BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Etika, Norma, Moral
Etika berasal dari bahasa Yunani ethos, yang 
berarti tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang; kebiasaan, 
adat; watak; perasaan, sikap, cara berpikir. dalam bentuk jamak ta etha 
artinya adat kebiasaan. Dalam arti terakhir inilah (cara berpikir) 
terbentuknya istilah etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk 
menunjukkan filsafat moral. Etika berarti: ilmu tentang apa yang biasa 
dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Namun demikian, ada juga 
kata moral dari bahasa Latin yang artinya sama dengan etika. 
Secara istilah etika memunyai tiga arti: 
pertama, nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi 
seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Arti ini 
bisa disebut sistem nilai. Misalnya etika Protestan, etika Islam, etika 
suku Indoan. Kedua, etika berarti kumpulan asas atau nilai moral (kode 
etik). Misalnya kode etik kedokteran, kode etik peneliti, dll. Ketiga, 
etika berati ilmu tentang yang baik atau buruk. Etika menjadi ilmu bila 
kemungkinan-kemungkinan etis menjadi bahan refleksi bagi suau penelitian
 sistematis dan metodis. Di sini sama artinya dengan filsafat moral. 
Amoral berarti tidak berkaitan dengan moral, 
netral etis. Immoral berarti tidak bermoral, tidak etis. Etika berbeda 
dengan etiket. Yang terakhir ini berasal dari kata Inggris etiquette, 
yang berarti sopan santun. Perbedaan keduanya cukup tajam, antara lain: 
etiket menyangkut cara suatu perbuatan harus dilakukan, etika 
menunjukkan norma tentang perbuatan itu. Etiket hanya berlaku dalam 
pergaulan, etika berlaku baik baik saat sendiri maupun dalam kaitannya 
dengan lingkup sosial. etiket bersifat relatif, tergantung pada 
kebudayaan, etika lebih absolut. Etiket hanya berkaitan dengan segi 
lahiriyah, etika menyangkut segi batiniah. 
Norma adalah kaidah, ketentuan, aturan, 
kriteria, atau syarat yang mengandung nilai tertentu yang harus dipatuhi
 oleh warga masyarakat di dalam berbuat, bertingkah laku agar masyarakat
 tertib, teratur, dan aman (BP-7,1993: 23). Menurut Poespoprodjo (1999: 
133), “norma adalah aturan, standar, ukuran.” 
Dari kedua pendapat tersebut dapat 
disimpulkan norma adalah kaidah, aturan, ketentuan, kriteria, standar, 
dan ukuran yang berlaku di masyarakat untuk dipatuhi agar tertib, 
teratur, dan aman. Norma-norma yang berada di masyarakat yaitu norma 
agama, norma kesopanan, norma kesusilaan, dan norma hukum.
Nilai dan norma senantiasa berkaitan dengan 
moral. Norma moralitas adalah aturan, standar, ukuran yang dapat 
digunakan untuk mengukur kebaikan atau keburukan suatu perbuatan. 
Istilah moral mengandung integritas dan martabat pribadi manusia. 
Derajat kepribadian seseorang amat ditentukan oleh moralitas yang 
dimilikinya. Moralitas seseorang tercermin dalam sikap dan perilakunya.
Moral berasal dari kata bahasa latin mores 
yang berarti adat kebiasaan. Kata mores ini mempunyai sinonim; mos, 
moris, manner mores atau manners, morals (Poespoprodjo,1986: 2). Dalam 
bahasa Indonesia kata moral berarti akhlak atau kesusilaan yang 
mengandung makna tata tertib batin atau tata tertib hati nurani yang 
menjadi pembimbing tingkah laku batin dalam hidup. Kaelan (2001: 180), 
mengatakan moral adalah suatu ajaran wejangan-wejangan, patokan-patokan,
 kumpulan peraturan baik lisan maupun tertulis tentang bagaimana manusia
 harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik. Sedangkan 
Kohlberg (Reimer,1995: 17), Moralitas bukanlah suatu koleksi dari 
aturan-aturan, norma-norma atau kelakuan-kelakuan tertentu tetapi 
merupakan perspektif atau cara pandang tertentu.
Dengan demikian, dari ketiga pendapat 
tersebut dapat disimpulkan moral adalah ajaran atau pedoman yang 
dijadikan landasan untuk bertingkah laku dalam kehidupan agar menjadi 
manusia yang baik atau beraklak.
