Daerah Pariaman merupakan kawasan pesisir
pantai jauh sebelum kedatangan bangsa bangsa Indochina dipimpin oleh
Dapunta Hyang telah dihuni oleh bangsa Gujarat, Malabar dan Srilanka dan
jauh sebelumnya telah ada ras Negrito dan Austronesia yang mendiami
kawasan tersebut. Ekspansi yang dipimpin oleh Dapunta Hyang bergerak
dari daerah Minangatamwan yang berada dimuara sungai kampar kanan dan
sungai kampar kiri menuju dataran tinggi sumatera barat, untuk
seterusnya bergerak dan akhirnya menetap di Palembang mendirikan
kerajaan Sriwijaya.
Kedatangan bangsa Indochina dibawah
pimpinan Dapunta Hyang dianggap oleh para sejarawan sebagai migrasi
kedua dari bangsa yang mendiami kawasan Asia selatan. Ada juga yang
berpendapat bahwa migrasi pertama yang berasal dari Asia selatan, mereka
berasal dari daerah yang bernama Dongson berkebudayaan perunggu dan
mendiami daerah pegunungan Asia selatan. Sedangkan yang datang dan
bergerak dari daerah Minangatamwan menuju dataran tinggi Sumatera Barat
tidaklah dapat dikatakan sebagai migrasi penduduk. Lebih tepat dikatakan
ekspansi bangsa Indocina yang bisa saja berasal dari Kamboja atau
Champa. (Prasasti Kedudukan Bukit, 684 M)
Migrasi bangsa Indochina yang berasal dari
pengunungan Dongson kawasan Asia Selatan adalah migrasi pertama yang
berlangsung berabad-abad sehingga terjadi asimilasi dengan ras Negrito
dan Austronesia kemudian melahirkan kebudayaan Neolitich.
Kedatangan bangsa Indochina melalui jalan
ekspansi merupakan migrasi kedua yang dipimpin oleh Dapunta Hyang
berhasil menaklukkan dataran tinggi Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu dan
mendirikan Kerajaan Sriwijaya kemudian menyerang kerajaan Taruma Negara
yang beragama Hindu di Pulau Jawa (Prasasti Talang Tuo, 685 M).
Oleh sejarawan, kedatangan bangsa
Indochina, baik yang datang secara berimigrasi maupun yang datang
melalui ekspansi sebagai nenek moyang bangsa Melayu dan nenek moyang
bangsa Minangkabau.
Dapunta Hyang atau Sri Jayanasa mendirikan
kerajaan Sriwijaya dan dinasty (wangsa) Syailendra sebagai penguasa
kerajaan beragama Budha aliran Hinayana terkuat dan terbesar di
Nusantara. Kemudian Adityawarman mendirikan kerajaan Malayupura (tulisan
dibelakang Arca Amoghapasa, Prasasti Kuburajo, dan Prasasti
Batusangkar) dan memindahkan pusat kerajaan tersebut di pedalaman
Sumatera Barat. Pada tahun 1347 M kerajaan ini akhirnya lebih dikenal
dengan Kerajaan Pagaruyung.
Adityawarman sendiri merupakan keturunan
Raja Majapahit hasil perkawinan dengan Dara Jingga, Putri dari Kerajaan
Dharmasraya. Adityawarman beragama Hindu dan Bidha (Sinkrentis). Sampai
pada pertengahan Abad XIV kerajaan Pagaruyung masih beragama Budha yang
dipadukan dengan Hindu.
Belum ada satu manuskrip yang menyatakan
Islam sudah ada di dataran tinggi (Pedalaman) Sumatera Barat pada masa
tersebut. Sekitar tahun 1513 barulah ada raja Pagaruyung yang memeluk
Agama Islam, sebutan Raja berubah menjadi Sultan. Sultan pertama
pagaruyung adalah Sultan Ahmadsyah dan Sultan pertama tersebut jelas
bukanlah merupakan keturunan dari Aditywarman.
