Menikah, siapa yang tak ingin menikah? Saat ada rejeki dan usia mencukupi, hanya ada dua golongan yang tak mau menikah. Yang pertama, orang yang "tukar selera" (Anda tahulah maksudnya), yang kedua orang yang biasa seks bebas suka-suka. Tapi aku yakin, para pembaca bukanlah salah satu golongan di atas bukan?
Selain sunnah agama Islam, menikah juga merupakan
fitrah manusia yang akan menimbulkan banyak kerusakan jika ditinggalkan.
Aborsi menjadi fenomena rutin, membengkaknya populasi anak buangan, tatanan hidup bermasyarakat yang mulai menyerupai hewan. Intinya menolak fitrah akan menimbulkan kerusakan.
Aborsi menjadi fenomena rutin, membengkaknya populasi anak buangan, tatanan hidup bermasyarakat yang mulai menyerupai hewan. Intinya menolak fitrah akan menimbulkan kerusakan.
Karena hal fitrah, tak heran jika menikah di
masing-masing suku dan kebudayaan memiliki aturan-aturan tersendiri. Di Ranah
Minang, menikah biasanya didahului dengan acara adat seperti batimbang tando
dan lainnya. Menikah dalam adat Minang pun memiliki aturan-aturan yang harus
dipatuhi. Untuk saat ini, permasalahan larangan manikah sasuku paling
banyak diserang oleh orang-orang yang tak paham. Makanya, saya ingin
menyampaikan mengapa Adat Minang melarang pernikahan sasuku, ditinjau
dari logika dan manfaat sosial.
Tinjauan Logika
Sebelum menyelam ke dalam kajian adat yang pasti
masih banyak yang tidak paham, ada baiknya penulis memberi analogi yang mudah
dicerna dan memang terjadi di sekitar kita.
Tentu Anda pernah menikmati masa-masa indah di
sekolah bukan? Ah, tak usahlah jauh mengenang adik kelas yang dulu menawan atau
PR menumpuk yang sering membuat kewalahan. Saya hanya ingin Anda mengingat
tentang aturan berseragam dan berpenampilan.
Baiklah, umumnya sekolah-sekolah melarang para
murid laki-lakinya untuk memiliki rambut panjang. Nah, lho! Bukannya
rambut panjang sah-sah saja karena tidak ada larangannya dalam agama? Betul sekali!
Tetapi bukankah sekolah juga berhak melarang para murid laki-lakinya berrambut
panjang karena melihat aspek manfaat keseragaman dan kerapian bukan? Makanya
larangan berambut panjang boleh-boleh saja diberlakukan.
Ada lagi, tentu Anda pernah pergi ke pasar, boleh
pasar swalayan, boleh juga pasar ikan. Saya juga tak ingin pikiran Anda
melayang pada becek pasar ikan ataupun kasir swalayan yang rupawan, namun coba
pikirkan, adakah aturan membuka toko dan lapak?
Tentu saja ada! Negara melarang pembukaan toko
liar yang tak punya izin dan belum punya nomor pajak. Padahal agama menganggap
dagang itu sah-sah saja tanpa membayar pajak bukan? Namun bukankah negara juga
punya hak untuk melarang karena mempertimbangkan maslahat kerapian tata kota
serta keteraturan lokasi perdagangan?
Poin penting yang dapat kita tarik di sini adalah
bahwa sebuah institusi, perkumpulan ataupun lembaga boleh saja melarang sesuatu
yang dibolehkan agama karena mempertimbangkan maslahat yang ada di dalamnya. Yang
tidak boleh itu adalah melarang sesuatu yang diwajibkan agama. Saat lembaga
melarang pelaksanaan salat, jilbab, khitan dan kewajiban-kewajiban lainnya, maka angkat
suara adalah tindakan yang harus dilakukan.
Ini pulalah salah satu bentuk komprehensifnya ajaran Islam. Ada taat kepada Allah, taat kepada Rasul Saw, ada pula taat kepada ulil amri. Sekolah, negara, dan adat adalah di antara bentuk ulil amri yang wajib ditaati selama bukan dalam maksiat.