Kajian tentang nilai menjadi kajian yang amat
 penting mengingat posisinya sebagai masalah awal dalam filsafat moral. 
Selain itu, kajian nilai menjadi kajian yang menyentuh persoalan 
subtansial dalam filsafat moral. Pertanyaan yang selalu muncul dalam 
kajian ini, apakah yang disebut “baik” dan “tidak baik”.
Terdapat dua aliran dalam kajian nilai 
(values) yakni aliran naturalisme dan nonnaturalisme. Dalam pandangan 
naturalisme, nilai adalah sejumlah fakta yang dapat diuji secara 
empiris. Misalnya sifat perilaku yang baik seperti jujur, adil dan 
dermawan atau kebalikannya menjadi indikator untuk menentukan predikat 
seseorang berperilaku baik atau tidak baik. Degan demimikian dengan 
konsekuensi dari setiap perbuatan adalah indikator untuk menetapkan 
apakah perbuatan seseorang itu baik atau tidak baik. 
Berbeda dengan naturalisme, aliran 
nonnaturalisme memandang bahwa nilai bukanlah sekedar fakta tetapi lebih
 bersifat normatif dalam menentukan sesuatu apakah ia baik atau buruk, 
benar atau salah. Nilai tidak hanya ditentukan oleh konsekuensi dari 
suatu perbuatan melainkan dipengaruhi oleh intuisi moral yang dimiliki 
manusia, sebuah kesadaran langsung adanya nilai murni seperti benar atau
 salah dalam setiap perilaku, objek atau seseorang.
Immanuel Kant sebagai tokoh kelompok 
nonnaturalisme mengemukakan prinsip autonomy dan heteronomy dalam 
menentukan moralitas. Autonomy merupakan wujud otonomi kehendak (the 
autonomy of the will). Seseorang melakukan perilaku moral berdasar atas 
kehendak (the will) -yang teleh menjadi ketetapan bagi dirinya untuk 
melakukan perilaku moral- dan tidak ditentukan oleh kepentingan atau 
kecenderungan lain. 
Sedangkan heteronomy atau disebut juga 
prinsip heteronomi kehendak (the heteronomy of will) menyatakan bahwa 
seseorang berperilaku moral karena dipengaruhi oleh berbagai hal di luar
 kehendak manusia. Pada prinsip ini, kehendak (the will) tidak serta 
merta menjadikan dirinya sebagai sebuah ketetapan (the law), tetapi 
sebuah ketetapan (the law) diberikan oleh objek tertentu melalui 
kaitannya dengan kehendak (the will).
Perilaku moral yang ideal dalam kacamata 
Immanuel Kant adalah perilaku moral yang lahir dan muncul dari desakan 
kehendak diri manusia sebagai makhluk yang berakal dan berbudi, sehingga
 setiap perilaku moral yang dilakukannya benar-benar lahir dari dirinya 
sendiri bukan dari luar dirinya. Menurutnya bahwa yang baik adalah 
kehendak baik itu sendiri. suatu kehendak menjadi baik sebab bertindak 
karena kewajiban. Bertindak sesuai dengan kewajiban disebut legalitas. 
Lalu, apakah kewajiban itu? Kant membagi kewajiban menjadi dua: 
imperatif kategoris (perintah yang mewajibkan begitu saja, tanpa syarat.
 dan imperatif hipotetis (perintah yang mewajibkan tapi bersyarat). 
Imperatif kategorislah yang menurut Kant menjadi hukum moral. Karena 
itu, Kant sangat menekankan otonomi kehendak. Inilah kebebasan dalam 
artian Kant. Kebebasan tidak dalam arti bebas dari segala ikatan, tapi 
bebas dengan taat pada hukum, moral. (K. Bertens, 1999)
Sedangkan Aristoteles mengatakan bahwa 
manusia hidup ini mempunyai tujuan, dan tujuan yang ingin dicapai tidak 
lain hanyalah suatu tujuan antara untuk mencapai tujuan selanjutnya, dan
 Aristotelse mengatakan bahwa tujuan yang paling tinggi adalah mencapai 
kebahagiaan. Tugas etika ialah mengembangkan dan mempertahankan 
kebahagiaan yang telah dicapai dan ia juga mengatakan bahwa etika 
sebaiknya tidak dipelajari oleh orang muda, sebab mereka belum mempunyai
 pengalaman yang boleh disebut matang.
