang baru di blog saya ini. Terima Kasih



SEKILAS HARIS GUDANG ILMU



Nama saya Mohammad Haris saya seorang yang mempunyai Web Side ini . Saya mulai belajar blogger sejak bulan Oktober 2009, dan blog ini saya buat pada bulan January 2009. Terimakasih Atas Kunjungannya.Follow Grup saya di https://www.facebook.com/harisgudangilmu?ref=hl







Exit
Jangan Lupa Klik Like Ya

Social Icons

My Biodata Admin



Nama:Muhammad Haris Yuliandra
Angkatan Ke 2 Anak Didikan Dari
Sekolah SMK Negri 1 Kutalimbaru
Sudah Tamat

Selamat Bergabung Di Blog Saya






selamat berkujung di blog saya semoga apa yang saya berikan kepada anda semoga bermanfaat

Selasa, 17 Mei 2016

Asal, fungsi, dan Makna yang terkandung dalam Rumah Gadang



 

Di Minangkabau, rumah tempat tinggal dikenal dengan sebutan Rumah Gadang (Besar), atau kadang-kadang disebut juga dengan Rumah Bagonjong. Besar bukan hanya dalam pengertian fisik, tetapi lebih dari itu, yaitu dalam pengertian fungsi dan peranannya yang berkaitan dengan adat. Tingginya penilaian orang Minangkabau dengan rumah adatnya dikemukakan dengan kiasan atau perumpamaan berikut:

Rumah gadang sambilan ruang, salajang kudo balari, sapakiek budak maimbau, gonjongnya rabuang mambasuik, antieng-antiengnyo disemba alang, parabuangnyo si ula gerang, batatah si timah putiah, rusueknyo tareh limpato, cucuran atoknyo alang babega, saga tasusun sarupo bada mudiek. Parannyo si ula gerang, batata aie ameh, salo-manyalo aie perak. Jariaunyo puyuah balari, dindieng ari dilanja paneh, tiang tapi panague jamu......

Rumah Gadang didirikan di atas tanah kaum yang bersangkutan. Jika hendak didirikan, panghulu dari kaum tersebut mengadakan musyawarah terlebih dahulu dengan anak kemenakannya. Setelah dapat kata sepakat dibawa kepada panghulu-panghulu yang ada dalam persukuan dan seterusnya dibawa kepada panghulu-panghulu yang ada di nagari.

Untuk mencari kayu diserahkan kepada orang kampung dan sanak keluarga. Tempat mengambil kayu pada hutan ulayat suku atau ulayat nagari. Tukang yang mengerjakan rumah tersebut berupa bantuan dari tukang-tukang yang ada dalam nagari atau diupahkan secara berangsur-angsur.

Dilihat dari cara membangun, memperbaiki dan membuka (merobohkan) rumah gadang, ada unsur kebersamaan dan kegotongroyongan sesama anggota masyarakat tanpa mengharapkan balas jasa. Fungsi sosial sangat diutamakan dari fungsi utamanya. Walaupun suatu rumah gadang merupakan milik dan didiami oleh anggota kaum tertentu, namun pada prinsipnya rumah gadang itu adalah milik nagari, karena mendirikan sebuah rumah gadang didasarkan atas ketentuan-ketentuan adat yang berlaku di nagari dan setahu panghulu-panghulu untuk mendirikan atau membukanya.

Rumah Gadang berfungsi sebagai tempat tinggal dan tempat acara adat. Ukuran ruang tergantung dari banyaknya penghuni di rumah itu. Namun, jumlah ruangan biasanya ganjil, seperti lima ruang, tujuh, sembilan atau lebih. Sebagai tempat tinggal, rumah gadang mempunyai bilik-bilik dibagian belakang yang didiami oleh wanita yang sudah bekeluarga, ibu-ibu, nenek-nenek dan anak-anak.

Fungsi rumah gadang yang juga penting adalah sebagai iringan adat, seperti menetapkan adat atau tempat melaksanakan acara seremonial adat seperti kematian, kelahiran, perkawinan, mengadakan acara kebesaran adat, tempat mufakat dan lain-lain. Perbandingan ruang tempat tidur dengan ruang umum adalah sepertiga untuk tempat tidur dan dua pertiga untuk kepentingan umum. Pemberian ini memberi makna bahwa kepentingan umum lebih diutamakan daripada kepentingan pribadi.

Punahnya Bahasa Minang? Tinggal Menunggu Waktu!

  Lagi-lagi saya terlibat diskusi tentang kontroversi penyelamatan bahasa daerah dengan salah seorang kawan saya. 
 
Saya, lelaki Minang tulen, dianggap terlalu kuat mempertahankan Bahasa Minang sehingga bahasa keliru yang digunakan oleh kawan-kawan sering saya koreksi. Sedangkan mereka, entah mengapa sejak puber, mulai menggunakan bahasa rusak. Mungkin karena faktor 'gengsi', pikir saya.
Alasan logis namun apatis selalu dikemukakan, “Yang penting paham, bukan?”
Ah, ya! Tentu saja bahasa digunakan agar lawan bicara memahami apa yang dimaksudkan oleh penggunanya. Namun, alasan ini bagi saya hanya bisa diterima jika bahasa hanya digunakan untuk berkomunikasi. Dan jika bahasa hanya berpatokan pada paham-tak paham, berarti bahasa manusia itu sama saja dengan bahasa lumba-lumba, bahasa koala, bahasa harimau sumatera, bahasa kerbau yang pasrah saja saat dicucuk hidungnya.
 
Sedangkan saya manusia, dan bagi saya, bahasa adalah jati diri, identitas yang menunjukkan siapa kita. Bahasa adalah warisan turun temurun, dari ibu ke ibu, yang wajib kita jaga keasliannya. Sepakat?
 
Jika bahasa hanya sekedar sarana komunikasi, maka tak perlu rasanya belajar rumitnya grammar dalam Bahasa Inggris, ataupun bermacamnya tashrif dalam Bahasa Arab. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa bukan sekedar sarana komunikasi, namun adalah sebuah warisan yang harus dijaga beserta segala aturan kosakata serta kombinasi katanya, agar tidak rusak, tidak punah, tidak hilang.

Bukan hanya Bahasa Arab serta Bahasa Inggris yang menjadi bahasa wajib intelek dunia, namun setiap bahasa memiliki keunikan tersendiri, yang tak kalah penting dari bahasa lainnya.
Kembali ke Bahasa Minang. Saya sadar bahwa Bahasa Minang bukanlah bahasa tulisan, sehingga jika nanti, -naûzubillâh min zâlik- tidak ada satu pun manusia yang menggunakan Bahasa Minang di muka Bumi, maka hilanglah ia. Berbeda dengan bahasa lain yang punya banyak salinan dalam bentuk tulisan. Contoh riilnya, Bahasa Jawa memiliki manuskrip kuno bertuliskan tulisan Jawa, meski saya dengar, fisik tulisan itu kini ada di Belanda.
Nah, tak salah bukan, jika saya benar-benar tekankan agar Bahasa Minang yang benar dipraktekkan dengan lidah dalam percakapan sehari-hari? Karena hanya memang di sanalah ia berada. Ia tak punya kamus, tak punya manuskrip kuno, tak punya karya tulis. Ia hanya punya panitahan serta peribahasa yang diwariskan turun-temurun, dan hanya segelintir pula orang yang peduli untuk mewariskannya.
Rusaknya Bahasa Minang, dalam pengamatan sempit saya, marak terjadi 15 tahun terakhir, saat sinetron picisan mulai menjadi primadona. Saat televisi sudah ada dimana-mana. Mau tidak mau, sedikit atau banyak, tontonan itu mempengaruhi.
Dan celaka bagi Bahasa Minang, yang kosakatanya nyaris mirip dengan bahasa Indonesia. Dulu, boleh disebut Bahasa Minang punya kontribusi besar dalam menyumbang kosakata dalam Bahasa Indonesia. Bahasa Minang melalui sastranya mempengaruhi pembentukan bahasa pemersatu bangsa.
Kini polanya berubah. Bahasa Indonesia terkontaminasi dengan bahasa gaul anak muda, menjadi bahasa lumrah dalam setiap tayangan televisi tidak resmi, ditonton oleh jutaan penduduk negeri, termasuk penduduk Ranah Minang. Dan Bahasa Minang, yang dalam sejarahnya adalah patokan Bahasa Indonesia, kini malah yang terpengaruh dengan Bahasa Indonesia yang terinfeksi tadi karena kedekatan polanya.

Aturan sebab-akibat terbalik. Dan sayangnya infeksi ini malah kebanyakan menjangkiti lidah-lidah anak-anak muda yang katanya intelek, bukan kalangan awam! Bahkan menurut pengamatan saya, orang awam bisa berbahasa Minang lebih baik dari pada kalangan yang mengaku intelek! Walah!
Tak heran jika kini banyak kita temui kata-kata ‘bid`ah’ yang seharusnya tidak ada. Anak-anak muda sekarang hanya suka mengubah akhiran ‘a’ dalam setiap kata bahasa televisi menjadi ‘o’, akhiran ‘ing’ menjadi ‘iang’, 'uk’ menjadi ‘uak’.
Jamak kita dengar kata-kata jadi-jadian seperti ‘celano’ sepagai pengganti ‘sarawa’, ‘capuang’ sebagai pengganti ‘sipatuang’, dan ‘taguak’ sebagai pengganti ‘daguik’.
Ada lagi kata hubung serta kata depan yang mulai marak digunakan oleh kawula muda yang ingin segalanya serba praktis. Jika Bahasa Indonesia mengenal kata ‘dengan’, ‘dan’, ‘kepada’, dan ‘oleh’, maka dalam bahasa gaul, semua itu dipukul rata, diganti dengan kata ‘sama’. Kalimat seperti ‘Kami berutang kepada kamu’ tak lagi laku, berganti menjadi ‘kami berutang sama kamu’.
Nah, Bahasa Minang mengenal ‘jo’ sebagai padanan ‘dan’ dan ‘dengan’, ‘ka’ sebagai padanan ‘kepada’, serta ‘dek’ atau ‘di’ sebagai padanan kata ‘oleh’. Dengan maraknya tayangan televisi yang lebih banyak menayangkan tayangan berbahasa gaul dari pada yang berbahasa Indonesia, maka ‘jo’, ‘ka’, ‘dek’ atau ‘di’ dalam Bahasa Minang tadi menjadi tersingkir. Semuanya berganti menjadi satu kata, ‘samo’. 
Kini sering kita temui kalimat seperti ‘Tadi ambo baraja samo guru’, ‘Ambo taragak samo randang’, ‘Lai takana samo ibuk?’, atau ‘Ditinju samo uda’, yang di telinga orang Minang tulen pasti akan terdengar sumbang. Sangat memprihatinkan.
Masalah bukan hanya berhenti sampai di sana. Keanekaragaman dialek dalam Bahasa Minang yang berbeda-beda tergantung daerah kini pun terancam punah, menjadi satu dialek, yaitu dialek Luhak Tanah Datar. Orang Agam sudah jarang yang berani dengan lantang menyebut ‘ano’, orang Pariaman dan Pasaman sedikit yang berani mempertahankan ‘we-e’, orang Limo Puluah Koto gengsi menyatakan ‘lomak bona’, orang Padang pun merasa rendah diri untuk menyebut ‘ai kumuh’. Pertanyaannya, kenapa? Ada apa? Siapa?
Lebih parah, akhir-akhir ini juga jarang ada ibu yang mengajarkan anaknya untuk berbahasa Minang. ibu-ibu salah gaul itu -maaf-, lebih memilih untuk berkomunikasi dengan anaknya menggunakan bahasa jadi-jadian yang kita sama-sama tahu, sehingga muncullah ungkapan sarkas, "Ndak suka mama kayak gitu doh!"
Lagi, bukan sebagai penutup perjuangan mempertahankan bahasa daerah. Mungkin setelah membaca tulisan saya ini masih ada kawan-kawan pembaca yang bertahan dengan prinsip bahwa bahasa itu yang penting paham. Pikirkanlah lagi! Bahasa kita bukan bahasa barbar yang mungkin hanya berpatokan pada paham-tak paham. Bahasa kita adalah bahasa bangsa serta suku yang berperadaban yang harus dipertahankan keasliannya.
Jika kita tidak mempertahankan keaslian bahasa yang kita punya, apa yang bisa kita wariskan kepada generasi penerus nanti? Baju kurung? Sudah berganti dengan tanktop ketat! Kodek? Sudah berganti dengan legging melekat! Kato nan ampek? Tak lebih dari sekedar omong kosong, mimpi di siang bolong! Model pakaian sudah berkiblat pada sinetron. Bahasa pun juga dirusak oleh sinetron.
Jika bukan kita yang mempertahankan Bahasa Minang, siapa lagi? Karena menjaga Bahasa Minang asli, sebenarnya adalah wujud cinta kepada nenek serta ibu kita masing-masing yang telah mewariskannya. Jika mencintai ibu itu adalah sebuah kewajiban, maka mencintai warisannya juga akan termasuk bukan?
Semoga keaslian bahasa kita tetap terjaga. Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.. ^_^

Larangan Manikah Sasuku, Masalahkah?


