Syekh
Burhanuddin telah banyak dikenal dan diperbincangkan para ilmuwan, baik
dalam literatur, maupun dari laporan bangsa Eropah lainnya. Salah satu
sumber utama yang menjelaskan dari perkembangan surau-surau dan lahirnya
pembaruan Islam di Minangkabau berasal dari sebuah naskah kuno tulisan
Arab Melayu. Naskah itu berjudul, Surat Keterangan Saya Faqih Saghir
Ulamiyah Tuanku Samiq Syekh Jalaluddin Ahmad Koto Tuo, yang ditulis pada
tahun 1823. Buku ini menjelaskan peranan surau dalam menyebarkan agama
Islam di pedalaman Minangkabau yang dikembangkan oleh murid-murid Syekh
Burhanuddin Ulakan.
Di samping itu, riwayat ulama ini telah diterbitkan dalam tulisan Arab
Melayu oleh Syekh Harun At Tobohi al Faryamani (1930) dengah judul
Riwayat Syekh Burhanuddin dan Imam Maulana Abdul Manaf al Amin dalam
Mubalighul Islam. Buku ini menerangkan dengan jelas mengenai diri Pono,
yang kemudian bergelar Syekh Burhanuddin. Diceritakan dengan jelas
kehidupan keluarga, masa mengenal Islam dengan Tuanku Madinah kemudian
berlayar ke Aceh untuk menimba ilmu kepada Syekh Abdurrauf al Singkli.
Syekh Burhanuddin adalah salah seorang dari
murid Syekh Abdur Rauf al Singkli yang dikenal juga dengan panggilan
Syekh Kuala. Sekembali dari Aceh, Syekh Burhanuddin membawa ajaran
Tharikat Syattariyah ke Ulakan pada bagian kedua abad ke-17. Dari Ulakan
ajaran tarikat menyebar melalui jalur perdagangan di Minang-kabau terus
ke Kapeh-kapeh dan Pamansiangan, kemudian ke Koto Laweh, Koto Tuo, dan
ke Ampek Angkek. Di sebelah barat Koto Tuo berdiri surau-surau tarikat
yang banyak menghasilkan ulama. Daerah ini dikenal dengan nama Ampek
Angkek, berasal dari nama empat orang guru yang teruji kemasyhurannya.
Murid-Murid yang belajar di surau Syattariah terbuka untuk mempelajari
seluruh rangkaian pengetahuan Islam. Salah satu buku yang dipelajari
Syekh Burhanuddin dan murid-muridnya adalah karya Abdurrauf yang
memperlihatkan penghargaan yang tertinggi terhadap “syariat”. Beberapa
surau Syattariyah mempelajari cabang ilmu agama, sehingga terjadi
spesialisasi pengajaran agama Islam di Minangkabau. Masing-masing surau
itu memperdalam salah satu cabang ilmu agama, seperti: Surau Kamang
dalam ilmu alat (nahu sharaf dan tata bahasa Arab), Koto Gadang dalam
mantik ma’ani, Koto Tuo dalam ilmu tafsir Quran, tarbiyah dan hadith),
Surau Sumanik dalam ilmu faraidh (pewarisan) hadis; Surau di Talang
dalam badi’, maani dan bayan (tata bahasa Arab ).
Dalam catatan lain terdapat sederetan para ahli dan penulis yang
menyelidiki riwayat dan peranan Syekh Burhanuddin. Dari kisah perjalanan
Thomas Diaz tahun 1684 yang diceriterakan de Haan, bahwa ulama ini
telah melibatkan rakyat dalam politik agama yang dikenal dengan nama
“perjanjian Marapalam” pada tahun 1686, yang kemudian hari melahirkan
konsepsi, Adat tidak bertentangan dengan Syarak
Penulis bangsa Indonesia seperti Hamka dalam bukunya, Sejarah Umat Islam
(1961), Sidi Gazalba dalam Mesjid, Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam
(1962) dan Prof. Muhmud Yunus dalam Sejarah Islam di Minangkabau (1969)
mengupas peranan ulama Syekh Burhanuddin sebagai pengembang agama Islam
yang berpusat di Ulakan..