Menurut Aristoteles manusia akan mencapai 
kebahagiaan apabila ia menjalankan aktifitas secara baik, ia harus 
menjalankan aktifitasnya menurut keutamaan, hanya pemikiran yang 
disertai keutamaan dapat membuat manusia bahagia, dan dijalankan dalan 
jangka waktu yang panjang dan sifatnya stabil. Ada 2 keutamaan menurut 
Aristoteles yaitu Keutamaan Moral,dilukiskan sebagai sikap watak yang 
memungkinakn manusia untuk memilih jalan tengah antara dua akstrem yang 
berlawanan. Dan keutamaan lainnya adalah Keutamaan Intelektual, dimana 
rasio manusai mempunyai dua fungsi, disatu pihak berfungsi untuk 
mengenal kebenaran, dan dilain pihak rasio dapat memberi petunjuk suapay
 orang mengetahui apa yang harus diputuskan dalam keadaan tertentu. Dari
 sini ada dua keutamaan yang menyempurnakan rasio, yaitu kebijaksanaan 
teoritis, yang merupakan suatu sikap tetap, yang mempunyai kebijaksanaan
 ini adalah orang yang terpelajar, dan untuk mencapai kebijaksanaan ini 
harus melalui pendidikan ilmiah yang panjang.Kebijaksanaan praktis, 
adalah sikap jiwa yang memungkinkan manusia untuk mengatakan yang mana 
dari barang-barang konkret boleh dianggap baik untuk hidupnya.
Berdasarkan pendapat Imanuel Kant dan 
Aristoteles dapat dikatakan bahwa seseorang berperilaku moral, lahir dan
 muncul dari desakan kehendak diri manusia sebagai makhluk yang berakal 
dan berbudi untuk mencapai suatu kebahagiaan.
B. Analisis Motivasi Melakukan Perbuatan Moral
Analisis mengenai motivasi perbuatan moral 
berawal dari pertanyaan mengapa seseorang melakukan perbuatan yang baik.
 Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tidak dapat terlepas dari dua pokok
 persoalan filsafat moral yang lain, yaitu kenapa seseorang harus 
melakukan yang baik dan bagaimana seseorang mengetahui apa yang baik? 
Ada dua pendapat umum mengenai motivasi 
seseorang melakukan perbuatan moral. Pendapat pertama menyatakan bahwa 
perbuatan moral muncul karena ada dorongan dari dalam diri seseorang, 
yaitu pengaruh akal dan keinginan. Sedangkan pendapat kedua menyatakan 
bahwa perbuatan moral muncul karena pengaruh dari luar yaitu motif-motif
 masyarakat.
Pendapat pertama yang menyatakan bahwa 
perbuatan moral adalah pengaruh akal dan keinginan menimbulkan 
pertentangan di antara para filsuf moral, misalnya antara Hume dan 
Immanuel Kant. Hume berpendapat bahwa motif tindakan bukanlah akal, 
tetapi rasa (taste) yang berkaitan dengan kesenangan (pleasure) dan 
sakit (pain). Sedangkan Immanuel Kant berpendapat bahwa akal dan 
keinginan (desire) memiliki peranan dalam melahirkan perilaku moral. 
Kecuali akal dan keinginan (desire), adanya keinginan baik (good will) 
sangat menentukan perbuatan baik, yang berarti bahwa kebaikan apapun 
jika tanpa keinginan baik (good will) maka yang baik akan menjadi buruk.
Dalam pandangan Raghib al-Isfahani ( Muhammad
 Amril : 2002 ), akal memegang peranan yang sangat penting dalam 
mewujudkan perbuatan moral. Perilaku seseorang muncul melalui 
tahapan-tahapan yaitu: sanih (lintasan pikiran), khatir (ide) yang akan 
memunculkan irada (kehendak) kemudian hazm (cita-cita) dan terakhir 
muncul dalam bentuk amal (perbuatan). 