Menikah, siapa yang tak ingin menikah? Saat ada rejeki dan usia mencukupi, hanya ada dua golongan yang tak mau menikah. Yang pertama, orang yang "tukar selera" (Anda tahulah maksudnya), yang kedua orang yang biasa seks bebas suka-suka. Tapi aku yakin, para pembaca bukanlah salah satu golongan di atas bukan?

Selain sunnah agama Islam, menikah juga merupakan fitrah manusia yang akan menimbulkan banyak kerusakan jika ditinggalkan.
Aborsi menjadi fenomena rutin, membengkaknya populasi anak buangan, tatanan hidup bermasyarakat yang mulai menyerupai hewan. Intinya menolak fitrah akan menimbulkan kerusakan. 

 Karena hal fitrah, tak heran jika menikah di masing-masing suku dan kebudayaan memiliki aturan-aturan tersendiri. Di Ranah Minang, menikah biasanya didahului dengan acara adat seperti batimbang tando dan lainnya. Menikah dalam adat Minang pun memiliki aturan-aturan yang harus dipatuhi. Untuk saat ini, permasalahan larangan manikah sasuku paling banyak diserang oleh orang-orang yang tak paham. Makanya, saya ingin menyampaikan mengapa Adat Minang melarang pernikahan sasuku, ditinjau dari logika dan manfaat sosial.


Tinjauan Logika

Sebelum menyelam ke dalam kajian adat yang pasti masih banyak yang tidak paham, ada baiknya penulis memberi analogi yang mudah dicerna dan memang terjadi di sekitar kita.

Tentu Anda pernah menikmati masa-masa indah di sekolah bukan? Ah, tak usahlah jauh mengenang adik kelas yang dulu menawan atau PR menumpuk yang sering membuat kewalahan. Saya hanya ingin Anda mengingat tentang aturan berseragam dan berpenampilan.

Baiklah, umumnya sekolah-sekolah melarang para murid laki-lakinya untuk memiliki rambut panjang. Nah, lho! Bukannya rambut panjang sah-sah saja karena tidak ada larangannya dalam agama? Betul sekali! Tetapi bukankah sekolah juga berhak melarang para murid laki-lakinya berrambut panjang karena melihat aspek manfaat keseragaman dan kerapian bukan? Makanya larangan berambut panjang boleh-boleh saja diberlakukan.

Ada lagi, tentu Anda pernah pergi ke pasar, boleh pasar swalayan, boleh juga pasar ikan. Saya juga tak ingin pikiran Anda melayang pada becek pasar ikan ataupun kasir swalayan yang rupawan, namun coba pikirkan, adakah aturan membuka toko dan lapak?

Tentu saja ada! Negara melarang pembukaan toko liar yang tak punya izin dan belum punya nomor pajak. Padahal agama menganggap dagang itu sah-sah saja tanpa membayar pajak bukan? Namun bukankah negara juga punya hak untuk melarang karena mempertimbangkan maslahat kerapian tata kota serta keteraturan lokasi perdagangan?

Poin penting yang dapat kita tarik di sini adalah bahwa sebuah institusi, perkumpulan ataupun lembaga boleh saja melarang sesuatu yang dibolehkan agama karena mempertimbangkan maslahat yang ada di dalamnya. Yang tidak boleh itu adalah melarang sesuatu yang diwajibkan agama. Saat lembaga melarang pelaksanaan salat, jilbab, khitan dan kewajiban-kewajiban lainnya, maka angkat suara adalah tindakan yang harus dilakukan.

Ini pulalah salah satu bentuk komprehensifnya ajaran Islam. Ada taat kepada Allah, taat kepada Rasul Saw, ada pula taat kepada ulil amri. Sekolah, negara, dan adat adalah di antara bentuk ulil amri yang wajib ditaati selama bukan dalam maksiat.

Tentu semua orang di negara ini sepakat dengan dua analogi yang tadi saya paparkan. Sekarang mari kita kaitkan dengan fenomena larangan nikah sasuku.

Manikah dalam agama Islam boleh dengan siapa saja, selama bukan dengan anggota keluarga yang terikat hubungan mahram. Ingat, sepupu itu bukan mahram, sehingga bersentuhan dengan sepupu lawan jenis dapat membatalkan wuduk. :D

Namun kenyataan yang kita hadapi kini adalah bahwa adat melarang pernikahan yang terjadi antara dua insan yang memiliki suku yang sama, berada dalam satu nagari (kelurahan) yang sama, dan memiliki datuak yang sama. Wow! Berani sekali adat melarang sesuatu yang dibolehkan agama?

Pikirkan kembali! Dalam hal ini adat tidak melarang sesuatu yang diwajibkan agama, namun adat melarang sesuatu yang didiamkan agama. Tidak diperintahkan, tidak pula dilarang. Masih banyak pasangan yang bisa didapat dari luar suku si calon pengantin. Jikapun hati telah terpaut hingga mencapai taraf hubban jamma, hidup bersama tidak di atas tanah pusako bukan masalah besar bukan? :)

Berbeda halnya, jika ada perintah agama yang memerintahkan kita untuk menikahi kerabat satu suku, dan adat melarangnya. Ini baru patut digugat. Tapi ternyata tidak ada perintah demikian bukan?

Tinjauan Manfaat-Mudarat

Seperti yang saya paparkan tadi, sebuah lembaga tak mungkin melarang sesuatu tanpa melihat manfaat serta mudarat yang bisa saja dimunculkan. Apalagi adat Minang yang sedari dulu terkenal dengan cadiak-pandainya. Dalam hal larangan manikah sasuku, saya bisa menjabarkan beberapa manfaat serta mudarat yang memang dapat terjadi jika larangan ini tak diindahkan.

Semua orang Islam tahu bahwa agama Islam adalah agama rahmat bagi sekalian alam, sehingga seluruh muslim dianjurkan untuk menjalin silaturrahmi serta pandai-pandai mencari kawan. Leluhur Minangkabau dahulu pastinya juga sudah meraba hal ini, sehingga mereka membuat aturan larangan manikah sasuku, karena menikah dengan kerabat satu suku hanya akan mempersempit pergaulan. Saat pernikahan terjadi antara dua suku yang berbeda, maka tak diragukan lagi dua suku tersebut akan memiliki ikatan, sehingga tercipta keharmonisan.

Lagi pula, bukankah menikah dengan orang yang satu suku, satu ormas, satu partai, adalah bentuk fanatisme buta? Lain cerita kalau menikah dengan yang lain agama. Ini baru kita gugat.

Ah, iya, saya juga teringat kepercayaan yang banyak tersebar, entah salah atau benar, namun tak ada salahnya menjadi bahan pertimbangan karena kepercayaan ini bagi sebagian orang sudah mengakar. Kepercayaan itu adalah, semakin jauh hubungan darah antara suami dan istri, maka semakin berkualitas keturunan yang akan dianugerahkan. Umar bin Khatthab pun pernah berkata, "Kalian sudah mulai melemah. Nikahilah wanita-wanita asing (yang jauh kekerabatannya, agar didapatkan keturunan yang kuat)."

Tentang mudarat, tentu Anda tahu bahwa pernikahan tak selalu berjalan mulus. Terkadang pernikahan berakhir di tengah jalan, bahkan tak jarang cinta yang melandasi pernikahan dulu kini berubah menjadi kebencian. Dahulu loyang sekarang besi, dahulu sayang sekarang benci, ungkap sebuah pantun lama.

Pasangan satu suku yang menikah, kemudian pernikahan tersebut berakhir kebencian dapat memberi dampak buruk pada eksistensi suku tempat keduanya bernaung. Perpecahan tak dapat dihindarkan. Tentu saja nanti akan ada pihak yang membela istri, ada pula yang akan membela suami. Perpecahan di dalam satu suku adalah sebuah aib besar, karena pasti akan susah untuk didamaikan.

Berbeda dengan pertengkaran suami-istri yang berbeda suku. Saat pertengkaran mencapai titik puncak, masing-masing pihak bisa mengirim utusan untuk melakukan perundingan. Kapan perlu, datuak dari masing-masing suku bisa turun tangan. Makanya tak heran jika menikah dengan pasangan berbeda suku lebih diutamakan.

Mari sama-sama kita ubah mindset, karena tak dapat dipungkiri, beberapa orang yang baru belajar Islam menggeneralisir seolah semua adat itu bertentangan dengan agama. Pikirkan lagi! Dua abad lalu perpecahan antara kaum adat dan kaum agama seperti yang terjadi sekarang pernah terjadi, namun dengan bijak perpecahan tersebut dapat terselesaikan. Apa penyelesaiannya? Itulah asas “Adaik basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah, Adaik manurun, Syarak mandaki, Adaik nan kawi, Syarak nan lazim, Syarak mangato Adaik mamakai, Tuhan basifat Qadim, manusia basifat khilaf” yang dikenal dengan Sumpah Sati Bukik Marapalam tahun 1837.

Pahamilah Islam, dalami pula adat, maka Anda akan temukan bahwa Tuanku Imam Bonjol serta pendahulu Minang lainnya adalah orang-orang cerdas yang dapat menegakkan Islam di Ranah Minang, menghapus segala bentuk maksiat dari adat, membalutnya dengan ajaran taat.

Pasti ada di antara pembaca yang akan bertanya-tanya, jika memang tulisan ini saya dedikasikan untuk kawan-kawan Minang, dan memang membahas persoalan adat Minang, kenapa saya tidak tulis langsung berbahasa Minang saja? Ah, tentu Anda tahu bahwa kebanyakan orang yang memprotes permasalahan larangan manikah sasuku ini kebanyakan adalah orang yang tak paham adat. Bahkan dalam kasus yang lebih ekstrim, mereka tidak bisa berbahasa Minang yang baik dan benar. Maka saya pun mengajak saudara untuk menjaga bahasa ibu kita ini. Lihat di sini : Punahnya Bahasa Minang.

Saya pun tidak menulis ini dengan bahasa berat seperti bahasa skripsi dan disertasi. Saya tulis dengan bahasa ringkas, mudah dipahami dan dengan sedikit humor saya bumbui. Semuanya agar Anda tidak pusing saat membaca, tidak pula merasa digurui.

Jika terdapat kesalahan, saya mohon maaf. Terakhir saya juga minta Saudara pembaca untuk mendoakan saudara-saudara kita sesama muslim di seluruh dunia agar dikuatkan akidah, diistiqamahkan amal, serta dimudahkan dalam segala urusan. Doakan pula saya agar dapat menyelesaikan pendidikan di sini dengan hasil memuaskan seperti yang diharapkan.

Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.. ^_^

5 Tuduhan Jahat Terhadap Adat Minangkabau Beserta Bantahannya

Pertentangan agama dan adat bukanlah hal baru dalam sejarah perkembangan Minangkabau. Pada masa Belanda, isu pertentangan ini juga pernah dijadikan Belanda sebagai cara untuk memecah-belah persatuan masyarakat Minangkabau, hingga meletuslah Perang Paderi.
Alhamdulillah, bukannya memecah dan merusak Ranah Minang, Perang Paderi malah membawa berkah. Berkat Perang Paderilah muncul Sumpah Sati Bukik Marapalam pada tahun 1837, yang berbunyi, Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah. Adat manurun, syarak mandaki. Adat nan kawi, syarak nan lazim. Syarak mangato, adat mamakai. Tuhan basifat qadim, manusia basifat khilaf.”.

Dengan adanya Perang Paderi, terciptalah keharmonisan antara adat dan Islam. Segala hal yang bertentangan dihapus, sedangkan hal yang sudah pas dipatenkan. (Terima kasih kepada Tuanku Imam Bonjol Malin Basa, Harimau nan Salapan, serta inyiak-inyiak kita yang telah berjasa)
Namun sayang, kini, pertentangan-pertentangan adat dan agama kembali mencuat. Dan lebih sayang lagi, pertentangan ini dibuat-buat oleh mereka yang tidak paham agama, tidak pula mengerti adat. Bahkan jangan-jangan, pertentangan ini juga dimunculkan untuk mengadu domba umat?

Nah, apa saja pertentangan agama dan adat yang dituduhkan?

1. Warisan dalam adat Minangkabau hanya jatuh pada perempuan

Saat ada yang mengatakan bahwa lelaki tidak mendapatkan harta warisan di Ranah Minang, di situ kadang saya geli. Bagaimana tidak?

Dalam adat Minangkabau, ada 3 macam harta. Pertama, harato pusako tinggi. Kedua, harato pusako randah. Ketiga, harato pancarian.

Tidak ada perbedaan pendapat, bahwa harato pancarian adalah milik pribadi, sehingga jika si pemilik meninggal, maka harato pancarian ini akan dibagikan kepada ahli warisnya sesuai dengan aturan faraid dalam Islam. Laki-laki dapat, perempuan juga dapat, dengan syarat ada dalam daftar penerima warisan.

Berbeda dengan harato pusako tinggi dan harato pusako randah. Dua harta ini bukanlah milik pribadi si mayat, melainkan milik kaum. Istimewanya, harta ini hanya mencakup benda properti ; tanah, kebun, rumah, tanah pekuburan, kolam.

Dalam kepengurusan harta ini, yang ada hanyalah hak untuk menggunakan, tidak ada hak kepemilikan, sehingga adalah dosa besar, jika harta ini dijual kemudian hasilnya dimakan sendiri tanpa tuntutan keadaan yang mengharuskan.

Karena harato pusako tinggi dan harato pusako randah pada dasarnya adalah milik kaum, maka saat si pengelola meninggal, dua harta ini tidak diwariskan kepada ahli warisnya, melainkan dikembalikan kepada kaum, kemudian pimpinan adat (Niniak Mamak) akan memutuskan bagaimana nasib tanah ini kemudian.

Bukankah pengertian mawaris dalam fikih adalah : Aturan-aturan fikih dan matematika, yang dengannya diketahui bagian setiap ahli waris dari harta peninggalan si mayat.

Karena yang dibagikan hanyalah harta peninggalan si mayat, maka yang bukan harta si mayat dikembalikan kepada pemilik aslinya. Begitu pula dengan harato pusako randah dan harato pusako tinggi, dikembalikan kepada kaum.

Hal ini juga membantah tuduhan bahwa tanah di Minangkabau itu seluruhnya haram. Bagaimana mungkin tanah tersebut haram, jika lahan dahulu dibuka secara bersama-sama, kemudian dijadikan milik bersama (milik kaum)? Yang haram itu adalah saat harta milik bersama ini kemudian dijual, kemudian hasil penjualannya dimakan. Lebih parah lagi, setelah tanah pusaka dijual, di atasnya dibangun gereja atau rumah ibadah lain. Na'uzubillah.

Memang, dalam prakteknya, pembagian harato pusako ini menimbulkan banyak perselisihan. Menurut hemat penulis, perselisihan yang muncul adalah karena para pimpinan adat (Datuak) yang seharusnya mengurus negerinya, malah lebih asyik hidup di daerah lain, sehingga amanahnya tersia-siakan. Jika para datuak komitmen dengan amanah yang dipercayakan kepada mereka, tentu perselisihan macam ini tidak akan terjadi.
2. Nikah satu suku dalam satu nagari dilarang, meskipun tidak ada ikatan mahram

Dalam adat Minangkabau, ada larangan khusus dalam pernikahan, yaitu orang yang satu suku (marga), memiliki datuak yang sama, berada dalam nagari (setara dengan kelurahan) yang sama, maka ia dilarang untuk menikah karena masih terhitung sebagai dunsanak.

Aturan ini tidaklah bertentangan dengan agama, karena melarang sesuatu yang didiamkan oleh agama boleh-boleh saja jika ditinjau ada manfaatnya. Yang tidak boleh itu adalah melarang sesuatu yang diwajibkan, seperti larangan berjilbab atau larang salat. Penjelasan larangan ini bisa dilihat di dalam buku-buku fikih, mengenai cakupan hak perintah dari uli'l amri.

Berikut analoginya :

Bukankah sekolah boleh melarang muridnya berrambut panjang, padahal dalam Islam, rambut panjang diperbolehkan. Bahkan, dalam satu riwayat, dikatakan bahwa rambut Rasulullah Saw panjangnya sampai ke bahu. Dalam aturan ini, pantaskah kita katakan kalau sekolah itu sekolah kafir karena melarang sesuatu yang diperbolehkan agama? Tentu tidak. Begitu pula dengan adat.

Contoh lainnya, pada umumnya, orang tua pasti akan melarang anak bujangnya yang berumur 20 tahun jika ingin menikahi janda berumur 45 tahun. Padahal hal in sah-sah saja dalam agama, bahkan dalam beberapa keadaan malah disunnahkan. Apakah jika orang tua melarang, kita katakan bahwa orang tua sudah kafir? Tidak!

Begitu pula dengan adat. Adat larang kaumnya untuk menikahi kerabat satu suku, karena melihat banyak manfaat. Bukankah kita lihat, salah satu bentuk fanatisme buta adalah tidak menikah dengan orang yang berbeda golongan?

Masih banyak manfaat dan mudarat yang bisa dijabarkan. Penjelasan lengkapnya, silakan cek di sini.
3. Wanita melamar laki-laki

Ini adalah tuduhan  yang lebih ngawur lagi. Dalam adat Minangkabau, yang melamar bukan wanita, melainkan keluarga si wanita. Mengapa? Karena memang begitulah seharusnya orang tua, berkeinginan kuat agar anak perempuannya mendapatkan jodoh yang terbaik. Bukankah Umar bin Khattab RA juga antusias mencarikan suami untuk anak beliau, Hafshah binti Umar?

Dan satu hal yang perlu diketahui, bahwa ternyata, dahulu Rasulullah Saw juga dilamar oleh wanita, yaitu Siti Khadijah RA, istri pertama Rasulullah Saw yang paling beliau cintai, yang tidak pernah beliau madu hingga beliau (Khadijah) meninggal. Untuk catatan, lamaran tersebut melalui perantara, tidak secara langsung.
4. Laki-laki tinggal di rumah istrinya setelah menikah

Dalam Islam, tidak ada aturan ketat dalam urusaan tempat tinggal. Sesorang boleh tinggal dimana saja, rumah diakah, rumah suaminyakah, rumah istrinyakah, ataupun rumah mertua.

Dalam adat Minangkabau, seorang lelaki setelah menikah harus tinggal di rumah mertua, meskipun tidak selamanya, karena banyak juga yang pindah setelah punya anak, karena rumah mertua tak lagi mencukupi. Jika kita jeli, kita dapat melihat manfaat luar biasa dari aturan ini.

Di awal rumah tangga, wanita yang belum terbiasa masak akan lebih intensif untuk belajar kembali dari ibunya. Keselamatan si wanita juga lebih terjaga, karena segala gerak-gerik suaminya diperhatikan. Tidak akan ada cerita KDRT, karena di rumah istri ada ayahnya, ada saudara laki-lakinya.

Menurut beberapa penelitian, permasalahan rumah tangga banyak muncul saat wanita tinggal di rumah si laki-laki, akibat ibu laki-laki yang tidak suka dengan istrinya. Bukankah sering kita dengar, bahwa hungungan istri dan ibu adalah hubungan yang rumit, dan kecemburuan antara keduanya adalah kecemburuan yang tidak bisa dijelaskan.

Dari sini, kita lihat, bahwa tidak ada pertentangan antara agama dan adat. Malah, jika dikaitkan dengan ilmu qawaid fiqhiyyah, maka boleh jadi hukum lelaki tinggal di rumah istrinya di awal pernikahan adalah sunnah.

Dan lagi, fakta yang tak bisa dibantah adalah, bahwa Rasulullah Saw juga diboyong ke rumah Siti Khadijah setelah beliau berdua resmi menikah. Dan perlu diketahui bahwa Rasulullah Saw merupakan teladan terbaik, baik sebelum maupun setelah kenabian. Bukankah teladan Rasulullah Saw dalam berdagang kita dapati sebelum beliau menjadi Nabi?
5. Nasab orang Minang diturunkan dari ibu

Ini adalah pernyataan yang didasari oleh logika yang tidak sehat. Memang, dalam adat Minangkabau, suku dan marga itu diturunkan oleh ibu. Jika ibu bersuku Pisang, maka anaknya juga pisang. Jika ibunya bersuku guci, maka anaknya bersuku guci pula.

Di sini kita harus bedakan, mana yang suku, mana yang nasab. Tidak ada istilah, bahwa di Minang nasab anak turun dari ibu. Tidak pernah sekalipun terdengan “Fulan bin Ibunya”. Yang ada hanyalah fulan bin ayahnya, seperti Fakhry Emil Habib bin Asra Faber.

Karena jika kita katakan bahwa nasab orang Minang diturunkan dari ibu, otomatis yang menikahkan anak perempuan nanti adalah ibunya, pun, yang wajib menafkahi anak-anaknya adalah ibu. Namun kenyataannya, dalam praktek tidak demikian. Setiap anak di Minangkabau tetap dinikahkan oleh ayahnya, pun kewajiban nafkah keluarga di Minangkabau tetap tanggungan seorang bapak, bukan ibu.

Polanya tetap begitu dan akan selalu sama, bahwa suku turun dari ibu, sedangkan nasab tetap turun dari ayah. Maka dari itu, tidak patut dikatakan bahwa dalam urusan nasab, Minangkabau menyalahi agama.
Mudah-mudahan penjelasan ini cukup untuk mengobati penasaran dunsanak yang ingin mengkaji lebih dalam tentang adat. Satu pesan kami, boleh jadi sesuatu itu terlihat bertentangan, namun setelah dikaji, ternyata malah akur dan berkesesuaian.