Semua para penulis tersebut sepakat bahwa Syekh Burhanuddin adalah
seorang ulama dan pengembang agama Islam di Minangkabau dilahirkan di
Guguk Sikaladi Pariangan Padang Panjang dengan nama kecil Pono. Sebagai
seorang mubaligh yang mengembangkan agama Islam setelah memperdalam
syariat Islam selama 10 tahun di Aceh, sekembali dari Aceh mendirikan
surau di Tanjung Medan dan surau-surau lainnya di Ulakan.
Syekh Burhanuddin meninggal dunia pada hari Rabu 10 Syafar tahun 1116H
atau 1704 M di Ulakan. Hari kematiannya dirayakan pengikutnya setiap
tahun yang dikenal dengan nama “basapa”. Jika 10 Syafar jatuhnya pada
hari Rabu, akan diperingati sebagai “basapa gadang” , bersapar
besar-besaran.
Menurut perhitungan Prof. Mahmud Yunus, Pono lahir pada tahun 1066 H
atau tahun 1641 M di Sintuk, Lubuk Alung, dan memperdalam agama pada
Syekh Abdur Rauf selama 10 tahun, dan meninggal pada tahun 1116 H dalam
usia 53 tahun.
Ilmu pengetahuan agama yang dalam serta pengalaman kenegaraan yang
diperdapat bersama gurunya, Syek Abdur Rauf yang menjadi seorang mufti
pada Kerajaan Aceh, menciptakankan sistem pendidikan surau. Murid-murid
yang diasuhnya kemudian menyebar di seluruh pelosok Minangkabau yang
mendirikankan surau-surau sebagai pusat studi yang melahirkan
cendekiawan ke pedalaman Minangkabau.
Bahkan Syekh Burhanuddin mencapai kesepakatan dengan Yang Dipertuan
Kerajaan Minangkabau yang menyatakan bahwa hukum adat dan hukum agama
sama-sama dipakai sebagai pedoman hidup dalam masyarakat di Minangkabau.
Ketentuan adat dan hukum agama Islam dalam masyarakat Minangkabau yang
matrilineal sebagai suatu proses integrasi lebih dikenal dengan adat
basandi syarak, syarak basandi kitabullah.
. Peninggalan Syekh Burhanuddin saat ini yang terpelihara dengan baik,
seperti bangunan Surau Tanjung Medan dan Makam Ulakan yang dapat menjadi
monumen sejarah dalam membantu menelusuri jejak sejarah yang dikandung
monumen itu. Peninggalan sejarah itu dapat dijadikan salah satu sumber
penulisan sejarah Syekh Burhanuddin.
Surau Syekh Burhanuddin
Peninggalan utama Syekh Burhanuddin yang sampai saat ini masih
terpelihara dengan baik adalah bangunan surau di Tanjung Medan dan
komplek makam di Ulakan yang menjadi tujuan ziarah bagi pengikutnya
sebagai rasa hormat kepada guru dan pengembang agama Islam di
Minangkabau.
Dari segi geografis, nagari Ulakan terletak di muara sungai Ulakan di
tepi pantai barat Sumatra. Suatu kampung atau nagari yang terletak di
tepi pantai paling cepat menerima perkembangan dan pertumbuhan.
Secara alamiah Nagari Ulakan berbatas:
a. Sebelah utara dengan Nagari Sunur dan Nagari Pauh Kambar
b. Sebelah selatan dengan Nagari Tapakis
c. Sebelah barat dengan Samudra Indonesia
d. Sebelah timur dengan Nagari Tapakis
Nagari Tapakis terdiri dari 19 jorong, yakni Padang Toboh, Maransi,
Sungai Gimbar Ganting, Lubuk Kandang, Sikabu, Tiram, Kampung Ladang,
Kampung Gelapung, Kampung Koto, Bungo Padang, Pasar Ulakan, Tengah
Padang, Palak Gadang, Tanjung Medan, Binuang, Koto Panjang, Manggopoh
Dalam, Manggopoh Ujung, dan Padang Pauh. Letak Jorong ini umumnya
terletak sepanjang pantai atau pesisir, penduduknya sebagian besar
terdiri dari nelayan. Di lingkungan seperti inilah peninggalan Syekh
Burhanuddin berupa makam di Ulakan dan Surau di Tanjung Medan.
