Lagi-lagi saya terlibat diskusi tentang kontroversi penyelamatan bahasa daerah
dengan salah seorang kawan saya.
Saya,
lelaki Minang tulen, dianggap terlalu kuat mempertahankan Bahasa
Minang sehingga bahasa keliru yang digunakan oleh kawan-kawan sering
saya
koreksi. Sedangkan mereka, entah mengapa sejak puber, mulai menggunakan
bahasa rusak. Mungkin karena faktor 'gengsi', pikir saya.
Alasan logis namun apatis selalu dikemukakan, “Yang penting paham, bukan?”
Ah, ya! Tentu saja bahasa digunakan agar lawan bicara memahami apa yang
dimaksudkan oleh penggunanya. Namun, alasan ini bagi saya hanya bisa diterima jika
bahasa hanya digunakan untuk berkomunikasi. Dan jika bahasa hanya berpatokan
pada paham-tak paham, berarti bahasa manusia itu sama saja dengan bahasa
lumba-lumba, bahasa koala, bahasa harimau sumatera, bahasa kerbau yang pasrah
saja saat dicucuk hidungnya.
Sedangkan saya manusia, dan bagi saya, bahasa adalah jati diri, identitas yang
menunjukkan siapa kita. Bahasa adalah warisan turun temurun, dari ibu ke ibu,
yang wajib kita jaga keasliannya. Sepakat?
Jika bahasa hanya sekedar sarana komunikasi, maka tak perlu rasanya belajar
rumitnya grammar dalam Bahasa Inggris, ataupun bermacamnya tashrif dalam
Bahasa Arab. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa bukan sekedar sarana komunikasi,
namun adalah sebuah warisan yang harus dijaga beserta segala aturan kosakata
serta kombinasi katanya, agar tidak rusak, tidak punah, tidak hilang.
Bukan hanya Bahasa Arab serta Bahasa Inggris yang menjadi bahasa wajib intelek dunia, namun setiap bahasa memiliki keunikan tersendiri, yang tak kalah penting dari bahasa lainnya.
Bukan hanya Bahasa Arab serta Bahasa Inggris yang menjadi bahasa wajib intelek dunia, namun setiap bahasa memiliki keunikan tersendiri, yang tak kalah penting dari bahasa lainnya.
Kembali ke Bahasa Minang. Saya sadar bahwa Bahasa Minang bukanlah bahasa
tulisan, sehingga jika nanti, -naûzubillâh min zâlik- tidak ada satu pun
manusia yang menggunakan Bahasa Minang di muka Bumi, maka hilanglah ia. Berbeda
dengan bahasa lain yang punya banyak salinan dalam bentuk tulisan. Contoh
riilnya, Bahasa Jawa memiliki manuskrip kuno bertuliskan tulisan Jawa, meski saya
dengar, fisik tulisan itu kini ada di Belanda.
Nah, tak salah bukan, jika saya benar-benar tekankan agar Bahasa Minang yang
benar dipraktekkan dengan lidah dalam percakapan sehari-hari? Karena hanya
memang di sanalah ia berada. Ia tak punya kamus, tak punya manuskrip kuno, tak
punya karya tulis. Ia hanya punya panitahan serta peribahasa yang
diwariskan turun-temurun, dan hanya segelintir pula orang yang peduli untuk mewariskannya.
Rusaknya
Bahasa Minang, dalam pengamatan sempit saya, marak terjadi 15 tahun
terakhir, saat sinetron picisan mulai menjadi primadona. Saat televisi
sudah ada dimana-mana. Mau tidak mau, sedikit atau banyak, tontonan itu
mempengaruhi.
Dan celaka bagi Bahasa Minang, yang kosakatanya nyaris mirip dengan bahasa
Indonesia. Dulu, boleh disebut Bahasa Minang punya kontribusi besar dalam
menyumbang kosakata dalam Bahasa Indonesia. Bahasa Minang melalui sastranya
mempengaruhi pembentukan bahasa pemersatu bangsa.
Kini polanya berubah. Bahasa Indonesia terkontaminasi dengan bahasa gaul
anak muda, menjadi bahasa lumrah dalam setiap tayangan televisi tidak resmi,
ditonton oleh jutaan penduduk negeri, termasuk penduduk Ranah Minang. Dan
Bahasa Minang, yang dalam sejarahnya adalah patokan Bahasa Indonesia, kini
malah yang terpengaruh dengan Bahasa Indonesia yang terinfeksi tadi karena
kedekatan polanya.
Aturan sebab-akibat terbalik. Dan sayangnya infeksi ini malah kebanyakan menjangkiti lidah-lidah anak-anak muda yang katanya intelek, bukan kalangan awam! Bahkan menurut pengamatan saya, orang awam bisa berbahasa Minang lebih baik dari pada kalangan yang mengaku intelek! Walah!