Lagi, jangan mudah menghukumi adat dan agama, sebelum kita berdalam-dalam mengkaji keduanya. Buya Hamka saja, yang kepakarannya diakui dunia, bahkan dari Universitas Al-Azhar mendapatkan gelar Honoris Causa, bangga karena begitu akurnya Islam dan Minang. Lalu siapa kita? Pahamkah kita adat? Sudahkah kita kuasai ilmu agama beserta cabang-cabangnya? :)
Wallahu a`lam. Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.. (^_^)

-----------------------
Referensi :
Adat Minangkabau :
- Sjafnir Aboe Nain Datuak Kando Marajo, 200th Tuanku Imam Bonjol, Suara Muhammadiyah, Pasaman, 1988
- Zamris Datuak Rajo Sigoto, Budaya Alam Minangkabau, Jasa Surya, Padang, 2011
- Bakri Bagindo Nan Sati, Adat Lamo Pusako Usang Sarato Pitaruah Mandeh, Pribadi, 2007
- Referensi lain penulis dapat dari bertanya langsung pada tokoh-tokoh adat di sekitar penulis, terutama Ayah, Drs. Asra Faber, M.A. Malin Mudo

Syariah Islam :
- Prof. Dr. Wahbah Azzuhaili, Mausu`atu'l Fiqhi'l Islami, Darul Fikri, Damaskus, 2012
- Tim Profesor Jurusan Fikih Kuliah Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar, Fiqhu'l Mawarits, Kairo, 2013
- Tim Profesor Jurusan FIkih Kuliah Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar, Al-Ahwalu's Syakhshiyyah, Kairo, 2013
- Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam, Al-Qawaidu'l Fiqhiyyah, Darul Hadits, Kairo, 2005
- Dr. Muhammad Syafii Antonio, Mec, Muhammad SAW: The Super Leader Super Manager, ProLM Centre & Tazkia Multimedia, 200
- Zainuddin Al-Malibari Al-Fannani As-Syafi'i, Fathu'l Mu'in, 987H
- Muhammad bin Qasim Al-Ghazzi, Fathu'l Qaribi'l Mujib, Darul Bashair, Kairo, 2012 

*Beberapa referensi fikih berbahasa Arab merupakan kitab-kitab klasik,

MENGKAJI BASAFA DIULAKAN SECARA MENDALAM DAN HUBUNGANNYA DENGAN SYEIKH BURHANUDDIN




Saone Kaluaik Pariaman selatan Cucu dari Labai M. Zein Koto Tinggi Enam Lingkung Generasi ke V dari Sipono bin Pampak sati Karimun Merah bin Tantejo Gurhano as Guguak silakadi Pariangan (Syeikh Burhanuddin Ulakan).
Menurut Tuangku Hery Firmasyah (Khalifah XV dari Syeikh Burhanuddin), Adapun Syeikh Burhanuddin yang bernama asli Sipono (si Panuah /Samporono) bukan penduduk asli yang manaruko di Ulakan tetapi dia datang dari Guguak Sikaladi Pariangan Padang Panjang Tanah Datar ayahnya Pampak sati karimun merah bersuku Koto dan Ibunya Cukuik Bilang Pandai bersuku Guci atau Dalimo bila di pariangan sebab ketika Pampak sekeluarga hendak pindah ke Pariaman mereka melapor terlebih dahulu pada Tuanku Datuak Katumangguangan dan oleh  Datuak sebagaimana jalur turunnya suku dari darek ke rantau maka Keluarga Akalundang di anjurkan membawa suku Guci ke rantau pesisir pantai Pariaman dimana Suku Guci merupakan pecahan dari Suku Dalimo di Pariangan.
101_0072
(Foto: Gerbang Makam Syeihk Burhanuddin)