Setelah bandar Malaka diduduki oleh Portugis pada tahun 1511, jalan
dagang berpindah dari Aceh, pantai barat Sumatra, Banten, Giri di Jawa
Timur, Goa dan Tello di Sulawesi, dan Ternate Tidore di Maluku.
Di pantai barat Sumatra tumbuh kota-kota perdagangan seperti Meulaboh,
Sibolga, Tiku Pariaman, Indrapura. Ulakan, sebagai kota pelabuhan
dagang, mengalami kemajuan karena disinggahi oleh para pedagang berbagai
daerah dan dari luar negeri seperti saudagar Gujarat, India, Arab dan
Cina.Ulakan menjadi suatu pelabuhan penting dan pintu gerbang bagi
daerah Minangkabau di masa itu, dan tempat bertemu saudagar-saudagar
yang beragama Islam.
Peninggalan Syekh Burhanuddin
Pada batu nisan Syekh Burhanuddin tercantum hari wafatnya pada tanggal
10 Syafar 1116 H bertepatan dengan hari Rabu atau 1704 H. Ia meninggal
pada umur yang masih muda, 45 tahun, karena ia dilahirkan pada tahun
1646.
Ketika berangkat ke Aceh ia berumur 15 tahun dan masa belajar di Aceh
selama 10 tahun, kegiatan dakwah berlangsung selama 20 tahun.
Di kiri kanan makam Syekh Burhanuddin terdapat makam penggantinya yang
disebut khalipah bernama Abdur Rahman dan khatib pertama nagari Ulakan,
Idris Majolelo. Ketiga makam ini terletak di bawah bangunan empat
persegi 2,5 x 2,5 m. Bangunan ini seolah-oleh sebuah masjid kecil yang
mempunyai sebuah kubah berdinding teralis besi. Pada loteng tergantung
tirai-tirai, hadiah dari para peziarah Setiap datang rombongan baru
tirai itupun diganti.
Pengganti-pengganti Syekh Burhanuddin adalah Tuanku-tuanku yang menjadi
khalipah, mulai dari Abdur Rahman, Mukhsin sampai khalipah ke-16, Tuanku
Mudo. Di halaman bangunan berkubah terdapat beberapa makam para
pengikutnya, khalipah-khalipah atau pewarisnya. Kebanyakan telah rata
dengan tanah. Sebagai pertanda bahwa semuanya itu makam ialah adanya
batu nisan terbuat dari batu alam berbentuk persegi panjang. Di bagian
muka makam terdapat sepuluh lokan besar 20 x 30 m tersusun di sebelah
kiri kanan jalan yang menghubungkan makam dengan bangunan 100 x 80 cm.
Lokan-lokan ini dianggap para pengikutnya mempunyai berkah yang dapat
menyembuhan berbagai penyakit. Dekat makam terdapat pula sebuah bangunan
yang berguna celengan bagi orang yang berwakaf.
Lokasi bangunan ini dipagar dengan tembok lebih kurang 1 m. Luas areal yang terpagar adalah 8 x 7.5 m.
Di luar pagar terdapat pula makam-makam yang banyak, yang dipagar dengan
tembok tinggi 1,5 m dan luasnya 8,5 x 12,5 m. Di luar pagar ini baru
terdapat halaman yang luas dikelilingi oleh kira-kira 200 buah surau dan
di tengahnya terletak sebuah masjid. Surau-surau ini merupakan
perwakilan dari daerah atau nagari di Sumatra Barat yang juga berfungsi
sebagai tempat menginap para peziarah.
Makam Syekh Burhanuddin dan makam lainnya, sangatlah sederhana, ditandai
oleh dua buah nisan dari batu andesit dengan pengerjaan sederhana tanpa
variasi yang penting sebagai monumen sejarah
Surau Syekh Burhanuddin terletak di desa Tanjung Medan, 6 km dari makam
Ulakan. Lokasi surau agak masuk ke dalam dari jalan raya melalui jalan
tanah yang cukup baik. Surau terletak di atas tanah yang datar dengan
halaman yang luas.