BANGSA ARAB DI PARIAMAN
Situasi yang sangat berbeda bila
dibandingkan dengan daerah pesisir pantai, Pariaman merupakan kawasan
pesisir pantai dihuni oleh orang Gujarat dan Malabar yang berasal dari
India. Pariaman atau dalam Hikayat Raja-raja Pasai disebut dengan Faryaman
pada saat masuknya Dapunta Hyang ke dataran tinggi (pedalaman) Sumatera
Barat, disini sudah mengakar kuat agama Hindu. Masyarakat Hindu membagi
manusia dalam empat tingkatan struktur sosial atau yang lebih dikenal
dengan Kasta.
Kasta Brahmana dikenal sebagai struktur
masyarakat tertinggi, mereka adalah kaum pendeta. Kasta ini sangat
menjaga kesopanan, etika dan moralitas yang tinggi dan umumnya mereka
menjadi penasehat raja. Kasta Ksatria merupakan struktur masyarakat
Hindu ditingkatan kedua, mereka adalah kaum bangsawan dan pembesar
kerajaan umumnya mereka juga sangat menjaga kesopanan, etika dan
moralitas. Kasta waisya merupakan struktur masyarakat Hindu ditingkatan
ketiga, mereka adalah kaum pedagang dan pengusaha. Kasta Sudra dikenal
juga sebagai orang paria, mereka adalah para pekerja kasar, tukang dan
mengabdi pada kasta yang berada diatasnya, mereka tidak menjaga
kesopanan dan punya moralitas yang sangat rendah.
Pada awal abad VII M seorang pendeta Budha
(I Tsing) yang belajar dan menetap beberapa tahun di Kerajaan Sriwijaya
menulis dalam catatan perjalanannya bahwa ada sekelompok masyarakat Arab
beragama Islam yang mendiami pesisir pantai barat Sumatera. Masyarakat
Arab yang pertama minginjakkan kaki dipantai barat Sumatera ini bisa
saja berasal dari Hijaz kemudian melakukan perjalanan kewilayah India
kemudian melakukan perjalanan dengan kapal dan sampailah mereka
dipelabuhan Tiku dan menetap di daerah tersebut. Rombongan ini merupakan
migrasi pertama dari dari turunan Imam Hasan dan Bani Ghasan.
Terjadinya pembantaian terhadap Bani Ghasan
disebabkan Bani Ghasan tidak mengakui kekhalifahan Abu bakar oleh sebab
itu mereka tidak mau membayar zakat. Ketidakmauan Bani Ghasan membayar
zakat menjadi alat pembenaran oleh khalifah Abu Bakar untuk membantai
Bani Ghasan, sehingga yang selamat melarikan diri ke Hijaz.
Pada tahun 680 M Imam Husain (cucu Nabi
Muhammad SAW) syahid di Karbala dibantai oleh pasukan Yazid. Sebelumnya
Imam Hasan berhadapan dengan Muawiyah bin Abi Sofyan dan dengan
kelicikan berhasil membunuh Imam Hasan dengan cara meracuni melalui
isteri Imam Hasan yang bernama Jad’ah. Beberapa Anak Imam Hasan
bergabung dengan Bani Ghasan yang sudah lebih dahulu ada di Hijaz.
Anak keturunan Imam Hasan dan Imam Husein
serta para pengikut setia mereka pasca pembantaian di Padang Karbala
menyembunyikan diri di Hijaz dan kawasan sekitarnya. Kejaran dari
serdadu Yazid memaksa mereka meninggalkan kampung halaman untuk
menyelamatkan diri dengan mencari daerah yang jauh dan aman hal ini
terjadi dipenghujung abad VI M. Sebahagian besar turunan Imam Husein
Migrasi kewilayah Hadramaut kemudian menyebar kekawasan Asia tenggara
dan pada pertengahan Abad ke IX salah satu turunan Imam Husein di
rajakan di Peurelak. Ini merupakan migrasi kedua dari turunan Imam Hasan
dan Imam Husein di Nusantara.
Kedatangan bangsa Arab diawal abad VII
melalui Bandar Tiku diabadikan didalam cerita rakyat ditanah Minang (Ba
Khaba). Kemudian bangsa Arab ini membuka perkampungan tidak jauh dari
Bandar Tiku dan kampung tersebut sampai saat ini bernama Ghasan.
Kemudian terjadi asimilasi dan akultrasi budaya Hindu dan Islam.