Nagari Ulakan

101_0046
Nagari Ulakan Berada di Pesisir Pantai Padang Pariaman Sumatera barat daerah ini terkenal dengan kunjungan bersyafarnya pengikut ulama besar Syatariyah Syeikh Burhanuddin di Ulakan.
101_0056Nama ulakan sendiri berasal dari sebutan Penolakan untuk tempat empat sahabat syeikh Burhanuddin yang ditolak kembali belajar dengan Syeikh Abdurrauf dan diperintah untuk menjadi murid Syeikh Burhanuddin atas perintah Syeikh Abdurrauf sendiri sekaligus membantu Syeikh Burhanuddin dalam mengembangkan Agama Islam di Ranah Minang.
Nagari Ulakan berada di wilayah pesisir pantai sebelah barat Sumatera tepatnya di Kabupaten Padang Pariaman sederetan alur pantai Kota Padang, berada di dekat Bandara Internasional MInangkabau (BIM)
Ulakan merupakan bagian dari wilayah dibawah naungan kecamatan Ulakan Tapakis tetapi masih merupakan daerah otonom Kerajaan Adat Rantau Minang Kabau (Bak kata pepatah Luhak ba Panghulu, Rantau Barajo) maka disini berulayat Rajo nan Sabaleh. Yaitu 1. Rangkayo rajo Sulaiman, 2. Rangkayo Rajo Mangkuto, 3. Rangkayo rajo Dihulu, 4. Rangkayo Rajo Amai said, 5. Rangkayo Rajo Malakewi, 6. Rangkayo rajo Tan Basa, 7. Rangkayo Rajo Majo Basa, 8. Rangkayo Rajo malako, 9. Rangkayo Rajo Sampono. 10. Rangkayo Datuk Tamin Alam 11.Rangkayo Datuak Batuah. Memegang sendi adat dan sarak.
101_0073Ulakan berada dalam wilayah pemerintahan terendah Padang Pariaman dimana pada sebelah selatan berbatasan dengan kecamatan Batang Anai sebelah barat berbatasan dengan lautan Samudra Indonesia dan sebelah Utara bebatasan dengan kecamatan Nan Sabaris Pauh Kambar.
Mata pencaharian masyarakat umumnya sebagai Nelayan dan sebahagian lagi bertani namun banyak juga yang diluar daerah karenasudah garis darah masyarakat Minang khususnya Pariaman memiliki darah perantau maka diama ada kota besar disitu ada masyarakat Pariaman demikian pula Masyarakat Ulakan.
DSC_2918                                                                                                                       Pada abad ke XII M. ( Urang Tuo Nan Barampek) orang tua berempat turun dari Darek merintis Nagari (malaco pintalak) membuka ladang. yaitu suku Panyalai (Caniago) dan Suku Koto. kedua suku inilah yang menjadi suku asal yang memiliki peranan khusus di ulakan namun perkembangannya  empat suku lain membuat belahan datang kemudian yaitu suku Sikumbang datang mengisi adat pada suku Koto dan suku Tanjung mengisi adat pada suku Jambak yang dahulu malakok mengisi adat ke suku Koto kemudian belakangan datang suku Guci membelah ke suku Panyalai (Chaniago).
images_365
Menurut penuturan pemuka adat dan tokoh masyarakat dan data arsip yang ada di Belanda bahwa nagari ulakan dikenal sejak kehadiran Syeikh Buhanuddin pada Abad ke 12 Hijriyah atau abad ke 17 Masehi. diaman kehadiran Syeikh Burhanuddin menjadi pusat perhatian karena dialah orang pertama yang mendirikan sekolah berbentuk pesantren di pulau perca Pantai Sumatera yang kala itu masih berbentuk surau sebagai pusat pendidikan islam dan kajian agama islam diMinangkabau. bersama dengan empat sahabatnya yaitu Datuk Maruhun Panjang, dari Padang Gantiang, siTarapang dari Kubang Tigobaleh (Solok), Mohd. Natsir syeikh  Surau Baru dariKoto Tangah Padang dan Syeikh Buyuang Mudo dari Bayang Pulut-Pulut Pesisir selatan yang sebelum selesai belajar pada Syeikh Abdurrauf mereka pulang terlebih dahulu dan mencoba mengembangkan ajaran Islam dikampung halaman masing masing namun tidak mendapat sambutan sehingga kembali ke aceh dan diperintahkan belajar pada Syeikh Burhanuddin di Tanjung Medan Ulakan.
Syeikh Burhanuddin
Adapun Syeikh Burhanuddin yang bernama asli Sipono (si Panuah /Samporono) bukan penduduk asli yang manaruko di Ulakan tetapi dia datang dari Guguak Sikaladi Pariangan Padang Panjang Tanah Datar ayahnya Pampak sati karimun merah bersuku Koto dan Ibunya Cukuik Bilang Pandai bersuku Guci yang sejak 256 tahun sebelumnya sudah merupakan daerah kerajaan Pagaruyung sekitar 30 KM ditimur Pariangan.
IMG00755Neneknya bernama Puti aka Lundang keturunan Putri bangsawan kakeknya bernama Tantejo Gurhano.
dari pasangan ini lahirlah Ayahnya Pampak Sati Karimun Merah merupakan seorang Datu pandai obat.
sementara neneknya Puti aka Lundang bersuku Guci garis keturunan dari kuweak di batu hampar putiah lereng gunung merapi.
Patung buayo putiah daguak
Dalam mamang sejarah disinilah tempat bersemenyamnya Buayo putiah daguak, galundi nan baselo dan sirangkak nan badangkang. Dan kelahiran syeikh Burhanuddin diperkirakan sekitar tahun 1646 Masehi- 1056 H.
Kehidupan sehari hari si pono kecil tidak ubahnya seperti anak seusianya yang selalu bejajar dan bermain namun ada kekhususan yang setiap malam diajarkan ayahnya yaitu ilmu kebathinan dan kedigyaan bela diri silat. Dimana bekal pelajaran inilah yang dia sisipi pada pengembangan agama kelak.
Kecelakaan yang merubah hidup.
Ada kelebihan dari sipono bahwa dia selalu tidak mau menerima apa adanya dia selalu berfikir dan bertanya dan banyak waktunya dia habiskan di bukit untuk merenung sambil menggembala kerbau sehingga suatu ketika sirangkak nan badangkang (Harimau) mengintai untuk memangsanya namun berbekal pelajaran beladiri dari ayahnya sipono bisa mengusir harimau tersebut namun malang baginya urat kakinya putus terkena kuku sirangkak. Sehingga akibat peritiwa itu dibawanya hingga akhir hayat dan dia mendapat gelar baru oleh teman temannya si pincang.
Secara garis besar agama Islam telah masuk ke Pulau Perca (Asia) dan disebarkan di aceh 300 tahun sebelum sipono lahir namun agama baru ini tidak bisa menyentuh sendi kehidupan daerah darek yang masih memeluk agama Hindu dan Budha yang kuat, namun ulama dari timur bisa menembus pedalaman Pakan Tuo batang bangkaweh yang merupakan salah satu jalur perdagangan kala itu.
Dan seperti biasa setiap hari pekan Sipono selalu dibawa ayahnya pergi ke pasar Tuo Batang Bangkaweh disini dia dipertemukan pada seorang gujarat yang disebut dengan “Illapai” untuk belajar berniaga.
Kiranya Illapai ini memasukkan fahammnya pada Sipono dan sipono tertarik untuk mendalaminya dan sejak saat itu bermulalah perjalanan hidup si Pono.
Suatu ketika Illapai menceritakan bahwa ada guru yang lebih pandai darinya di negeri rantau pesisir Minangkabau yaitu seorang ulama dari mekah yang terkenal dengan sebutan Tuanku Madinah. Sedang mengajarkan agama Islam.
Cerita ini menarik minat sipono maka diutarakannyalah niatnya untuk belajar agama Islam di Tapakis pada Tuanku Madinah tersebut.
Melihat semangat anak kesayangannya dan hiba membayangkan anaknya yang selalu di perolok-olok kan temannya karena pincang maka niat tersebut dikanulkan oleh ayahnya untuk pindah sekaligus membuka lapangan usaha di daerah baru.
Berangkatlah keluarga ini 6 rombongan menyelusuri hutan mengiliri batang air melewati nagari malalo (Singkarak) dan turun gunung sampai Nagari Asam Pulau dan terus mengiliri anak sungai batang anai sampai kenagari Sintuak Lubuk Aluang.
101_0042
Disintuak merupakan nagari yang pertama mereka tempati dan menetap di perantauan dan karena ditempat ini kehadirannya diterima maka mulailah mereka memulai kehidupan dengan menggembala kerbau.
Karena setiap hari kerjanya mengembala kerbau, diusianya yang kesebelas tahun maka sipono tidak banyak bergaul dengan orang lain sehingga dia bagaikan mengasingkan diri disamping setalian untuk menghindari cemoohan orang akan kondisi Kakinya yang pincang.
Padang gembalaannya semakin hari semakin jauh dan tidak terbatas di Sintuk saja melainkan melebar sampai ke Tapakis yaitu daerah antara sintuk dan Ulakan kini.
Dipengembalaannya di Tapakis sipono mendapat teman bermain orang ulakan yang berasal dari Tanjung Medan yang bernama Idris yang kelak diberi gelar Khatib Majolelo dan menjadi teman setianya ketika kembali dari Aceh dan menjadi tulang punggung dalam penyiaran Islam di Ulakan.
Dari si Idris inilah si pono banyak mendapat informasi tentang keberadaan Yah Yudi Syeikh Abdul Arif yang digelari Tuangku Madinah karena berasal dari Madinah Tanah Arab dan pada Syeikh ini Sipono belajar agama Islam.
Karena kecerdasannya dan kemauannya yang kuat dalam mempelajari agama maka dengan cepat si pono berhasil menguasai semua pelajaran yang diberikan Tuanku Madinah. Dan pada suatu jumat gurunya menyuruh sipono untuk menjadi Imam dan memimpin guru serta teman teman seperguruannya shalat berjamaah, dia berhasil melaksanakan tugas tersebut tanpa cela sehingga hati syeikh Madinah senang dan mengajaknya berbicara serius dengan mengatakan bahwa ilmu yang dimilikinya belum lengkap untuk itu sipono hendaknya pergi berguru ke Aceh menemui Syeikh Abdlurrauf di singkil.
Sekaitan dengan berkembangnya ajaran Islam di Ulakan masyarakat mulai tidak menyenangi Sipono
(4) Situs Mesjid Aceh kejayaan St. Iskandar Tsani
yang imbasnya juga terhadap keluarga Pampak seseluruhan untuk itu inisiatif sipono pergi ke Aceh disetujui ayahnya agar bisa menghindari kemarahan masyarakat yang mulai main kasar bahkan ingin membunuh si pono karena ajaran islam tersebut menghalangi adat kebiasaan mereka dalam berjudi dan bersabung Ayam.
Bagi orang tua kapergian sipono ke Aceh sama saja dengan kehilangan anak untuk selamanya karena aceh itu jauh dan medannya sangat berat dan berbahaya sehingga kepergian sipono bagaikan kepergian pamit untuk mati yang tidak kembali lagi.
Ranji Menghubungkan Syeikh Burhanuddin dengan Nabi Muhammad SAW.
Perjalanan ini dilepas oleh orang tua dan sahabat karibnya Idris dengan perasaan galau dan kehilangan.
Mendapati situasi seperti ini sipono berpesan jangan bersedih bahwa dia akan kembali terutama pada sahabatnya si  Idris yang berjanji akan menanti kedatangan si pono sahabatnya.
Perjalanan ke Aceh.
(1) pantai Aceh Singkil
Dengan bekal keberanian dan keyakinan yang kuat untuk menambah ilmu Agama ke Syeikh Abdurrauf di Aceh maka Hutan Rimba belantara  bukit barisan dia jelajahi tanpa mengenal lelah siang berteman matahari malam berselimut embun dengan bilangan hari minggu dan berganti bulan akhirnya Pakiah Pono bertemu dengan empat orang  yang juga sehaluan jalan.
Keempat orang tersebut berhenti ditepi jalan menunggu Pakiah Pono melewatinya, melihat perawakan dari ke empat orang tersebut hati Pakiah Pono sama sekali tidak ciut meski dalam hatinya bertanya tanya mengapa mereka berhenti padalah dia sudah bersengaja berjalan lambat-lambat agar tetap berada dibelakang.
Ketika sudah dekat dengan sopan Pakiah Pono menyapa mereka sambil menghatur sambah tangan di depan dada yang dibalas dengan sopan pula oleh keempat orang tersebut dan saling bertanya darimana berasal dan kemana tujuan.
Setelah berkenalan dan mengungkap nama masa kecil serta gelar yang disandang kemudian berbincang-bincang tentang arah tujuan yang kiranya sama-sama hendak menuntut ilmu pada Syeikh Abdurrauf di Singkil Aceh.