Tanah lokasi surau Syekh Burhanuddin adalah tanah yang dihadiahkan oleh
Raja Ulakan bergelar Mangkuto Alam kepada Idris Majolelo atas jasanya
semasa Syekh Burhanuddin belajar di Aceh. Surau, semacam pesantren,
ialah bangunan tempat mengaji dan belajar ilmu agama Islam. Syekh
Burhanuddin seorang ulama dan mubaligh, maka Surau Syekh Burhanuddin
terdiri dari dua bangunan, yaitu:
1) Bangunan serambi berdenah segi empat panjang sebagai bangunan
tambahan yang dibuat kemudian. Bangunan ini beratap gonjong dan
berfungsi sebagai entrance hall dan keseluruhan bangunan itu terbuka.
Lantainya beralaskan plesteran semen dan bukan beralaskan papan sebagai
halnya rumah gadang.
Bangunan berdenah segi empat bujur sangkar yang terletak di belakang
serambi. Pada prinsipnya bangunan ini dengan struktur konstruksi joglo,
sebagaimana masjid kuno di Jawa, di antaranya masjid Demak. Namun sesuai
dengan keadaan dan kebiasaan orang Minangkabau, bangunan ini dengan
struktur berkolong (loteng dan panggung). Dengan struktur bangunan joglo
ini, dalam surau terdapat empat tiang utama dikelilingi dua deretan
anak tiang. Pada deretan pertama berjumlah 12 tiang dan pada deretan
kedua 20 anak tiang. Dengan empat tiang utama atau tiang panjang (soko
guru, Jawa) di tengah dengan dua deretan anak tiang disekelilingnya,
maka struktur bangunan ini dengan atap bersusun tiga, dinding ruangan
melekat pada deretan anak tiang kedua ( 20 tiang). Tiang sesamanya
dihubungkan dengan kayu yang disambung dengan rotan yang disimpai.
2) Atap surau Syekh Burhanuddin ada persamaannya dengan beberapa surau
lainnya di Minangkabau, di antaranya surau Koto Nan Ampek di Payakumbuh
dan surau Lima Kaum di Tanah Datar. Masih terlihat perkembangan
arsiterktur konstruksi atap tumpang dengan bentuk berpuncak dengan
hiasan mahkota, sama dengan masjid Demak yang dibangun dalam abad ke-16.
3) Arsitektur surau Syekh Burhanuddin masih mempunyai persamaan dengan
masjid di Kota Waringin lama di Kalimantan yang dibangun sekitar abad
ke-17. Masyarakat setempat mengenalnya sebagai prototip masjid Demak.
Dengan perbandingan tersebut, arsitektur surau Syekh Burhanuddin
pembangunannya dalam abad ke-17. Hal ini diperkuat dengan mihrab tanpa
atap tersendiri sebagaimana masjid Demak. Berbeda dengan mihrab masjid
lainnya di Minangkabau yang selalu dengan atap tersendiri.
4) Bahan bangunan Syekh Burhanuddin seluruhnya dari kayu, baik tiang
maupun konstruksi atap dan dinding. Atapnya dulu terdiri dari ijuk yang
kemudian diganti dengan atap seng pada tahun 1920. Struktur bangunan
surau dikerjakan dengan kayu yang sederhana tanpa pengerjaan yang
sempurna menurut ukuran sekarang. Masih terlihat bentuk asli kayu dengan
lengkung-lengannya. Hal ini menunjukkan, bagaimana pekerjaan bangunan
masa itu. Tiang utama terdiri dari kayu seutuhnya dengan sedikit dikerja
mengambil bentuk segi-8, dan hubungan antara tiang dengan kayu lainnya
diikat dengan rotan tanpa paku. Artinya bangunan ini tidak mempergunakan
paku kayu.