Diceritakan mendaratnya Sidi Nan Sabatang
di Bandar Tiku beserta rombongan, Sidi Nan Sabatang tersebut membawa
seluruh keluarganya. Isteri dan para pembantu serta para pengawal. Sidi
Nan Sabatang tersebut punya sembilan anak laki-laki dan mereka lebih
dikenal dengan sebutan Sidi Nan Sambilan. Sedangkan berapa jumlah anak
perempuan Sidi Nan Sabatang tidak ada kabar beritanya, namun diceritakan
anak perempuan Sidi Nan Sabatang tersebut dikawinkan dengan Raja Hindu
yang sudah memeluk Agama Islam dan anak dari hasil perkawinan tersebut
bergelar Bagindo.
Namun sampai saat ini tidaklah diketahui secara pasti Sidi Nan Sabatang tersebut berasal dari fam
(keluarga) mana, bila ditelisik dari lintasan sejarah tentang tekanan
yang dialami oleh turunan Imam Hasan dan Imam Husein serta jalur migrasi
mereka maka besar kemungkinan turunan Imam Hasan lah yang mendarat di
Tiku dan menyebar dikawasan Pariaman dan sekitarnya. Turunan Imam Hasan
yang sampai di Tiku Pariaman berasal dari satu orang yaitu Sidi Nan
Sabatang, kemudian mempunyai anak laki-laki yang disebut dengan Sidi Nan
Sambilan, dari Sidi Nan Sambilan berkembanglah turunan Sidi selama 1300
tahun di Pariaman, mereka berkembang seperti butiran hujan yang turun
ke bumi, bagaikan butiran pasir yang ada ditepian pantai.
Gelar Sidi
TERPUTUSNYA NASAB SYAID PARIAMAN
Setelah terjadinya Islamisasi secara damai
maka berubahlah struktur masyarakat Hindu Pariaman. Kasta berubah
menjadi gala atau gelar. Brahmana menjadi Sidi dan mereka adalah pemuka
agama Islam banyak diantara mereka menjadi Tuanku (panggilan Ulama
Minang). Ksatria menjadi Bagindo dahulunya mereka adalah para pembesar
kerajaan dan merupakan kaum bangsawan. Waisya menjadi Sutan, mereka
adalah kaum pedagang dan pengusaha, gelar ini biasanya juga diberikan
atau dihadiahkan kepada orang asing yang dihormati. Sudra atau Paria
menjadi Marah ini merupakan struktur paling rendah dalam masyarakat
Pariaman sampai saat ini. Orang yang bergelar Marah tak boleh dipanggil
Rajo (Ajo), mereka biasanya dipanggil Uda seperti orang Minang yang
mendiami dataran tinggi (pedalaman) Minang.
Gelar atau gala diwarisi secara turun
temurun dari pihak ayah, sedangkan kekerabatan dari diwariskan dari
pihak ibu (Matrilineal). Bila ayah seseorang begelar Sidi maka si anak
juga bergelar Sidi (gala ndak dapek diasak), dan bila ibunya bersuku
Chaniago maka si anak bersuku Chaniago. Mungkin hal ini menjadi salah
satu penyebab para Sidi di Pariaman tidak mengetahui fam mereka, karena dibelakang nama mereka tidak dicantumkan fam
seperti turunan Imam Husein yang datang dari Hadramaut ke Nusantara.
Mereka biasanya mencantumkan suku dari ibu dibelakang nama sedangkan
gelar didepan nama.
Seorang yang bergelar Sidi (singkatan dari
Syaidi) haruslah mencantumkan gelar Siti (singkatan dari Syaidati)
didepan nama anak perempuannya. Tak ada orang Pariaman yang berani
mencantumkan gelar Siti didepan nama anak perempuannya kalau mereka
bukan bergelar Sidi. Kalau di tanah Melayu anak perempuan dari turunan
Said didepan namanya dicantumkan gelar Syarifah. Inilah kebiasaan yang
berlangsung selama ribuan tahun, dan saat ini sudah jarang seorang
perempuan dari turunan Sidi memakai gelar Siti.
Seorang yang bergelar Bagindo merupakan
turunan pertama dari anak perempuan Sidi Nan Sabatang yang menikah
dengan raja Hindu yang sudah memeluk agama islam. Anak laki-laki yang
lahir dari perkawinan tersebut diberi gelar Bagindo dan untuk seterusnya
gelar tersebut diwariskan kepada anak Laki-laki, sedangkan anak
perempuan memakai gelar Puti. Pemakaian gelar Puti pada anak perempuan
yang ayahnya bergelar Bagindo saat ini sudah hampir hilang atau hilang
sama sekali.