Karena kepintaran berdiplomasi si Pakiah Pono maka atas kesepakatan mereka berlima ditunjuklah Tuanku Pono menjadi pimpinan Rombongan hingga sampai di Aceh Singkil.
Adapun teman berempat yang bertemu Pakiah Pono adalah Datuak maruhun Panjang dari Padang gantiang Batu Sangka, Sitarapang dari Kubuang Tigobaleh Solok, M. Nasir dari Koto Tangah Padang (Koto Panjang), Buyuang Mudo dari Bayang Salido Banda Sapuluah.
Syeikh Abdurrauf
(1) makam Syeikh Abdurrauf as Singkili
Gerbang Makam Syeik AbdurraAbdurruf
Syeikh Abdurrauf merupakan seorang Mufti pada kerajaan Aceh yang sama seperguruan dengan Syeik Abdul Arif syeikh tuangku Madinah yang belajar dengan Syeikh Abdul Ahmad Khusyasi di Madinah.
Syeikh Abdurrauf adalah guru yang ahli dalam ilmu Fikih, ilmu Tashauf, ilmu Nahu syaraf, Tafsir, mantiq, ilmu Maani, Badi,Bayan,Tauhid dan Ushul.
Adapun ranji silsilah keilmuan Syeikh Abdurrauf adalah Syeikh Abdul Ahmad Khusyasi, Syeikh Muhammad Syanawi, Syeikh Sibatullah, Syeikh Muhammad Alwi, Syeikh Muhammad Lawsi, Syeikh Hudhuri, Syeikh Hidayatulah, Syeikh Syathari, Syeikh Abdul Syathari, Syeikh Muhammad Arief, Syeikh Muhammad Asyik, Syeikh Khadi Khali, Syeikh Ali Safi’i, Syeikh  Asnawi, Syeikh Asyik Asaki, Syeikh Muhammad Maghribi, Syeikh Abu Yazid Bustami, SyeikhJa’far Sidik, Syeikh H. Muhammad Bakir, Syeikh Zainul Abidin, Syeikh Saidina Husein, Syeikh Saidina Ali, Nabi Muhamad Rasulullah SAW.
Dengan ranji inilah Pakiah pono ( Syeikh Burhanuddin) kelak di sandingkan.
Pakiah Pono jadi Murid Syeikh Abdurrauf as Singkili (Syeikh Kuala)
Sejarah singkat Syeik Abdurrauf
images_026Syeikh Abdurrauf dikenal juga dengan sebutan Syeikh Kuala, beliau dilahirkan di Singkil pada tahun 1615 Masehi atau 1024 Hijriyah. Syekh Abdurrauf merupakan keturunan Persia yang datang ke Kesultanan Samudera Pasai pada akhir abad ke 13. Nama Singkil kemudian dinisbatkan pada daerah kelahirannya.
Menurut sejarah ayah Singkil adalah kakak laki-laki dari Hamzah Al-Fansuri, namun tidak cukup bukti yang meyakinkan bahwa ia adalah keponakan Al-Fansuri.
images_187
Adalagi Nama yang disebut sebagai ayahnya dimana dia merupakan seorang ulama yang juga filsuf yang terkenal dengan pantheismenya yaitu Syeikh ‘Ali
Menurut cerita Dia adalah seorang keturunan Arab yang telah mengawini wanita setempat dari Fansur (Barus), sebuah kota pelabuhan tua di Sumatera Barat. Keluarga itu lantas menetap di sana.
Singkil didapatkan pendidikan pertama di tempat kelahirannya, Singkil, terutama dari ayahnya yang merupakan seorang alim. Ayahnya juga mempunyai pesantren. Singkil pun menimba ilmu di Fansur (Barus), karena ketika itu negeri ini menjadi salah satu pusat Islam penting di nusantara serta merupakan titik hubung antara orang Melayu dan kaum Muslim dari Asia Barat dan Asia Selatan.
Beberapa tahun kemudian, Singkil berangkat ke Banda Aceh, ibukota kesultanan Aceh dan belajar kepada Syams al-Din al-Samatrani, seorang ulama pengusung Wujudiyyah.
Sejarah perjalanan karier Singkil diawali saat dia menginjakkan kaki di jazirah Arab pada 1052 H/1642 M.
Sekitar 19 guru yang ada dalam catatan sejarah pernah mengajarinya dengan berbagai disiplin ilmu Islam di samping sebanyak 27 ulama terkemuka lainnya. Tempat belajarnya tersebar di sejumlah kota yang berada di sepanjang rute haji, mulai dari Dhuha (Doha) di wilayah Teluk Persia, Yaman, Jeddah, Makkah serta Madinah.
Eksperimen pencarian jatidiri dan keislamannya dimulai di Doha, Qatar, dengan berguru pada seorang ulama besar, Abd Al-Qadir al Mawrir kemudian berakhir dengan Syeikh Abdul Khusyasi di Madinah yang kini menjadi ranji aliran ajaran Syeikh Burhanuddin.
Sepanjang hidupnya, tercatat Singkel sudah menggarap sekitar 21 karya tulis yang terdiri dari 1 kitab tafsir, 2 kitab hadits, 3 kitab fiqih dan selebihnya kitab ilmu tasawuf. Bahkan tercatat kitab tafsirnya berjudul Turjuman al-Mustafid (Terjemah Pemberi Faedah) adalah kitab tafsir pertama yang dihasilkan di Indonesia dan berbahasa Melayu.
Dia juga menulis sebuah kitab fiqih berjudul Mi’rat at-Tullab fi Tahsil Ahkam asy-Syari’yyah li al Malik al-Wahhab (Cermin bagi Penuntut Ilmu Fiqih pada Memudahkan Mengenal Hukum Syara’ Allah) yang ditulis atas perintah Sultanah.
Sementara di bidang tasawuf, karyanya yakni Umdat al-Muhtajin (Tiang Orang-Orang yang Memerlukan), Kifayat al-Muhtajin (Pencukup Para Pengemban Hajat), Daqaiq al-Huruf (Detail-Detail Huruf) serta Bayan Tajalli (Keterangan Tentang Tajali).
Namun, di antara sekian banyak karyanya, terdapat salah satu yang dianggap penting bagi kemajuan Islam di nusantara yaitu kitab tafsir berjudul Tarjuman al-Mustafid. Ditulis ketika Singkel masih berada di Aceh, kitab ini telah beredar luas di kawasan Melayu-Indonesia bahkan hingga ke luar negeri.
oleh banyak kalangan, tafsir ini telah banyak memberikan petunjuk sejarah keilmuan Islam di Melayu. Di samping pula kitab tersebut berhasil memberikan sumbangan berharga bagi telaah tafsir al-quran dan memajukan pemahaman lebih baik terhadap ajaran-ajaran Islam.
Pada bagian lain, pendapat Singkel terhadap paham wahdadul wujud dipaparkannya dalam karya Bayyan Tajali. Karya ini juga merupakan usahanya untuk merumuskan keyakinan pada ajaran Islam.
Kalimat utama dari Syeikh Abdurrauf adalah betapapun yakin seorang hamba kepada Allah, namun khalik dan mahluk tetap memiliki arti tersendiri.
Sepulang dari belajar dia meneruskan pesantren ayahnya di singkil dan bekerjasama dengan Kesultan Aceh dengan menjadi mufti kerajaan.
Singkil Selayang pandang
(5) peta lokasi Aceh singkil
Singkil merupakan sebuah daerah di Aceh yang atas UURI Nomor 14 tahun 1999 tepatnya tangal 20 April 1999 Singkil menjadi sebuah Kabupaten akibat pemekaran dari Kabupaten Aceh Selatan dengan wilayah seluas 2.187 km2 terdiri atas 11 kecamatan dan 127 kelurahan, berada di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser.
Kabupaten Aceh Singkil sendiri terdiri dari dua wilayah antara daratan dan Kepulauan sementara Singkil sendiri merupakan Ibukota Kabupaten yang terletak di jalur penghubung Banda Aceh, Medan dan Sibolga.
Singkil tidak hanya merupakan nama Salah satu Kabupaten di NAD apalagi hanya nama Kecamatan di Kabupaten Aceh Singkil, tapi singkil merupakan nama sebuah suku bangsa yang memiliki budaya dan sistem kekerabatan serta pranata sosial lainnya yang sudah lengkap, mendiami daerah geografis yang saat ini dikenal Kab. Aceh Singkil dan Kota Subulussalam,
(2) Rumah adat budaya AcehMasyarakat Singkil hidup secara berkelompok dan membentuk beberapa desa di Kabupaten Aceh Tenggara (Tanoh Alas). Singkil sendiri memiliki 15 Desa dan 9 Kelurahan.
Bahasa Suku Singkil sendiri berkerabatan dengan Bahasa suku Batak Pakpak di Sumatera Utara Suku bangsa Pakpak menurut cerita berasal dari keturunan tentara kerajaan Chola di India yang menyerang kerajaan Sriwijaya pada abad 11 Masehi.
Namun adat dan budayanya jauh berbeda karena suku singkil sendiri duluan menganut agama Islam sementara Suku Pakpak sendiri dari beragama Hindu kemudian oleh misionaris beralih ke agama kristen.
Selain itu suku Singkil lebih banyak bercampur dengan etnis-etnis tetangganya seperti suku Minang dan suku Aceh sendiri.
Pakiah Pono tiba di Singkil
images_182
Pakiah Pono Datuak maruhun Panjang dari Padang gantiang Batu Sangka, Sitarapang dari Kubuang Tigobaleh Solok, M. Nasir dari Koto Tangah Padang (Koto Panjang), Buyuang Mudo dari Bayang Salido Banda Sapuluah akhirnya tiba di Singkil, mereka langsung menemui Syeikh Abdurrauf di kediamanya sekaligus mengutarakan maksud kedatangan mereka berlima.
Awalnya mula yang menemui Syeikh Abdurrauf adalah sahabat Pakiah pono yang berempat namun mereka mengatakan kedatangan mereka berjumlah lima orang maka menyusul muncul Pakiah pono yang kalinya cacat kecil sebelah akibat peristiwa masa kecil.
Melihat kedatangan Pakiah pono dengan sembah sujud berbudi Syeikh Abdurrauf teringat akan pituah gurunya bahwa nanti akan ada calon muridnya datang dari arah selatan yang nantinya akan menjadi penyuluh agama mewarisi ajarannya untuk dikembangkan dari pesisir Aceh ke Selatan dimana yang satunya cacat namun pintar dan berbudi pekerti yang tinggi.
Maka tanpa ragu Sang Mufti langsung menerima kelima orang ini menjadi murid dan di persilahkan masuk ke surau mengambil tempat untuk tinggal.
Alangkah gembiranya mereka kerena mendapat restu belajar dan sambil berlari mereka berebutan mengambil lokasi dimana keempat orang tersebut berebut mengambil lokasi ditiap sudut sementara si Pakiah Pono tenang tidak berebut tempat sehingga dia tidak kebagian lokasi
Melihat prilaku Pakiah pono yang bersahaja menimbulkan kagum dari sang Syeikh dan akhirnya si Pakiah Pono di anjurkan tinggal di rumahnya saja.
Sebuah pembelajaran yang diterapkan oleh Syeikh Abdurrauf dengan mudah dipahami Pakiah pono apalagi Pakiah pono dapat menjabarkan hakikat pelajaran tersebut dengan metoda yang bisa dipahami dengan mudah oleh orang awam.
Ma’rifat berguru:
“Murid laksana mayat ditangan yang memandikan”
Sebuah pembelajaran yang diterapkan oleh Syeikh Abdurrauf dengan mudah dipahami Pakiah pono apalagi Pakiah pono dapat menjabarkan hakikat pelajaran tersebut dengan metoda yang bisa dipahami dengan mudah oleh orang awam.
Apalagi Latar belakang Pakiah Pono yang berasal dari keluarga bangsawan dan keahliannya dalam mengolah alam buah pembelajaran keras yang diberi Ayahnya Pampak Sati Karimun Merah, anak Tantejo Gurhano seorang Datu sakti di Pariangan sangat berguna diterapkan di pesantren sehingga Syeik Abdurrauf mempercayakan Pakiah Pono untuk  mengurus keperluan Pesantren, dari  membuat  dan memelihara ikan di kolam, Berkebun dan kesawah juga menggembala Sapi kepunyaan Sang Syeikh hal itu dia lakukan tanpa membantah karena pakiah pono menyadari dalam ilmu tareqat apapun alirannya dalam menuntut ilmu murid dihadapan guru ibarat mayat di tangan orang yang memandikannya” semakin tinggi kepatuhan seorang murid terhadap guru maka semakin tinggi keyakinannya pada dirinya sendiri sehingga tanpa disadari terbuka hijab ilmu Allah dan dasar inilah yang memunculkan kejadian-kejadian yang tidak terduga terjadi.
Makanya tiap orang yang mendalami ilmu tareqat berlainan kelebihan-kelebihan yang dia dapatkan karena ilmu tersebut dia dapatkan hasil dari hijabah yang dialakukan sendiri sehingga walau dengan gurunya sekalipun penampakan kelebihan itu tidak sama.
Secara harfiah Tareqat maknanya adalah Jalan atau cara dimana dalam hal ini dinisbatkan untuk jalan mendekatkan diri pada Allah.
 Ya Tuhanku, Engkaulah yang aku tuju,
 KeridhaanMulah yang  aku cari,
Kuharapkan kasih sayangMu,
Serta mengharapkan menjadi hambaMu yang senantiasa cinta dan terdekat dengan Mu.