5) Tiang-tiang terletak di atas sandi dari batu umpak seutuhnya yang
terletak di atas tanah yang ditinggikan. Pada beberapa bagian ada
perbaikan yang sifatnya mencegah kerusakan, namun masih nampak
keasliannya. Bangunan surau Syekh Burhanuddin belum pernah mengalami
perubahan, selain penambahan serambi.
Masa Kecil Syekh Burhanuddin
Tidak banyak keterangan mengenai masa kecil dan latar belakang kehidupan
Syekh Burhanuddin yang berkubur di Ulakan itu. Nama kecilnya adalah
Pono. Lahir di Pariangan Padang Panjang tahun 1066H (1646 M). Ayahnya
bernama Pampak Sakti gelar Karimun Merah, suku Koto. Ibunya bernama
Cukup Bilang Pandai, suku Guci. Kehidupan kedua orang tuanya beternak
sapi.
Keluarga Pampak Sati gelar Karimun Merah meninggalkan kampung
halamannya, Pariangan Padang Panjang. Perjalanan dari Pariangan turun ke
Malalo, terus ke Bukit Punggung Jawi terus ke Asam Pulau, dekat Kayu
Tanam. Dengan menghilirkan batang Tapakis sampai keluarga ini di Sintuk.
Jalan ini merupakan jalan dagang yang diawasi oleh Tuan Gadang dari
Batipuh.
Di tempat inilah keluarga Pampak memulai kehidupan baru. Usaha lama
dikembangkannya karena daerah Sintuk mempunyai padang rumput yang subur.
Pono dengan rajin dan patuh menggembalakan ternak ayahnya sehingga
berkembang biak yang membawa keluarga Pampak termasuk keluarga
terpandang di daerah baru ini.
Pono berjalan menghiliri Batang Tapakis mencari padang rumput baru. Di
nagari Tapakis, bersebelahan dengan nagari Ulakan, Pono mendapat teman
baru, seorang pemuda sebaya dengan dia. Teman itu ialah Idris Majolelo,
suku Koto, berasal dari Tanjung Medan. Beliau mempunyai budi pekerti
yang halus.
Di nagari Tapakis berdiam seorang ulama berasal dari Aceh yang bernama
Syekh Abdul Arif yang terkenal dengan gelar Tuanku Madinah yang disebut
juga Tuanku Air Sirah. Air Sirah adalah nama jorong di nagari Tapakis,
tempat Syekh Abdul Arif bermukim dan mengajar. Pembantu utamanya adalah
Syahbuddin, Syamsuddin dan Basyaruddin.Ulama
ini seangkatan dengan Syekh Abdur Rauf al Singkli dan sama-sama berguru
kepada Syekh Ahmad Kosasih dan Syekh Abdul Qadir al Jailani di Madinah.
Syekh Abdul Arif dengan sabar dan gigih mengajar agama Islam kepada
anak nagari. Hasilnya belum menggembirakan. Anak nagari lebih teguh
memegang adat istiadat jahiliyah dan kepercayaan lama.
Dengan ajakan Idris Majolelo akhirnya Pono berkenalan dengan agama Islam
dan langsung mengucapkan dua kalimat tauhid menjadi penganut agama yang
khalis di hadapan Tuanku Madinah Beliau belajar dengan tekun dan rajin
serta mengamalkan segala fatwa gurunya. Pono termasuk murid yang
terpandai karena ketekunan dan kecerdasan otaknya.
Tidak berapa lama, tiba-tiba Tuanku Madinah meninggal dunia. Pono sering
bermenung dan terharu atas kepergian Tuanku Madinah. Alangkah sedihnya
Pono karena secara tidak diduga sama sekali guru yang dihormati dan
disayanginya telah tiada. Harapan Pono untuk mengeruk sebanyak mungkin
ilmu gurunya itu menjadi gagal.
Dengan perasaan hiba dan putus harap, Pono kembali ke Sintuk. Beliau
sering bermenung dan terharu atas kepergian Tuanku Madinah. Beliau
menyendiri dari pergaulan ramai, mengingat kemungkaran yang sering
dilakukan anak nagari. Untuk mengobati hati yang luluh beliau dengan
tekun dan sepenuh hati mengamalkan fatwa gurunya dan ajaran Islam yang
diperoleh selama belajar dengan almarhum Tuanku Madinah.