Aturan sebab-akibat terbalik. Dan sayangnya infeksi ini malah kebanyakan menjangkiti lidah-lidah anak-anak muda yang katanya intelek, bukan kalangan awam! Bahkan menurut pengamatan saya, orang awam bisa berbahasa Minang lebih baik dari pada kalangan yang mengaku intelek! Walah!
Tak heran jika kini banyak kita temui kata-kata ‘bid`ah’ yang
seharusnya tidak ada. Anak-anak muda sekarang hanya suka mengubah akhiran ‘a’
dalam setiap kata bahasa televisi menjadi ‘o’, akhiran ‘ing’ menjadi ‘iang’, 'uk’ menjadi ‘uak’.
Jamak kita dengar kata-kata jadi-jadian seperti ‘celano’ sepagai pengganti
‘sarawa’, ‘capuang’ sebagai pengganti ‘sipatuang’, dan ‘taguak’ sebagai
pengganti ‘daguik’.
Ada lagi kata hubung serta kata depan yang mulai marak digunakan oleh
kawula muda yang ingin segalanya serba praktis. Jika Bahasa Indonesia mengenal kata
‘dengan’, ‘dan’, ‘kepada’, dan ‘oleh’, maka dalam bahasa gaul, semua itu
dipukul rata, diganti dengan kata ‘sama’. Kalimat seperti ‘Kami berutang kepada
kamu’ tak lagi laku, berganti menjadi ‘kami berutang sama kamu’.
Nah, Bahasa Minang mengenal ‘jo’ sebagai padanan ‘dan’ dan ‘dengan’, ‘ka’
sebagai padanan ‘kepada’, serta ‘dek’ atau ‘di’ sebagai padanan kata ‘oleh’. Dengan
maraknya tayangan televisi yang lebih banyak menayangkan tayangan berbahasa
gaul dari pada yang berbahasa Indonesia, maka ‘jo’, ‘ka’, ‘dek’ atau ‘di’ dalam
Bahasa Minang tadi menjadi tersingkir. Semuanya berganti menjadi satu kata,
‘samo’.
Kini sering kita temui kalimat seperti ‘Tadi ambo baraja samo guru’, ‘Ambo
taragak samo randang’, ‘Lai takana samo ibuk?’, atau ‘Ditinju samo uda’, yang
di telinga orang Minang tulen pasti akan terdengar sumbang. Sangat memprihatinkan.
Masalah bukan hanya berhenti sampai di sana. Keanekaragaman dialek dalam
Bahasa Minang yang berbeda-beda tergantung daerah kini pun terancam punah,
menjadi satu dialek, yaitu dialek Luhak Tanah Datar. Orang Agam sudah jarang
yang berani dengan lantang menyebut ‘ano’, orang Pariaman dan Pasaman sedikit
yang berani mempertahankan ‘we-e’, orang Limo Puluah Koto gengsi menyatakan
‘lomak bona’, orang Padang pun merasa rendah diri untuk menyebut ‘ai kumuh’.
Pertanyaannya, kenapa? Ada apa? Siapa?
Lebih
parah, akhir-akhir ini juga jarang ada ibu yang mengajarkan anaknya
untuk berbahasa Minang. ibu-ibu salah gaul itu -maaf-, lebih memilih
untuk berkomunikasi dengan anaknya menggunakan bahasa jadi-jadian yang
kita sama-sama tahu, sehingga muncullah ungkapan sarkas, "Ndak suka mama
kayak gitu doh!"
Lagi, bukan sebagai penutup perjuangan mempertahankan bahasa daerah.
Mungkin setelah membaca tulisan saya ini masih ada kawan-kawan pembaca yang
bertahan dengan prinsip bahwa bahasa itu yang penting paham. Pikirkanlah lagi!
Bahasa kita bukan bahasa barbar yang mungkin hanya berpatokan pada paham-tak
paham. Bahasa kita adalah bahasa bangsa serta suku yang berperadaban yang harus
dipertahankan keasliannya.
Jika kita tidak mempertahankan keaslian bahasa yang kita punya, apa yang
bisa kita wariskan kepada generasi penerus nanti? Baju kurung? Sudah berganti
dengan tanktop ketat! Kodek? Sudah berganti dengan legging
melekat! Kato nan ampek? Tak lebih dari sekedar omong kosong, mimpi di siang
bolong! Model pakaian sudah berkiblat pada sinetron. Bahasa pun juga dirusak
oleh sinetron.
Jika bukan kita yang mempertahankan Bahasa Minang, siapa lagi? Karena menjaga
Bahasa Minang asli, sebenarnya adalah wujud cinta kepada nenek serta ibu kita
masing-masing yang telah mewariskannya. Jika mencintai ibu itu adalah sebuah
kewajiban, maka mencintai warisannya juga akan termasuk bukan?
Semoga keaslian bahasa kita tetap terjaga. Semoga Allah selalu menuntun
kita untuk jadi lebih baik.. ^_^