Untuk mencapai ini dalam ilmu tashauf dibutuhkan seorang mufti atau guru pembimbing yang bisa dipercaya secara lahir maupun bathin karena menyangkut penyerahan kehidupan sang murid secara bulat.
Setelah penyerahan ini sang murid telah menghipnotis dirinya untuk tidak lagi menguasai dirinya secara penuh maka disinilah letak terbukanya hijab Allah karena sang murid hidup dalam keadaan sadar dalam ketidak sadaran dalam artian dia sadar sesadar sadarnya disaat raganya berada tidak dalam kekuasaan otak kecilnya yang penuh logika secara penuh melainkan dikuasai oleh otak besar yang memiliki gelombang penglihatan tanpa batas.
Untuk ujian kepatuhan ini Syeikh Abdurrauf menguji siswanya dengan merendahkan martabat sang siswa dengan cara menyuruhnya menyelam di kolam tempat pembuangan tinja ratusan penghuni pesantren.
Dalam ujian ini tidak seorangpun dari siswa Pesantren yang mau melakukannya kecuali Pakiah pono.
Dalam hikayat, Suatu hari Syeikh Abdurrauf menguji siantrinya dengan memanggil dan menyuruh mereka untuk mengambil bejana yang menurut sang Syeikh jatuh di WC pesantren yang penuh kotoran manusia.
Dari sekian banyak santri hanya Pakiah ponolah yang mau sepenuh hati menyelami WC penuh tinja tersebut tanpa memperhitungkan bau busuk kotoran dan menyerahkannya pada sang Guru setelah dia samak dan bersihkan.
Maka berbinarlah mata Sang guru karena dia mendapatkan murid yang benar-benar akan bisa mewarisi aliran ilmu yang dia pelajari dan pahami selama ini.
Ketika Syeikh Abdurrauf dapat undangan ke sebuah pulau maka dia bergegas pergi dengan beberapa santri dan berpesan pada santri yang tinggal agar menyuruh Pakiah Pono menyusulnya kepulau tersebut.
Mendapat tugas dari sang guru yang dia junjung tinggi Pakiah Pono bergegas ke tepi pantai tetapi setiba di tepi pantai dia tidak mendapat sebuah perahupun untuk bertolak ke pulau
karena Pakiah Pono cucu Tantejo Gurhano sang Datu ternama Pariangan, maka menguasai alam bukanlah sesuatu yang sulit apalagi dengan bekal pengetahuannya tentang sari’at Islam dan pemahamannya akan maksud kandungan Alqur’an sudah sangat mendalam dan jabaran dari ma’rifat asmaul husna sudah dia pecahkan maka atas izin Allah dengan keyakinan penuh tubuhnya menjadi ringan seringan kapas dan dia bisa berjalan diatas air seakan-akan ada kayu penyangga yang menopangnya saat dia melangkah menuju pulau, Peristiwa ini disaksikan oleh santri baik dari daratan maupun di seberang pulau  sehinga ini menjadi salah satu kekeramatan Pakiah Pono.
Kejadian serupa juga terjadi disaat Pakiah Pono sedang membetulkan atap rumah dimana ada potongan kayu terjatuh dan akan mengenai anak gadis Sang Guru maka dengan seketika Pakiah Pono melayang kebawah untuk menyambut kayu tersebut.
Kalau dalam ajaran ayahnya dia menggunakan ilmu Shastra-Shakuna teknik mengatasi gravitasi alam.
Salah satu peristiwa mashur yang menjadi pegangan kaum shufi adalah disaat Pakiah Pono diuji ke imanannya akan godaan wanita.
ratu
Saat itu Pakiah Pono disuruh menjaga anak gadis sang Guru yang lagi mekar-mekarnya dirumah sementara Syeikh Abdurrauf pergi memenuhi undangan panggilan kerajaan.
Kiranya hormon pertumbuhan Pakiah Pono sedang memuncak pula maka bangkitlah nafsunya melihat sang anak majikan yang sedang ranum menjadi tanggungannya.
Inilah perang sangat dahsyat yang dialami Pakiah Pono perang melawan hawa nafsu sendiri disaat nafsu sedang memuncak.
Untuk melawan nafsunya sendiri dia mengambil keputusan yang sangat mahal dengan pergi menjauh dan memukul alat kelaminnya dengan batu.
Bagi Pakiah Pono dari pada jadi budak nafsu seitan dan menjadi orang terbuang didunia dan diakhirat lebih baik menghukum alat kelamin yang menjadi sumber pemicu pelampiasan hawa nafsu.
Meski peristiwa ini disesalkan sang guru namun itu sudah merupakan keputusan yang tidak bisa dirubah lagi dan sejak saat itu bergarislah tabir bahwa Pakiah Pono tidak bisa memiliki keturunan dari darahnya dagingnya sendiri karena alat kelaminnya sudah rusak.
“PAKIAH PONO DIBERI GELAR SYEIKH BURHANUDDIN”
images_084
Cukup lama Pakiah Pono menderita penyakit akibat cidera alat kelaminnya dan ketika sembuh dia tetap melakukan tugas semula seperti melayani kebutuhan santri dengan bijak, mengikuti dan menyimak alur pemerintahan kesultanan Aceh yang kelak sebagai bekalnya ikut masuk menata adat istiadat dikampung halamannya.
Hal inilah yang membuat Syeikh Abdurrauf menjadi lebih perhatian padanya.
Adapun Pembelajaran yang diterapkan Syeikh Abdurrauf pada Pakiah Pono merupakan metoda baru yaitu dengan pendekatan tali bathin.
Tidak ada jarak antara santri dengan murid sehingga pelajaran yang diberikan melalui lisan dengan mudah dapat dipahami Pakiah pono apalagi cara belajarnya juga beda suasana dengan yang lain.
Dengan demikian Pakiah pono dapat menjabarkan hakikat pelajaran tersebut dengan metoda yang bisa di pahaminya.
Karena minat serta perhatiannya sungguh luar biasa apalagi diikuti dengan daya ingatnya yang tinggi membuat Pakiah Pono termasuk murid yang terpandai di antara santri lainnya.
Tidak heran Syekh Abdur Rauf mencurahkan segala ilmu yang pernah dipelajarinya, dan Pakiah Pono pun tidak mau menyia-nyiakan kesempatan dimana kesempatan tersebut dia pergunakan sebaik mungkin sehingga Ilmu syariat Islam yang bercabangkan fikh, tauhid, tasauf, nahu, sharaf, hadits, ilmu taqwim (hisab) dan juga ilmu firasat dapat dia kuasai.
kitab abdurrauf
Suatu ketika Pakiah Pono dibawa Syeikh Abdurrauf ke surau besar dan kemudian menyuruh Pakiah Pono membuka lembaran Kitab dan Syeikh Abdurrauf mengajarkannya sekali jalan dan kenyataannya seluruh isi dari kitab tersebut telah dikuasai oleh Pakiah Pono.
Itulah metode pembelajaran baru yang yang diterapkan Syeikh Abdurrauf pada Pakiah Pono yaitu dengan memberikan wejangan secara lisan terlebih dahulu kemudian baru membuktikannya dengan melihat isi kitab.
Dalam menuntut ilmu berbagai ujian berat di lalui Pakiah Pono hingga akhirnya berhasil lulus dengan baik dan sempurna dimana Syarat lulus Pakiah Pono belajar dengan  Syeikh Abdurrauf adalah Tajalli dengan Allah.
Man a’rafa Nafsahu
 Waman a’rafa Rabbahu,
 Man a’rafa Rabbahu,
Fasaddal Jasadu