Dengan sembunyi-sembunyi, Pono sempat mengajar serta meyakinkan
teman-teman dekatnya akan hakekat kebenaran ajaran Islam. Lambat laun
agama Islam mulai meresap di hati sebahagian kecil penduduk Sintuk.
Dakwah Pono demikian tidak berlangsung lama. Tantangan demi tantangan
datang dari anak nagari, terutama para penghulu suku dan pimpinan
nagari. Mereka merasa wibawa mereka akan berkurang karenanya. Akhirnya
mereka menasehati Pono agar segera meninggalkan kegiatan dakwahnya.
Namun Pono tetap melaksanakannnya. Akibatnya tantangan semakin menjadi.
Mula-mula mereka menganiaya ternak ayahnya dan kemudian dengan ancaman
pengusiran. Puncak tantangan adalah ketika keputusan musyawarah nagari
untuk membunuh Pono apabila tidak segera menghentikan dakwahnya. Pono
tidak mendapat tempat berpijak lagi di Sintuk.
Memperdalam Ilmu ke Aceh
Pada saat krisis ini menyadarkan Pono dari kekhawatirannya. Kembali
segar dalam ingatannya pesan almarhum gurunya, Tuanku Madinah, agar
memperdalam ilmu agama kepada seorang ulama besar Abdur Rauf al Singkli.
Pesan guru ini disampaikan dengan khidmat kepada kedua orang tuanya dan
mereka merestuinya.
Secara diam-diam mereka berserah diri ke hadapan Allah, Tuhan Yang Maha
Esa. Dalam usia muda, 15 tahun, malam hari Pono meningalkan negari
Sintuk menuju Aceh guna memenuhi pesan gurunaya, Tuanku Madinah
Dengan berat hati kedua orang tuanya melepas kepergian anak tercinta.
Kemudian Pono sujud dan mohon maaf. Air mata terus membasahi pipinya.
Pada saat itu Pono dan bangkit keluar rumah. Langkah pertama menuju Aceh
kelak mempunyai nilai tersendiri dalam peristiwa perkembangan Islam di
Minangkabau.
Dia berangkat secara diam-diam, khawatir diketahui oleh mata-mata
pemimpin nagari itu. Bekalnya adalah semangat dan tekad yang bulat serta
penyerahan diri kepada Allah.
Tujuannya ke Singkil di Aceh Selatan berguru kepada Syekh Abdur Rauf al
Singkli, seorang ulama yang masyhur waktu itu memenuhi amanat almarhum
gurunya yang pertama, Tuanku Madinah. Pono sudah berangkat. Nagari
Sintuk sudah jauh ditinggalkan. Tanpa kawan ia menyusuri pesisir Samudra
Indonesia. Secara kebetulan, dalam perjalanan ia bertemu dengan empat
orang pemuda sebaya dengan dia. Mereka lalu berkenalan, dan ternyata
mereka mempunyai niat yang sama, hendak pergi ke Aceh untuk menuntut
ilmu agama kepada Syekh Abdur Rauf. Mereka adalah Datuk Maruhum dari
Padang Ganting, Tarapang dari Kubuang Tigo Baleh, Muhammad Nasir dari
Koto Tangah, dan Buyung Mudo dari Bayang Tarusan.
Terjadilah persahabatan di antara mereka. Setelah melalui musyawarah
didapat kata sepakat, Pono diangkat menjadi kepala rombongan yang
diterimanya dengan penuh rasa tanggung jawab.
Melalui suka dan duka selama dalam perjalanan, akhirnya dengan selamat
mereka sampai di Singkil langsung menghadap dan memperkenalkan diri
kepada Syekh Abdur Rauf. Niat yang dikandung semenjak dari kampung
halaman disampaikan dengan sopan.
Dengan segala senang hati Syekh Abdur Rauf menerima dan mengabulkan permohonan calon muridnya.
Pengaruh Syekh Abdurrauf al Singkli (1620 -1693)
Syekh Abdurauf Singkel adalah seorang ulama terkenal dalam abad ke-17.