Lebih lanjut Raghib berpendapat bahwa 
perbuatan moral mulai nampak pada tahapan khatir (ide). Pada tahap ini, 
seseorang harus menguji khatir (ide) yang telah dimilikinya. Bila khair 
baik lebih dominan maka haruslah dijaga dan diteruskan menjadi 
perbuatan, sebaliknya jika sharr (kejahatan) lebih dominan maka harus 
segera dihilangkan agar tidak muncul irada yang buruk. Perilaku moral 
atau amoral sesungguhnya telah hadir dan dapat dikontrol pada tahap 
khatir (ide). Pada tahap irada, pengaruh akal ataupun syahwat semakin 
kuat pengaruhnya dalam menimbulkan perbuatan nyata. Bila pengaruh 
syahwat lebih kuat maka akan muncul perilaku amoral sebaliknya perilaku 
moral akan muncul jika pengaruh akal lebih kuat daripada syahwat. 
Beradasarkan pendapat Emanuel Kant, Raghib 
al-Isfahani hal tersebut di atas jelas bahwa akal memilki peranan yang 
besar seseorang bertindak atau berperilaku moral . Namun demikian Raghib
 juga sepaham dengan pendapat yang menyatakan bahwa perbuatan moral 
muncul karena pengaruh dari luar yaitu motif-motif masyarakat. Hal ini 
terlihat dari pendapatnya bahwa kehidupan bermasyarakat adalah 
keniscayaan untuk merealisasikan kehidupan bermoral (fadila), ahkam al 
sharia dan aturan-aturan agama yang lainnya juga membutuhkan 
kemasyarakatan. Dalam pergaulan sesama manusia, kita tidak boleh 
mengorbankan orang lain demi kepentingan diri sendiri, melainkan harus 
saling tolong menolong dan tidak saling menyakiti menuju kebahagiaan 
kehidupan dunia dan akhirat. 
Pendapat tersebut di atas menunjukkan bahwa 
orang di luar diri yaitu (masyarakat) bukanlah semata-mata alat untuk 
peralihan kepentingan individu, melainkan sebagai mitra untuk 
merealisasikan perilaku moral dan Eksistensi individu sebagai subjek 
moral sangat dipengaruhi oleh komunitasnya. Identitas individu 
ditentukan oleh keanggotaan dalam komunitasnya bahkan perilaku moral 
individu sangat bergantung pada komunitas dimana pelaku moral berada.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa 
perilaku bermoral dipengaruhi oleh faktor interen yang berasal dari 
dirinnya sendiri (dorongan akal keinginan dan faktor eksteren yang 
berasal dari masyarkat.
C. Analisis Keputusan Moral dan Implementasi Dalam Pembelajaran
1. Keputusan Moral
Keputusan moral merupakan bagian yang penting
 dalam kajian filsafat moral. Penetapan apakah suatu perbuatan itu” baik
 ” atau ”tidak baik” yang menjadi persoalan mendasar dalam kajian 
filsafat moral tidak lain adalah persoalan yang sangat terkait dengan 
persoalan keputusan nilai. Hal ini dikarenakan jawaban tentang persoalan
 ini terletak pada bagaimana pemberian keputusan nilai moral tersebut. 
Dalam pengertian ini dapat pula dipahami bahwa betapa eratnya kaitan 
antara kajian nilai dan keputusan moral dalam filsafat moral. Sebenarnya
 keputusan moral lahir melalui dua proses, yaitu moral deliberation dan 
moral justification.
Moral deliberation adalah proses pencarian 
alasan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang selanjutnya 
dijadikan sebagai alasan untuk pembenaran atau tidak melakukan sesuatu 
yang selanjutnya dijadikan alasan untuk pembenaran atau tidak melakukan 
sesuatu. Sedangkan moral justification merupakan pemberian alasan untuk 
melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan oleh seseorang atau oleh 
setiap orang, pada masa lalu atau dalam lingkungan tertentu, serta 
menunjukkan pula kenapa suatu perbuatan itu baik atau tidak baik.
Untuk meningkatkan kemampuan siswa 
mengemukakan pendapat dan mengambil keputusan dengan pertimbangan moral,
 salah satunya menggunakan pendekatan atau model perkembangan moral 
kognitif (cognitive moral development approach) yang terkenal dengan 
Moral reasoning. Model atau Pendekatan ini dikatakan pendekatan 
perkembangan kognitif karena karakteristiknya memberikan penekanan pada 
aspek kognitif dan perkembangannya. Pendekatan ini mendorong siswa untuk
 berpikir aktif tentang masalah-masalah moral dan dalam membuat 
keputusan-keputusan moral. Perkembangan moral menurut pendekatan ini 
dilihat sebagai perkembangan tingkat berpikir dalam membuat pertimbangan
 moral, dari suatu tingkat yang lebih rendah menuju suatu tingkat yang 
lebih tinggi (Elias, 1989).