(Bila engkau mengenal dirimu
maka otomatis engkau mengenal Tuhanmu
Bila engkau mengenal Tuhanmu
Maka tiadalah berharga lagi kebendaan bagimu)
dan Ma’rifat ini didapatnya dengan berkhalwat mengkaji diri selama 40 hari di gua hulu sungai Aceh, di kaki Gunung Peusangan, sebelah selatan Beureun.
images_002
Sepulang Berkhalwat dan hendak menuju Pondok pesantren Pakiah Pono disuruh melihat ke langit maka berbagai fenomena alam tak sadarnya terpampang disana.
Syeikh Abdurrauf menyuruh Pakiah Pono menceritakan apa yang terlihat olehnya untuk didengan santri lainnya.
Pakiah pono menceritakan bahwa ketika dia melihat ke atas terlihat olehnya 7 lapisan langit dan diatasnya terdapat bentangan tupah berisi ayat-ayat Alqur’an  tempat dimana Allah memerintah Malaikat Zibril membawa Alqur’an tersebut kepada Nabi Muhammad SAW.
Dan ketika dia melihat kebawah terlihat olehnya 7 lapis Pitalo bumi dengan segala isinya.
Kesemua penglihatan Pakiah Pono dijabarkan oleh Syeikh Abdurrauf sehingga para santri yang lain bergetar hatinya dan mengakui betapa kerdilnya manusia itu dihadapan Allah
Syekh Burhanuddin kembali ke Pariaman.
(3) pelabuhan Iskandar Muda kerajaan Aceh
Setelah dirasa cukup menerima ilmu pengetahuan dari Syeikh Abdurrauf maka tibalah saatnya Pakiah Pono dikembalikan ke Pariaman meninggalkan Aceh guna mengembangkan Agama yang dia pelajari selama ini.
Masa pendidikan itu berakhir dengan perpisahan antara guru dan murid yang berlangsung dengan penuh kasih sayang.
Menurut cerita terjadi percakapan antara Syekh Abdur Rauf dengan Syekh Burhanuddin yang berbunyi : “Saat ini berakhirlah ketabahan dan kesungguhan hatimu menuntut ilmu tiada taranya. Suka duka belajar telah engkau lalui dengan sepenuh hati.
Berbahagialah Engkau, dengan rahmat dan karunia Tuhan, telah selamat menempuh masa khalwat  40 hari lamanya.
Engkau beruntung di dunia dan berbahagia di akhirat kelak.
Sekarang pulanglah engkau ke tanah tumpah darahmu menemui ibu bapamu yang telah lama engkau tinggalkan.
Di samping itu tugas berat dan mulia menantimu untuk mengembangkan Islam di sana.” Ujar Syeikh Abdurrauf yang disambut Pakiah Pono dengan kalimat hamdallah “ Alhamdulillahi Rabblil A’lamien”.
Kemudian Syeikh Abdurrauf melanjutkan, “Pulanglah kamu kenegerimu, ajarkan ilmu yang ditakdirkan Allah, kalau kamu tetap kasih, takut dan malu kepadaku maka kamu akan mendapat hikmah, Tanganmu akan dicum raja-raja, Penghulu-penghulu, dan orang besar seluruh negeri, muridmu tidak akan putus hingga akhir Zaman, dan ilmu kamu akan memberkati dunia, karena Hatimu telah terbuka dan aku mendoa ke hadhirat Allah subhanahu wata’ala, semoga cahaya hatimu menyinari seluruh alam Minangkabau.
 Kini, engkau, aku lepaskan.
Namun dengarkan baik-baik!
Guru di Madinah ada empat orang, yakni Syekh Ahmad al Kusasi, Syekh Qadir al Jailani, Syekh Laumawi.
Ketika aku berangkat ke tanah Jawi ini, beliau memberi amanat yang harus kusampaikan kepadamu karena itu setelah ini engkau memakai nama Burhanuddin dimana nama tersebut pemberian dari guruku Syekh Ahmad al Kusasi itu untukmu jauh sebelum engkau berguru padaku dan ia menitipkan sepasang jubah dan kopiah.
Terimalah ini dari padaku supaya sempurna amanat yang kubawa dan suatu kemuliaan bagi engkau dengan sepasang pakaian ini tanda kebesaran ilmu yang penuh di dadamu!”. Demikian isi perbincangan mereka.
Kejadian itu terjadi sekitar Tahun 1686 M. dimana merupakan hari Keberangkatan Pakiah Pono yang kini sudah bergelar Syeikh Burhanuddin untuk meninggalkan mesjid Singkil selama-lamanya.
Pakiah Pono alias Syeikh Burhanuddin dilepas Syeikh Abdurrauf dengan sebuah taufah dan membekalinya perahu disertai 70 orang yang akan mengawalnya selama dalam perjalanan.
Rombongan ini dipimpin oleh seorang Panglima yang bernama Katib sangko berasal dari Mudiak Padang Tandikek yang berlayar dengan Tentara Hindu Rupik dan kemudian menuntut ilmu pada Syeikh Abdurrauf kini dia diminta untuk mengantarkan Syeikh Burhanuddin sampai di kampung halamannya.
Alasan Syeikh Abdurrauf membekali Syeikh Burhanuddin pengawal karena dia yakin nanti akan mendapat tantangan berat sebab kala itu masyarakat Pariaman masih kental memeluk agama Hindu Budha sehingga banyak tukang –tukang sihir akan merintangi karena mereka tidak senang kesenangannya di usik dan ganti.
Setelah bertolak dari Aceh rombongan Syeikh Burhanuddin singgah di Gunung Sitoli untuk menambah bekal air Minum maka disitu rombongan menggali sumur yang airnya tidak payau layaknya air dekat tepi Pantai melainkan bagai air pergunungan.
Setelah selesai shalat dan perbekalan dicukupkan maka rombongan Syeikh Burhanuddin bertolak kembali menuju Pariaman.
Menurut hikayat sumur yang ditinggalkan itu dijadikan orang sebagai tempat berobat maka bernamalah dia menjadi sumur niaik dan kemudian oleh perubahan dialek menjadi sumur nieh dan pulaunya dinamakan Pulau Niaeh (kini namanya Kepulauan Nias).
kapalJauh berlayar akhirnya rombongan Syeikh Burhanuddin tiba di Pulau Angso dimuka pantai Pariaman dan istirahat selama dua hari, kiranya selama itu pecah berita dimasyarakat bahwa ada rombongan kapal Aceh yang datang merapat di Pulau, nama Panglimanya Katib Sangko membawa seorang yang bergelar syeikh Burhanuddin dengan tujuan untuk mengembangkan agama baru.
Berita dari nelayan ini menyulut kemarahan tukang sihir sehingga mereka mengeluarkan segala kepandaiannya untuk mengusir rombongan syeikh Burhanuddin.
Hiruk pikuk kemarahan para tukang sihir tidak membuat gentar Katib Sangko dia tetap menjalankan perintah gurunya mengantar Syeikh Burhanuddin ke Pariaman dengan selamat maka didayungnya kapal ke pantai.
Dipantai kedatangan mereka tidak disambut dengan baik mereka ditolak sebelum mereka myampaikan maksud kedatangannya maka terjadilah perkelahian yang memakan banyak korban baik dari Rombongan Katik Sangko maupun pihak penyihir, tempat tersebut kemudian dikenal dengan nama Ulakan yaitu tempat penolakan kedatangan Rombongan Syeikh Burhanuddin.
Berita perkelahian yang memakan korban ini sampai ke basa nan barampek di Tandikek Tujuh Koto sehingga mereka segera menyusul untuk menangkap Katib Sangko.
Dugaan mereka salah kiranya rombongan Katib Sangko sangat kuat sehingga tiga dari keempat basa tersebut yaitu Gagak Tangah Padang, Sihujan Paneh, dan si Wama mati.
Peristiwa ini membuat Kalik-Kalik jantan gelap mata sementara rombonyan Katib sangko juga banyak yang tewas.
karena mengetahui Kalik-kalik jantan kebal terhadap senjata tajam akhirnya Katib Sangko yang melapor pada Syeikh Burhanuddin. Oleh Syeikh Burhanuddin Katik Sangko disuruh kembali ke Aceh melapor pada Syeikh Abdurrauf tentang kejadian ini dan minta petunjuk. Bagaimana mengalahkan Kalik-kalik Jantan.
images_044Oleh Syeikh Abdurrauf Katik sangko diajarkan cara menghilangkan ilmu kebal Kalik-kalik Jantan dan 150 bala bantuan yang lebih berpengalaman dalam berperang dikirim.
Setelah bantuan tiba di pulau angso syeikh Burhanuddin memerintahkan kembali menyerang dari pantai Pariaman dipagi hari maka  pertempuran kembali pecah dan kali ini Kalik Kalik Jantan membuat tameng rakyat sebagai pelindung namun dia bisa didesak mundur hingga ke hulu batang mangau di tepi hutan Tandikek Tujuh Koto disitu rombongan Kalik Kalik jantan terdesak namun berusaha bertahan dan akhirnya terbunuh oleh Katik Sangko.
Dan tempat pertahanan terakhir kalik-kalik Jantan itu diberi nama Koto Nan Alah.
Tewasnya Kalik-kalik jantan berdampak pada menyerahnya pengikut Kalik-kalik jantan di seluruh Pariaman selanjutnya Katib Sangko dinobatkan menjadi Mufti di Tandikek.
Setelah merasa aman Syeikh Burhanuddin mulai mencari informasi tentang keberadaan kawan karibnya yang kiranya telah diangkat menjadi pemuka masyarakat dengan gelar Majolelo.
101_0038Maka melalui nelayan yang singgah dipulau Syeikh Burhanuddin mengirim pesan pada Idris bahwa dia adalah si Pono yang dahulu pergi belajar ke Aceh.
Mendapat informasi bahwa yang datang adalah Sipono yang kini bergelar syeikh Burhanuddin maka Idris majolelo mengajak Ninik Mamak, Pemuka Adat sanak kerabat dan tokoh masyarakat untuk menjemputnnya karena mereka sudah mendengar makan tangan pasukan yang membawa syeikh Burhanuddin maka melalui Pantai Pariaman Syeikh Burhanuddin di Jeput.
Pertemuan antara teman karib berlangsung haru.
Sesaat kemudian mereka berangkat ke Padang Langgundi, Ulakan. Di sanalah mereka bermalam.
pinago 1
Sebagai tanda kenang-kenangan kembali dari menuntut ilmu, Syekh Burhanuddin menanam ranting pinago biru yang dibawa dari Aceh. Beliau berpesan kepada Idris Majo Lelo bila ajal sampai kelak ia minta dikuburkan dekat pinago biru ini.
kemudian Idris Majo Lelo membawa syeikh Burhanuddin ke Tanjung medan dan dalam perjalanan Idris Majo Lelo menceritakan keadaan orang tua Syeikh Burhanuddin yang telah lama meninggal dan telah diselenggarakan dengan baik.
Setelah sampai di  Tanjung Medan upacara penyambutan kedatangan syeikh burhanuddin dan berlangsung meriah, Syeikh Burhanuddin diberi tanah tempat tinggal.
Kedatangan Syeikh Burhanuddin membuat nagari menjadi bergairah, Santri awalnya adalah kaum keluarga dan kerabat Idris Majolelo.
101_0112
Untuk memudahkan pengembangan syi’ar agama Syeikh Burhanuddin meminta masyarakat agar membawa anaknya ke surau untuk bermain bersamanya. Disinilah cikal bakal pengembangan ilmu agama yang dilakukan oleh syeikh Burhanuddin.
Sistim pembelajaran yang dilakukan Syeikh Burhanuddin tidak seperti biasa, dia melakukannya sambil bermain, semua Permainan yang ada dimasyarakat saat itu dia ikuti, dari Sepak Rago, main gundu dan layang-layang semua dilakoninya namun setiap memulai permain dia selalu membaca basmallah dan doa-doa lain yang membuat dia menang hal ini menimbulkan minat anak –anak untuk mengetahui dan belajar  apa isi doa yang dibaca Syeikh Burhanuddin menjadi tinggi, dan setelah murid-muridnya semakin banyak maka atas musyawarah kaum Koto secara gotong royong dibuatkan masyarakatlah sebuah surau tempat Syeikh Burhanuddin mengajar lokasinya di Tanjung Medan tanah milik Idris Majolelo.
Perjanjian Bukit Marapalam
101_0083
Mashurnya kegiatan Syekh Burhanuddin di Ulakan ini meluas sampai ke daerah lain, dari Gadur Pakandangan, Sicincin, Kapalo Hilalang, Guguk Kayu Tanam, Pariangan Padang Panjang sampai ke Basa Ampek Balai dan raja Pagaruyung sendiri tersintak mendengar berita ini.
images_013
Seluruh Alam Minangkabau menjadi goncang, perhatian dan perbincangan masyarakat tertuju ke Ulakan sebagai pusat pendidikan dan penyiaran Islam.
Untuk menyebarkan ajaran Islam ke seluruh pelosok Minangkabau cara yang dilakukan Syeikh Burhanuddin ialah meniru cara Gurunya Syeikh Abdurrauf, dengan memakai kuasa dan restu Raja Pagaruyung.
Apa bila Raja telah bisa diyakinkan tentang kebenaran agama Islam maka Alam Minangkabau akan mudah dipengaruhi.
Mungkin sudah kehendak hiradat Allah, salah seorang temannya ketika belajar di Aceh yaitu Datuk Maruhum Basa, diangkat oleh Yang Dipertuan Kerajaan Pagaruyung sebagai Tuan Kadhi di Padang Ganting.
Dengan diiringkan oleh Idris Majo Lelo, Syekh Burhanuddin menemui Raja Ulakan yang bergelar Mangkuto Alam untuk menyampaikan niatnya memperluas ruang lingkup kegiatan dakwah, niat ini diterima baik oleh Mangkuto Alam setelah dimusyawarahkan dengan “Urang Nan Sabaleh” di Ulakan.
Akhirnya Syekh Burhanuddin, Idris Majo Lelo, Mangkuto Alam dan Urang Nan Sabaleh Ulakan dengan diiringi hulubalang seperlunya berangkat menghadap Daulat Yang Dipetuan Raja pagaruyung.
Pertama sekali yang ditemui adalah Datuk Bandaharo di Sungai Tarab untuk minta petunjuk. Dan atas inisiatif Datuk Bandaro diundanglah para basa Ampek balai untuk membicarakan maksud dan tujuan “orang Ulakan” yang minta izin untuk menyebarluaskan ajaran Islam di Minangkabau.
Datuak Bandaro memilih sidang diadakan di sebuah bukit yang dikenal dengan nama “Bukit Marapalam”.
IMG00751
Isi dari pertemuan tersebut disepakati yang intinya kedua komponen antara Adat dan Sarak merupakan norma hukum dan saling isi mengisi dimana konsepsi Marapalam melahirkan ungkapan “adat basandi syarak, sehingga alim ulama di Minangkabau dapat melibatkan rakyat dalam suatu aksi politik agama.
Konsep Marapalam ini disampaikan ke hadapan daulat Raja Pagaruyung. Dan dari Raja diminta pembesar kerajaan mempertimbangkan yang diterima dengan suara bulat sehubungan dengan politik Yang Dipertuan Pagaruyung dalam menentang monopoli Persatuan Dagang Belanda (VOC) yang mencoba menerapkan penguasa tunggal dalam perdagangan dan memecah belah rantau pesisir dengan menciptakan Perjanjian Painan tahun 1662.
Maka Syekh Burhanuddin dan pengikutnya diberikan wewenang seluas-luasnya mengembangkan agama Islam di seluruh Alam Minangkabau.
Seperti bunyi pepatah adat yang disebutkan batas-batasnya  sebagai berikut “di dalam lareh nan duo, luhak nan tigo, dari ikue darek kapalo rantau sampai ke riak nan badabue” Syekh Burhanuddin dengan gerakannya dilindungi oleh kerajaan Pagaruyung.
Sebagaimana yang dilakukan Syeikh Abdurrauf dalam menguasai ulayat aceh “adat bak po teumeureuhum, huköm bak syiah kuala”, (adat kembali pada raja Iskandar Muda, hukum agama pada Syiah Kuala) maka sistim ini disalinterapkan oleh Syekh Burhanuddin di Minangkabau.
Sasaran utama Yang Dipertuan Raja Pagaruyung menerima syarat Syekh Burhanuddin ialah demi kepentingan keutuhan Alam Minangkabau sementara Syeikh Burhanuddin sendiri memiliki misi agar agama islam menjadi sendi utama dalam kehidupan manusia khususnya di Minangkabau.
images_288
Wilayah pesisir yang merupakan bagian dari rantau Minangkabau mulai berkembang surau-surau, surau-surau ini mulai mengadakan perlawanan terhadap monopoli dagang bangsa Eropah, seperti Muhammad Nasir dari Koto Tangah, Tuanku Surau Gadang di Nanggalo.
Dengan kedua kepentingan antara keutuhan daerah rantau kesepakatan mudah dicapai antara Syekh Burhanuddin dengan Yang Dipertuan Pagaruyung. Kesepakatan inilah yang sering disebut dengan Perjanjian Marapalam.
Pengalaman Syekh Burhanuddin ketika bersama Syekh Abdur Rauf sebagai mufti kerajaan Aceh, menambah wawasan Syekh Burhanuddin dalam politik keagamaan di Minangkabau.
IMG00748
Peristiwa bersejarah di Bukit Marapalam dan Titah Sungai Tarab menghadap kepada Yang Dipertuan Kerajaan Pagaruyung telah tersiar di seluruh pelosok Alam Minangkabau. Anak negeri menerima agama Islam dengan kesadaran. Islam diakui sebagai agama resmi. Adat dan agama telah dijadikan pedoman hidup dan saling melengkapi. Saat itu lahirlah ungkapan “adat menurun, syarak mendaki. Artinya adat datang dari pedalaman Minangkabau dan agama berkembang dari daerah pesisir.
Syekh Burhanuddin dengan syi’ar syariat Islamnya telah menyinari Alam Minangkabau sehingga banyaklah orang yang menuntut ilmu agama berdatangan ke Tanjung Medan.
SURAU SYEIKH BURHANUDDIN MENGAJAR DI TANJUNG MEDAN
Nama Tanjung Medan sebagai pusat pendidikan dan pengajaran ilmu Islam modern saat itu sudah masyhur kemana-mana, Surau Tanjung Medan penuh sesak dengan murid-murid beliau sehingga dibangun lagi surau-surau disekeliling surau asal.
Menurut catatan terdapat 101 buah surau baru di Tanjung Medan yang merupakan satu kampus, itulah awal mula sistem pesantren yang kita kenal sekarang.
Perjanjian Marapalam berkembang menjadi suatu proses penyesuaian terus menerus antara adat dan agama Islam, saling menopang sebagai pedoman hidup masyarakat Minangkabau.
Syekh Burhanuddin telah meninggalkan jasa yang gilang gemilang. Namanya senantiasa akan hidup terus dan tak terlupakan sepanjang masa.
lubang awal kuburan Syeikh Burhanuddin
Sebelum meninggal dunia, Syekh Burhanuddin tidak lupa mendidik kader penerus dalam usaha menyebarluaskan ajaran Islam yang dilakukan melalui latihan dan pendidikan.
Untuk meneruskan perjuangan beliau, Syekh Burhanuddin melatih dan mendidik dua orang pemuda Tanjung Medan, Abdul Rahman dan Jalaluddin yang akan menggantikan kedudukan, “khalipah” kelak.
Menurut penilaiannya kedua anak muda ini memenuhi pesyaratan dalam mengemban tugasnya, baik dari akhlak, kecerdaan serta ketrampilan dakwah. Untuk itu ditetapkan Abdul Rahman sebagai khalipah I.
Idris Majo Lelo yang dinobatkan jadi Katib, teman akrab Syekh Burhanuddin sedari muda bekerja bahu membahu dalam menegakkan agama Islam.
Saat itu mashurlah surau Syeikh Burhanuddin kepenjuru dunia sehingga pada sisinya berdiri banyak surau-surau kecil yang dihuni oleh pelajar dari berbagai daerah di Minang Kabau, Riau dan Jambi sehingga tersebut lah Tanjung Medan sebagai negeri seratus surau.
Manuskrib kitab Syeikh Burhanuddin
manuskrip yang ditulis tangan oleh Syekh Burhanuddin sendiri yang oleh pengikutnya dinamakan dengan Kitab Tahqîq  (Kitab Hakikat). Kitab aslinya masih tersimpan di tangan khalifah Syahril Luthan Tuanku Kuning, khalifah yang ke-42 bertempat di Surau Syekh Burhanuddin Tanjung Medan Ulakan.
Kitab yang ditulis dengan mengunakan bahasa Arab ini ditulis dengan tinta kanji dan kertas lama berwarna kuning lebih tebal dari kertas biasa yang ada sekarang. Dilihat dari tulisan, tinta, dan kertas yang dipergunakan dapat diduga bahwa memang kitab ini sudah berusia sekitar 4 abad (zamannya Syekh Burhanuddin).
Satu hal yang menjadi catatan penting bahwa kitab Tahqîq tersebut tidak bisa dilihat oleh sembarang orang dan juga tidak boleh dibawa keluar dari Surau, karena hal itu merupakan amanah, demikianlah seperti dikemukakan oleh khalifah yang memegang kitab ini. Pada bagian pendahuluan kitab Tahqîq  penulis dengan jelas menyatakan bahwa kitab ini (Mukhtasar) diringkaskan dari 20 (dua puluh) kitab tasawuf yang populer dan dipakai luas di lingkungan Mazhab Ahl al-Sunnah wa al-Jamâah.seperti (1). Kitâb Tuhfah al-Mursalah ilâ rûhin Nabî, (2) Kitâb al-Ma`lûmât, (3) Kitâb Adab ‘Asyik wa Khalwat, (4) Kitâb Khâtimah, (5) Kitâb Fath al-Rahmân, (6) Kitâb Maj al-Bahraiin, (7) Kitâb Mi`dân al-Asrâr, (8) Kitâb Fusûs al-Ma`rifah, (9) Kitâb Bayân al-Allâh, (10) Kitab Bahr al-Lahût, (11) Kitab Asrâr al-Shalâh, (12) Kitâb al-Wahdah, (13) Kitâb Futûhat, (14) Kitâb Tanbîh al-Masyi’, (15) Kitâb al-Asrâr al-Insân, (16) Kitâb al-Anwâr al-Haqâiq, (17) Kitâb al-Baitîn, (18) Kitâb Syarh al-Hikâm (19), Kitâb al-Mulahzhah (20) Kitâb al-Jawâhir al-Haqâiq,
Kedua, manuskrip tulisan tangan berbahasa Arab dan bahasa Arab melayu terdiri dari lima kitab bertahun 1223 hijriah Nabi Muhamad SAW bersamaan dengan 1788 M. yang ditulis setelah satu abad Syekh Burhanuddin wafat.