Ini pulalah salah satu bentuk komprehensifnya ajaran Islam. Ada taat kepada Allah, taat kepada Rasul Saw, ada pula taat kepada ulil amri. Sekolah, negara, dan adat adalah di antara bentuk ulil amri yang wajib ditaati selama bukan dalam maksiat.
Tentu semua orang di negara ini sepakat dengan dua
analogi yang tadi saya paparkan. Sekarang mari kita kaitkan dengan fenomena
larangan nikah sasuku.
Manikah dalam agama Islam boleh dengan siapa saja,
selama bukan dengan anggota keluarga yang terikat hubungan mahram. Ingat,
sepupu itu bukan mahram, sehingga bersentuhan dengan sepupu lawan jenis dapat
membatalkan wuduk. :D
Namun kenyataan yang kita hadapi kini adalah bahwa
adat melarang pernikahan yang terjadi antara dua insan yang memiliki suku yang
sama, berada dalam satu nagari (kelurahan) yang sama, dan memiliki datuak
yang sama. Wow! Berani sekali adat melarang sesuatu yang dibolehkan agama?
Pikirkan kembali! Dalam hal ini adat tidak
melarang sesuatu yang diwajibkan agama, namun adat melarang sesuatu yang
didiamkan agama. Tidak diperintahkan, tidak pula dilarang. Masih banyak pasangan yang bisa didapat dari luar suku si
calon pengantin. Jikapun hati telah terpaut hingga mencapai taraf hubban
jamma, hidup bersama tidak di atas tanah pusako bukan masalah besar bukan? :)
Berbeda halnya, jika ada perintah agama yang memerintahkan kita untuk menikahi kerabat satu suku, dan adat melarangnya. Ini baru patut digugat. Tapi ternyata tidak ada perintah demikian bukan?
Berbeda halnya, jika ada perintah agama yang memerintahkan kita untuk menikahi kerabat satu suku, dan adat melarangnya. Ini baru patut digugat. Tapi ternyata tidak ada perintah demikian bukan?
Tinjauan Manfaat-Mudarat
Seperti yang saya paparkan tadi, sebuah lembaga
tak mungkin melarang sesuatu tanpa melihat manfaat serta mudarat yang bisa saja
dimunculkan. Apalagi adat Minang yang sedari dulu terkenal dengan cadiak-pandainya. Dalam hal larangan manikah sasuku, saya bisa menjabarkan
beberapa manfaat serta mudarat yang memang dapat terjadi jika larangan ini tak
diindahkan.
Semua orang Islam tahu bahwa agama Islam adalah
agama rahmat bagi sekalian alam, sehingga seluruh muslim dianjurkan untuk
menjalin silaturrahmi serta pandai-pandai mencari kawan. Leluhur Minangkabau
dahulu pastinya juga sudah meraba hal ini, sehingga mereka membuat aturan
larangan manikah sasuku, karena menikah dengan kerabat satu suku hanya
akan mempersempit pergaulan. Saat pernikahan terjadi antara dua suku yang
berbeda, maka tak diragukan lagi dua suku tersebut akan memiliki ikatan,
sehingga tercipta keharmonisan.
Lagi pula, bukankah menikah dengan orang yang satu suku, satu ormas, satu partai, adalah bentuk fanatisme buta? Lain cerita kalau menikah dengan yang lain agama. Ini baru kita gugat.
Lagi pula, bukankah menikah dengan orang yang satu suku, satu ormas, satu partai, adalah bentuk fanatisme buta? Lain cerita kalau menikah dengan yang lain agama. Ini baru kita gugat.
Ah,
iya, saya juga teringat kepercayaan yang
banyak tersebar, entah salah atau benar, namun tak ada salahnya menjadi
bahan
pertimbangan karena kepercayaan ini bagi sebagian orang sudah mengakar.