Ia dilahirkan pada tahun 1620 di Singkel, Kabupaten Aceh Selatan
sekarang. Nama lengkapnya ialah Abdurrauf al Ali al Jawi al Fansuri al
Singkel.
Syekh Abdurauf Singkel dimuliakan oleh rakyat Aceh sejak dahulu hingga
sekarang. Banyak legenda mengenai Syekh Abduurauf yang terus hidupdan
dikenal turun temurun. Archer dalam bukunya, Muhammadan Mysticism in
Sumatera mengatakan, “Syekh Abdurauf Singkel, seorang cendekiawan muslim
Aceh yang sekarang dikenal dengan nama Tengku Dikuala. Nama tertancap
dalam lubuk hati rakyat sebagai ulama dan intelektual yang jenius pada
zamannya.
Sesudah mendapat pendidikan di kampung halamannya dan diibu kota
Kerajaan Aceh, ia melanjutkan studinya ke tanah Arab. Pada tahun 16423,
ia berangkat ke Mekah. Selama 19 tahun lamanya di tanah Arab, di
antaranya Mekkah, Madinah, Jeddah, Mokka, Zebid, Batalfakih dan beberapa
tempat lainnya. Syekh Abdurauf menyelesaikan studinya pada seorang
ulama Tharikat Syattariah yang bernama Molla Ibrahim, pengikut Ahmad
Qusyasyi. Pada tahun 1661, ia kembali ke Aceh.
Sesampainya di Aceh, ia mendirikan rangkang (pesantren) dekat muara
sungai Aceh. Dari berbagai penjuru Asia Tenggara orang datang ke
tempatnya untuk belajar. Atas usaha murid-muridnya, Tharikat Syattariah
yang kemudian tersebar ke seluruh Indonesia dan Semenanjung Malaya. Di
antara muridnya yang terkenal ialah Syekh Burhanuddin di Ulakan seorang
mubaligh yang terkenal di Minangkabau yang menyiarkan agama Islam secara
intensif ke pedalaman Minangkabau.
Di samping sebagai mubaligh dan ulama, Syekh Abdurauf terus menerus
memperdalam ilmunya dalam lapangan hukum. Sebuah karyanya dalam lapangan
hukum berjudul, ” Hudayah Balighah ala Jum’at al Mukhasaman” yaitu
sebuah kupasan mengenai hukum Islam tentang bukti, persaksian dan sumpah
palsu. Pendapat Syekh Abdurauf di lapangan hukum syariat sangat
dipatuhi rakyat Aceh dan buah pikirannya terus hidup sampai sekarang dan
lebur menjadi kaedah hukum adat dalam masyarakat Aceh. Kesanggupan
Syekh Abdurauf merumuskan hukum-hukum Islam sangat dikagumi sehingga
syariat Islam dipatuhi dan dilaksanakan oleh masyarakat Aceh saat ini.
Syariat Islam telah dijadikan Peraturan Daerah Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
Karyanya yang berjudul, Miratul Tullab fi tasyil Makrifatul Ahkam
Asysyar’iyah li Malikul Wahhab, merupakan sebuah buku pengantar Ilmu
Fikih menurut Mazhab Syafi’i. Buku ini hampir sama dengan karya Nuruddin
Ar Raniri yang berjudul Sirathul Mustaqim. Bedanya buku Nuruddin ar
raniri hanya berisi soal-soal ibadah saja, tetapi buku Syekh Abdurauf
berisi juga tentang mu’amalah.
Kupasannya mengenai pokok-pokok ajaran tasauf termuat dalam bukunya
berjudul Kifayat al Muhtajin, Daqaiq al Huruf, Bayan Tajalli, dan Umdat
al Muhtadin. Tafsir al Quran dalam bahasa Melayu telah diterbitkan di
Istambul pada tahun 1882.