Pemakaian gelar Siti untuk anak perempuan
dari turunan Sidi maupun pemakaian gelar Puti untuk anak perempuan dari
turunan Bagindo saat ini sudah hilang. Pemakaian gelar tersebut bukan
saja untuk menguatkan identitas tapi lebih pada penjagaan diri si anak
tersebut. Seorang Sidi kalau bertemu perempuan Pariaman yang bergelar
Siti maka dia akan memperlakukannya dengan penuh hormat dan
menganggapnya sebagai saudara kandung, demikian juga perlakuan yang
diberikan kepada perempuan Pariaman yang bergelar Puti. Bila Sutan atau
Marah bertemu perempuan Pariaman yang bergelar Siti atau Puti mereka
akan menghormatinya dan tidak berani bersikap lancang. Penghormatan ini
diberikan karena keduanya merupakan turunan dari Sidi Nan Sabatang yang
merupakan zuryat (keturunan) Rasulullah Muhammad SAW.
Menurut Hamka turunan Rasulullah yang ada
di Pariaman bergelar Sidi (Dari Perbendaharaan lama dan Panji
Masyarakat) mereka bisa dikenali dari ciri-ciri fisiknya, berwajah arab
atau berwajah oriental. Dari cerita rakyat (khaba) Pariaman, Sidi Nan
Sabatang beristri seorang perempuan China.
SIDI BANGSA YANG DIRAJAKAN
Dalam adat istiadat masyarakat Pariaman
Gala Pusako dari Ayah berbeda dengan orang Minang yang berasal dari
dataran tinggi (pedalaman) Gala merupakan pusako dari Mamak ke kemenakan
(dari paman ke kemenakan). Sewaktu orang-orang dari dataran tinggi
menjadikan daerah Pariaman sebagai daerah Rantau (jajahan), Gala Pusako
dari ayah tidak bisa digantikan dengan sistem adat yang dibawa dari
dataran tinggi tersebut.
Rombongan yang datang dan mendarat di
Bandar tiku (berbatasan dengan Luhak Nantigo) serta mendirikan
perkampungan dan menamakannya kampung Ghasan (untuk mengenang asal
mereka Bani Ghasan). Sidi nan sabatang beserta keluarga dirajakan
(dirajokan/dihormati layaknya raja) oleh Bani Ghasan. Penduduk pribumi
baik yang ada di Pariaman maupun yang datang dari dataran tinggi pada
akhirnya juga merajakan mereka. Keturunan Sidi nan sabatang baik yang
bergelar Sidi maupun Bagindo dipanggil dengan panggilan Ajo (Rajo).
Sutan yang merupakan kaum pengusaha dan pedagang juga dirajokan atau
dipanggil Ajo.
Panggilan Ajo merupakan panggilan dari
seorang adik kepada abangnya, bisa juga panggilan untuk orang yang
usianya lebih tua. Orang yang boleh dipanggil Ajo adalah seseorang yang
bergelar Sidi, Bagindo dan Sutan. Panggilan Uda merupakan panggilan
seorang adik kepada abangnya atau panggilan kepada seseorang yang
usianya lebih tua.
Menurut adat di Pariaman seseorang yang
bergelar Marah yang boleh dipanggil Uda. Kemudian Orang-orang yang
datang dari dataran tinggi Minang juga dipanggil Uda oleh orang Pariaman
karena mereka adalah penduduk asli Tanah Minang atau melayu Minangkabau
atau kaum pribumi ranah Minang. Sama dengan penduduk yang lebih dulu
ada di Pariaman ketika rombongan Sidi Nan Sabatang mendarat di Bandar
Tiku juga dianggap sebagai bangsa pribumi.
Beginilah cara para Bani Hasyim yang sampai
di Pariaman dalam menyikapi perbedaan antara Bani Hasyim dan penduduk
asli melayu Minangkabau. Bangsa Melayu yang tinggal di dataran tinggi
(pedalaman) bisa hidup secara damai dan harmonis walaupun berbeda dalam
adat dan istiadat.