Tujuan yang ingin dicapai oleh pendekatan ini
 ada dua hal yang utama. Pertama, membantu siswa dalam membuat 
pertimbangan moral yang lebih kompleks berdasarkan kepada nilai yang 
lebih tinggi. Kedua, mendorong siswa untuk mendiskusikan 
alasan-alasannya ketika memilih nilai dan posisinya dalam suatu masalah 
moral (Superka, et. al., 1976; Banks, 1985).
Pendekatan perkembangan kognitif pertama kali
 dikemukakan oleh Dewey (Kohlberg 1977). Selanjutkan dikembangkan lagi 
oleh Peaget dan Kohlberg (Freankel, 1977; Hersh, et. al. 1980). Dewey 
membagi perkembangan moral anak menjadi tiga tahap (level) sebagai 
berikut: (1) Tahap "premoral" atau "preconventional". Dalam tahap ini 
tingkah laku seseorang didorong oleh desakan yang bersifat fisikal atau 
sosial; (2) Tahap "conventional". Dalam tahap ini seseorang mulai 
menerima nilai dengan sedikit kritis, berdasarkan kepada kriteria 
kelompoknya. (3) Tahap "autonomous". Dalam tahap ini seseorang berbuat 
atau bertingkah laku sesuai dengan akal pikiran dan pertimbangan dirinya
 sendiri, tidak sepenuhnya menerima kriteria kelompoknya.
Piaget berusaha mendefinisikan tingkat 
perkembangan moral pada anak-anak melalui pengamatan dan wawancara 
(Windmiller, 1976). Dari hasil pengamatan terhadap anak-anak ketika 
bermain, dan jawaban mereka atas pertanyaan mengapa mereka patuh kepada 
peraturan, Piaget sampai pada suatu kesimpulan bahwa perkembangan 
kemampuan kognitif pada anak-anak mempengaruhi pertimbangan moral 
mereka. 
Kohlberg (1977) juga mengembangkan teorinya 
berdasarkan kepada asumsi-asumsi umum tentang teori perkembangan 
kognitif dari Dewey dan Piaget di atas. Seperti dijelaskan oleh Elias 
(1989), Kohlberg mendefinisikan kembali dan mengembangkan teorinya 
menjadi lebih rinci. Tingkat-tingkat perkembangan moral menurut Kohlberg
 dimulai dari konsekuensi yang sederhana, yang berupa pengaruh kurang 
menyenangkan dari luar ke atas tingkah laku, sampai kepada penghayatan 
dan kesadaran tentang nilai-nilai kemanusian universal. Lebih tinggi 
tingkat berpikir adalah lebih baik, dan otonomi lebih baik daripada 
heteronomi. Tahap-tahap perkembangan moral diperinci sebagai berikut:
1 : Pra-konvensional
Pada tingkatan ini, anak merespon aturan 
tradisi, label baik-buruk; benar-salah, dengan menginterpretasi label 
dalam pemahaman hedonistik dan konsekuensi dari tindakan. Tingkatan ini 
juga menunjukkan bahwa individu menghadapi masalah moral dari segi 
kepentingan diri sendiri. Seseorang tidak menghiraukan apa yang 
dirumuskan masyarakat, akan tetapi mementingkan konsekuensi konsekuensi 
dari perbuatannya ( hukuman, pujian, penghargaan ). Anak cenderung 
menghindari perbuatan yang menimbulkan resiko. Tingkatan ini dibagi 
menjadi dua tahap :
Tahap 1 : Orientasi pada hukuman dan 
Kepatuhan. Jadi, alasan anak pada tahap ini bersifat phisik. Apa yang 
benar adalah bagaimana menghindari hukuman.
Tahap 2 : Orientasi pada instrumental. 
Tindakan yang benar apakah sudah sesuai atau memenuhi kebutuhan 
seseorang berdasarkan persetujuan Pada tahap ini adil dipandang sebagai 
sesuatu yang bersifat balas budi, saling memberi.