Kepercayaan
itu adalah, semakin jauh hubungan darah antara suami dan istri, maka
semakin
berkualitas keturunan yang akan dianugerahkan. Umar bin Khatthab pun
pernah berkata, "Kalian sudah mulai melemah. Nikahilah wanita-wanita
asing (yang jauh kekerabatannya, agar didapatkan keturunan yang kuat)."
Tentang mudarat, tentu Anda tahu bahwa pernikahan
tak selalu berjalan mulus. Terkadang pernikahan berakhir di tengah jalan,
bahkan tak jarang cinta yang melandasi pernikahan dulu kini berubah menjadi
kebencian. Dahulu loyang sekarang besi, dahulu sayang sekarang benci, ungkap
sebuah pantun lama.
Pasangan satu suku yang menikah, kemudian
pernikahan tersebut berakhir kebencian dapat memberi dampak buruk pada
eksistensi suku tempat keduanya bernaung. Perpecahan tak dapat dihindarkan. Tentu
saja nanti akan ada pihak yang membela istri, ada pula yang akan membela suami.
Perpecahan di dalam satu suku adalah sebuah aib besar, karena pasti akan susah
untuk didamaikan.
Berbeda dengan pertengkaran suami-istri yang
berbeda suku. Saat pertengkaran mencapai titik puncak, masing-masing pihak
bisa mengirim utusan untuk melakukan perundingan. Kapan perlu, datuak dari
masing-masing suku bisa turun tangan. Makanya tak heran jika menikah dengan
pasangan berbeda suku lebih diutamakan.
Mari sama-sama kita ubah mindset, karena tak dapat
dipungkiri, beberapa orang yang baru belajar Islam menggeneralisir seolah semua
adat itu bertentangan dengan agama. Pikirkan lagi! Dua abad lalu perpecahan
antara kaum adat dan kaum agama seperti yang terjadi sekarang pernah terjadi,
namun dengan bijak perpecahan tersebut dapat terselesaikan. Apa penyelesaiannya?
Itulah asas “Adaik basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah, Adaik manurun,
Syarak mandaki, Adaik nan kawi, Syarak nan lazim, Syarak mangato Adaik mamakai,
Tuhan basifat Qadim, manusia basifat khilaf” yang dikenal dengan Sumpah
Sati Bukik Marapalam tahun 1837.
Pahamilah
Islam, dalami pula adat, maka Anda akan
temukan bahwa Tuanku Imam Bonjol serta pendahulu Minang lainnya adalah
orang-orang cerdas yang dapat menegakkan Islam di Ranah Minang,
menghapus segala bentuk maksiat dari adat, membalutnya dengan ajaran
taat.
Pasti ada di antara pembaca yang akan
bertanya-tanya, jika memang tulisan ini saya dedikasikan untuk kawan-kawan
Minang, dan memang membahas persoalan adat Minang, kenapa saya tidak tulis
langsung berbahasa Minang saja? Ah, tentu Anda tahu bahwa kebanyakan orang yang
memprotes permasalahan larangan manikah sasuku ini kebanyakan adalah
orang yang tak paham adat. Bahkan dalam kasus yang lebih ekstrim, mereka tidak
bisa berbahasa Minang yang baik dan benar. Maka saya pun mengajak saudara untuk menjaga bahasa ibu kita ini. Lihat di sini : Punahnya Bahasa Minang.
Saya pun tidak menulis ini dengan bahasa berat
seperti bahasa skripsi dan disertasi. Saya tulis dengan bahasa ringkas, mudah
dipahami dan dengan sedikit humor saya bumbui. Semuanya agar Anda tidak pusing
saat membaca, tidak pula merasa digurui.
Jika terdapat kesalahan, saya mohon maaf. Terakhir
saya juga minta Saudara pembaca untuk mendoakan saudara-saudara kita sesama
muslim di seluruh dunia agar dikuatkan akidah, diistiqamahkan amal, serta
dimudahkan dalam segala urusan. Doakan pula saya agar dapat menyelesaikan
pendidikan di sini dengan hasil memuaskan seperti yang diharapkan.
Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih
baik.. ^_^
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
coba belajar dari awal