Orang-orang yang bergelar Sidi dan Bagindo
di Pariaman lebih bersifat egaliter, Gelar tersebut tidak menjadikan
mereka orang yang sombong dengan keturunannya. Mereka berbaur dengan
masyarakat pribumi, juga terjadinya asimilasi melalui perkawinan,
walaupun masih ada juga yang mempertahankan pernikahan sekufu (Siti
untuk Sidi).
Datuk Parpatiah Nan Sabatang sebagai
peletak dasar pemerintahan desentralisasi Bodi Chaniago dalam mamangan
disebut “duduak sahamparan, tagak sapamatan.” Hal ini menyiratkan bahwa
kedudukan raja dan rakyat adalah sama didalam hukum (Demokrasi). Sistem
ini memandang semua orang sama dan sederajat secara hukum, inilah yang
menjadikan masyarakat Pariaman menjadi egaliter. Sangat berbeda dengan
sistem sentralistik pemerintahan Koto Piliang yang dibangun oleh Datuk
Katumangguangan, yang didalam mamangan disebutkan “Rajo ditantang, mato
buto.” Hal ini bermakna bahwa raja punya kekuasaan yang Absolut,
sehingga rakyat harus menjalankan apapun titah raja (Feodal).
Pada perkembangannya terjadi perpaduan
kedua sistem tersebut yang didalam mamangan disebut “Rajo alim rajo
disambah, rajo zalim rajo dibantah”. Sampai saat ini sistem inilah yang
digunakan oleh masyarakat Minangkabau, yang bermakna ketika seorang
penguasa memimpin dengan adil maka rakyat akan menghormati, ketika
seorang penguasa berlaku zalim terhadap rakyat maka penguasa tersebut
wajib untuk tidak didukung bahkan digulingkan dari kekuasaannya.
SEBAB MUSABAB HILANGNYA GELAR SIDI
Ada perbedaan yang fundamental antara
zuryat Rasulullah di Pariaman dan dan zuryat Rasulullah didaerah lain di
Nusantara dalam hal menjaga gelar keturunan. Gelar Sidi dalam adat yang
berlaku di Pariaman bisa saja hilang diakibatkan beberapa hal,
diantaranya adalah gelar Sidi disandang dan dilekatkan ketika seorang
dari turunan Sidi sudah menikah, maka keluarga pihak perempuan memanggil
menantunya, atau iparnya tersebut dengan gelar yang disandangnya. Bila
dia tidak menikah sampai akhir hanyat maka dia tidak pernah dipanggil
dengan gelar yang disandangnya.
Sebab lain adalah ketika keturunan Sidi
menikah dengan orang yang tidak sebangsa (Pariaman), misalnya menikah
dengan perempuan Jawa atau perempuan dari suku lain yang ada di
Nusantara. Maka tentu saja pihak keluarga perempuan, apakah itu ipar
atau mertua tidak ada yang memanggil Sidi. Menikah dengan penduduk asli
Minang yang berasal dari Luhak Nan Tigo (Agam, Tanah datar, Limo Puluh
Koto), oleh mereka siapapun menantu mereka, apapun bangsa menantu
mereka, apakah bergelar Sidi, Bagindo, Sutan atau Marah, apakah berasal
dari Pariaman atau daerah lain tetap saja dipanggil Sutan.
Adapun sebab lain adalah malu menyandang
gelar Sidi, seorang yang bergelar Sidi biasanya malu dipanggil Sidi bila
sikap dan moralnya tidak baik. Hal yang sangat mendasar menjadi
penyebab hilangnya gelar Sidi tersebut adalah gelar tersebut tidak
disandangkan kepada nama anak keturunan sejak lahir. Sangat berbeda
dengan turunan Alawy yang datang pada awal abad VIII sampai dipenghujung
abad XVI, mereka menyandangkan gelar tersebut didepan nama anaknya
sejak mereka lahir.
Tulisan ini bukan untuk membanggakan
keturunan tertentu atau merendahkan keturunan yang lain, hal ini
semata-mata untuk mengingatkan penulis sendiri. Ketika kita menghadap
Allah yang ditanyakan adalah amal dan ibadah yang kita lakukan semasa
hidup bukan dari keturunan siapa kita berasal.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
coba belajar dari awal