Info




SELAMAT DATANG DI WEB Haris Gudang Ilmu



Selamat datang di Web Side saya , saya harap anda senang berada di Web sederhana ini. Web ini saya tulis dengan komputer yang sederhana dan koneksi internet yang juga sederhana. Saya berharap Anda sering datang kembali. Silahkan anda mencari hal-hal yang baru di blog saya ini. Terima Kasih



SEKILAS HARIS GUDANG ILMU



Nama saya Mohammad Haris saya seorang yang mempunyai Web Side ini . Saya mulai belajar blogger sejak bulan Oktober 2009, dan blog ini saya buat pada bulan January 2009. Terimakasih Atas Kunjungannya.Follow Grup saya di https://www.facebook.com/harisgudangilmu?ref=hl







Exit
Jangan Lupa Klik Like Ya

Social Icons

My Biodata Admin



Nama:Muhammad Haris Yuliandra
Angkatan Ke 2 Anak Didikan Dari
Sekolah SMK Negri 1 Kutalimbaru
Sudah Tamat

Selamat Bergabung Di Blog Saya






selamat berkujung di blog saya semoga apa yang saya berikan kepada anda semoga bermanfaat

Senin, 12 September 2016

Sejarah Ilmu Mushthalah Hadits

Orang yang melakukan kajian mendalam mendapati bahwa dasar-dasar dan pokok-pokok penting bagi ilmu riwayat dan penyampaian berita dijumpai di dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Di dalam al-Qur’an dijumpai firman Allah yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti.” (al-Hujuraat: 6)
Sedangkan dalam sunnah Rasulullah saw. bersabda:
“Allah mencerahkan wajah seseorang yang mendengar dari kami sesuatu (berita, yaitu hadits), lalu ia menyampaikan berita itu sebagaimana ia dengar. Dan mungkin saja orang yang mendengar berita itu lebih paham dari orang yang mendengarnya.” (HR Tirmidzi –dalam kitaab al ‘ilmu- haditsnya hasan shahih)
Di dalam riwayat lain dikatakan:
“Dan mungkin saja orang yang membawa berita itu lebih faqih dqari orang yang menerima berita. Dan mungkin pula orang yang membawa berita itu tidak lebih faqih dari orang yang menerima berita.” (HR Tirmidzi dalam sumber yang sama, namun dikatakan haditsnya hasan. Diriwayatkan pula oleh Abu Daud, Ibnu Majah dan Ahmad)
Dalam ayat dan hadits yang mulia itu terdapat prinsip yang tegas dalam mengambil suatu berita dan tata cara penerimaannya, dengan cara menyeleksi, mencermati dan mendalaminya sebelum menyampaikannya kepada orang lain.
Dalam upaya melaksanakan perintah Allah dan Rasulullah saw, para shahabat ra. telah menetapkan hal-hal yang menyangkut penyampaian berita dan penerimaannya, terutama jika mereka meragukan kejujuran si pembawa berita. Berdasarkan hal itu, tampak nilai dan pembahasan mengenai isnad dalam menerima atau menolak suatu berita. Di dalam pendahuluan kitab Shahih Muslim, dituturkan dari Ibnu Sirin:
“Dikatakan, pada awalnya mereka tidak pernah menanyakan tentang isnad, namun setelah terjadi peristiwa fitnah maka mereka berkata: ‘Sebutkan kepada kami orang-orang yang meriwayatkan hadits kepadamu.’ Apabila orang-orang yang meriwayatkan hadits itu adalah ahli sunnahy, maka mereka ambil haditsnya. Dan jika orang-orang yang meriwayatkan hadits itu adalah ahli bid’ah, maka mereka tidak mengambil haditsnya.
Berdasarkan hal ini, maka suatu berita tidak bisa diterima kecuali setelah diketahui sanadnya. Karena itu muncullah ilmu jarh wa ta’dil, ilmu mengenai ucapan para perawi, cara mengetahui bersambung (muttashil) atau terputus (munqathi’)-nya sanad, mengetahui cacat-cacat yang tersembunyi. Muncul pula ucapan-ucapan (sebagai tambahan dari hadits) sebagian perawi meskipun sangat sedikit, karena masih sedikitnya para perawi yang tercela pada masa-masa awal.
Kemudian para ulama dalam bidang ini semakin banyak, hingga muncul berbagai pembahasan di dalam banyak cabang ilmu yang terkait dengan hadits, baik dari aspek ke-dlabithan-nya, tata cara penerimaan dan penyampaiannya; pengetahuan tentang hadits-hadits yang nasikh (menghapus) dari hadits-hadits yang dimansukh (dihapus); pengetahuan tentang hadits-hadits yang gharib (asing/menyendiri), dan lain-lain. Semua itu masih disampaikan oleh para ulama secara lisan.
Lalu masalah ini semakin berkembang. Lama-kelamaan ilmu hadits ini mulai ditulis dan dibukukan, akan tetapi masih terserak di berbagai tempat di dalam kitab-kitab lain yaang bercampur dengan ilmu-ilmu lain, seperti ilmu-ilmu ushul, fiqih, dan ilmu hadits. Contohnya kitab ar Risalah dan al-Umm-nya Imam Syafi’i.
Akhirnya, ilmu-ilmu itu semakin matang, mencapai puncaknya dan memiliki istilah tersendiri yang terpisah dengan ilmu-ilmu lainnya. Ini terjadi pada abad keempat hijriyah. Para ulama menyusun ilmu mushthalah dalam kitab tersendiri. Orang pertama menyusun kitab dalam bidang ini adalah Qadli Abu Muhammad Hasan bin Abdurrahman bin Kkhalad ar-Ramahurmuzi (wafat 360 H), yaitu kitab al-Muhaddits al-Fashil baina ar-Rawi wa al-Wa’i.