2. Konvensional
Pada tingkatan ini anak mendekati 
permasalahan dari segi hubungan individu- masyarakat. Seseorang 
menyadari bahwa masyarakat mengharapkan agar ia berbuat sesuai dengan 
norma-norma dalam masyarakat. Perhatian kepada nilai keluarga, kelompok 
atau bangsa diterima sebagai nilai dalam dirinya. Terdapat konformitas 
interpersonal. 
Tahap 3: Orientasi “good boy-nice girl”. 
Persetujuan antar personal. Menjadi orang yang diharapkan , dan tingkah 
laku yang baik adalah menyenangkan atau menolong orang lain . 
Pertimbangannya adalah “perhatian” (ia berbuat baik). Motivasi perbuatan
 moral pada tingkatan ini ialah keinginan memenuhi apa yang diharapkan 
orang yang dihargai. Pada diri anak telah timbul kesadaran bahwa orang 
lain mengharapkan kelakuan tertentu daripadanya. 
Tahap 4 : Orientasi Kesadaran sosial. 
Perilaku yang benar adalah memenuhi kewajiban ( kesadaran imperatif ). 
Pada tingkatan ini, anak tidak lagi bertindak berdasarkan harapan orang 
yang dihormati, namun apa yang diharapkan oleh masyarakat umum. Dalam 
tingkatan ini hukum tampil sebagai nilai yang utama, yang dapat mengatur
 kehidupan masyarakat.
3.Post-Konvensional
Ada usaha yang jelas untuk memiliki moral dan prinsip. Memandang prinsip sebagai identifikasi dirinya.
Tahap 5: Orientasi Kontrak sosial dan hak-hak
 individu. Tindakan yang benar ditentukan dalam istilah kebenaran 
individu secara umum dan standard yang sudah diuji secara kritis dan 
disetujui oleh seluruh masayarakat. Suatu perasaan kesetiaan kepada 
hukum demi kesejahteraan semua orang dan hak-haknya. Pada tahap ini 
memandang kelakuan baik dari segi hak dan norma umum yang berlaku bagi 
individu yang telah diselidiki secara kritis dan diterima baik oleh 
seluruh masyarakat Kewajiban moral dipandang sebagai kontrak sosial. 
Komitmen sosial dan legal dipandang sebagai hasil persetujuan bersama 
dan harus dipatuhi oleh yang bersangkutan. 
Tahap 6 : Orientasi Prinsip Ethis Universal. 
Kebenaran ditentukan oleh prinsip ethis di dalam dirinya berdasar pada 
pemahaman logika universal ( keadilan, kesamaan hak dan kepatutan 
sebagai makluk individu). Seseorang bertindak menurut prinsip universal.
 Seseorang wajib menyelamatkan jiwa orang lain. 
Asumsi-asumsi yang digunakan Kohlberg 
(1971,1977) dalam mengembangkan teorinya sebagai berikut: (a) Bahwa 
kunci untuk dapat memahami tingkah laku moral seseorang adalah dengan 
memahami filsafat moralnya, yakni dengan memahami alasan-alasan yang 
melatar belakangi perbuatannya, (b) Tingkat perkembangan tersusun 
sebagai suatu keseluruhan cara berpikir. Setiap orang akan konsisten 
dalam tingkat pertimbangan moralnya, (c) Konsep tingkat perkembangan 
moral menyatakan rangkaian urutan perkembangan yang bersifat universal, 
dalam berbagai kondisi kebudayaan.
Sesuai dengan asumsi-asumsi tersebut, konsep 
perkembangan moral menurut teori Kohlberg memiliki empat ciri utama. 
Pertama, tingkat perkembangan itu terjadi dalam rangkaian yang sama pada
 semua orang. Seseorang tidak pernah melompati suatu tingkat. 
Perkembangannya selalu ke arah tingkat yang lebih tinggi. Kedua, tingkat
 perkembangan itu selalu tersusun berurutan secara bertingkat. Dengan 
demikian, seseorang yang membuat pertimbangan moral pada tingkat yang 
lebih tinggi, dengan mudah dapat memahami pertimbangan moral tingkat 
yang lebih rendah. Ketiga, tingkat perkembangan itu terstruktur sebagai 
suatu keseluruhan. Artinya, seseorang konsisten pada tahapan 
pertimbangan moralnya. Keempat, tingkat perkembangan ini memberi 
penekanan pada struktur pertimbangan moral, bukan pada isi 
pertimbangannya.
2. Penerapan Moral Reasoning Dalam Pembelajaran
Pendekatan perkembangan kognitif (moral 
reasoning) mudah digunakan dalam proses pendidikan di sekolah, karena 
pendekatan ini memberikan penekanan pada aspek perkembangan kemampuan 
berpikir. Oleh karena, pendekatan ini memberikan perhatian sepenuhnya 
kepada isu moral dan penyelesaian masalah yang berhubungan dengan 
pertentangan nilai tertentu dalam masyarakat, penggunaan pendekatan ini 
menjadi menarik. Penggunaannya dapat menghidupkan suasana kelas. Teori 
Kohlberg dinilai paling konsisten dengan teori ilmiah, peka untuk 
membedakan kemampuan dalam membuat pertimbangan moral, mendukung 
perkembangan moral, dan melebihi berbagai teori lain yang berdasarkan 
kepada hasil penelitian empiris. 
Proses pengajaran nilai menurut Model moral 
reasoning didasarkan pada delima moral, dengan menggunakan metode 
diskusi kelompok. Diskusi itu dilaksanakan dengan memberi perhatian 
kepada tiga kondisi penting. Pertama, mendorong siswa menuju tingkat 
pertimbangan moral yang lebih tinggi. Kedua, adanya dilemma, baik 
dilemma hipotetikal maupun dilemma faktual berhubungan dengan nilai 
dalam kehidupan seharian. Ketiga, suasana yang dapat mendukung bagi 
berlangsungnya diskusi dengan baik (Superka, et. al. 1976; Banks, 1985).
 Menurut Reimer (1983 : 84) terdapat 10 isu moral universal (1). Laws 
and rules, (2) Conscience, (3) Personal roles of affection, (4) 
Authority, (5) Civil rights, (6) Contract, trust, and justice in 
exchange (7) Punishmen, (8) The Value of life , (9) Property rights and 
values, (10) Truth
Goleman (2003) menjelaskan bahwa moral 
reasoning lebih bersifat Emosional inteligensi, sehingga emosional 
inteligensi mencerminkan karakter. Dengan demikIan, menurut peneliti 
implementasi model moral reasoning dapat membantu siswa untuk berpikir 
kritis dan mengelola emosi yang akhirnya menjadi warga yang baik. Oleh 
karena itu, agar siswa dapat mengemukakan pendapat dan dapat membuat 
keputusan dengan pertimbangan moral yang lebih tinggi (intelektual 
emosional) guru ataupun siswa harus kreatif dan enovatif untuk mencari 
atau membuat suatu masalah yang dilematis yang di diskusikan di dalam 
kelas. Contoh delima Moral adalah sebgai berikut:
Berdasarkan peraturan dan kreteria kenaikan 
kelas di SMP negeri 22 Samarinda siswa yang nilai agamanya kurang dari 
65 (tidak tuntas ) tidak naik kelas. Hernawati adalah salah satu siswa 
yang nilainnya belum mencapai 65, sehingga gurunnya yaitu Pak Sabarudin 
memberikan kesempatan padannya untuk mengikuti program remidial atau 
perbaikan. Hernawati setiap malam belajar agar nilainnya baik namun dia 
juga sangat cemas saat mengikuti ulangan, dia sangat takut jika nilai 
yang akan diperoleh dalam remidial kurang dari 65 sebab soal - soal yang
 yang diujikan hanya sebagian yang dapat di jawab sehingga dia berusaha 
dan berpikir untuk menyontek agar nilainnya baik. Ernawati berpikir 
bahwa dengan menyontek nilainya akan baik dan kemungkinan akan naik 
kelas. Jika Anda sebagai Ernawati tindakan mana yang Anda pilih 
menyontek dengan resiko merasa bersalah dan jika ketahuan akan mendapat 
sanksi dari guru atau tidak menyontek dengan resiko nilainnya jelek 
kemungkinan tidak naik kelas? 
Latihan menyelesaikan masalah delima moral 
seperti di atas yang terkait dengan permasalahan yang dihadapi generasi 
muda (siswa) diharapkan dapat membantu membentuk kematangan moral siswa.
 Dengan demikian, diharapkan perkembangan moral siswa tidak terhambat. 
Di samping itu siswa dapat berani mengambil keputusan yang dilematis 
dengan pertimbangan moral.