Kegiatannya sebagai ulama dan mubaligh sebagian besar dilakukan pada
masa pemerintahan Sulthanah Syafiatuddin, seorang sultan yang memerintah
selama 34 tahun. Masa pemerintahan pemerintahannya adalah masa yang
penuh luka-luka karena kekalahan armada Aceh ketika menyerang Malaka
pada tahun 1629. Sementara pertentangan faham agama tindakan kekerasan
yang dilakukan semasa pemerintahan Sulthanah Syafiatuddin dalam membasmi
ajaran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al Sumatrani dalam ajaran
Syattariah tentang Wihdatul wujud.
Bentuk dan sifat pertentangan antara Syekh Abdurrauf dan Ar Raniri
dengan Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al Sumatrani berpangkal pada adanya
dua aliran dalam ilmu tasauf. Aliran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al
Sumatrani bernama wihdatulwujud atau kesatuan ujud.
Wihdatusysyuhud ialah faham umum umat Islam yang menyatakan bahwa alam
yang baru iniadalah sebagai kesaksian dari pada adanya Tuhan. Jadi,
bukkanlah alam itu sebagian dari Tuhan, melainkan sebagai tanda adanya
Tuhan.
Pertentangan ini telah ada pada masa Iskandar Muda, namun atas
kebijaksanaan Iskandar Muda tidak menimbulkan kekacauan. Namun dalam
bidang kebudayaan, sinar kerajaan Aceh semakin bersinar. Aceh masyhur
sebagai pusat kebudayaan dan intektual Islam di Asia Tenggara. Syekh
Abdurauf adalah seorang ulama dan mubaligh yang membenarkan seorang
wanita menjadi Sulthanah yang menunjukkan pikirannya yang maju untuk
masanya. Bahkan sampai sekarang masih ada ulama yang tidak membenarkan
wanita menjadi pemimpin bangsa.
Pada hari Jum’at tanggal 4 Sya’ban 114 H atau 1698 M, Syekh Abdurauf
berpulang ke rahmatullah. Pada batu nisannya terlukis Al Waliyul Malki
Syekh Abdurrauf bin Ali. Namanya kemudian lebih dikenal dengan sebutan
Syiah Kuala. Sesudah ia meninggal dikenal dengan nama Tengku di Kuala
atau Syiah Kuala. Ia mengambil tempat untuk mengajar di kuala (muara)
Krueng (sungai) Aceh dan di sana pula ia dikuburkan.
Syekh Abdur Rauf berhasil menyelesaikan studinya dengan baik. Kemudian
beliau kembali ke Aceh langsung mendirikan rangkang (pesantren) dekat
muara Krueng Aceh. Kegiatan rangkang ini maju pesat. Kemampuan Syekh
Abdur Rauf merumuskan hukum-hukum Islam dalam bentuk sederhana dan mudah
dicernakan, menyebabkan syariat Islam dapat diterima dan dilaksanakan
masyarakat Aceh. Atas dasar pengetahuannya di bidang hukum agama, ia
diangkat menjadi mufti kerajaan Aceh.
Syekh Abdur Rauf adalah seorang sufi dari aliran Syattariah dan
bermazhab Syafe’i. Fahamnya dalam tasauf tergolong dalam faham yang
dinamakan Wihdatusysyuhud, jadi tidak berbeda faham pendirian Nuruddin
Ar Raniri. Dalam polemik beliau menentang ajaran-ajaran Hamzah Fanshuri
dan Syamsuddin As Sumatrani cukup tegas dan keras, tetapi tetap
bijaksana sehingga kekacauan dan peperangan agama tidak terjadi dalam
masyarakat .
Sejak masa Sulthan Iskandar Muda telah tinggi perbincangan ulama-ulama
dalam hal agama, yang terpenting pertentangan antara faham wihdatul
ujud,”alam ini adalah ciptaan dari bahagian ketuhanan sendiri, laksana
buih pada puncak ombak. Maka dalam alam zahir ini sebagai bahagian dari
pada ketuhanan yang besar. Menurut ahli tasauf dari aliran ini, duania
adalah hanya emanasi atau pancaran dari inti sari yang tidak tercipta
Wihdatusyuhud ialah paham yang rata pada umat Islam, bahwa alam yang
baharu ini adalah sebagai kesaksian dari pada adanya Tuhan. Jadi
bukanlah alam ini sebagaian dari Tuhan, melainkan sebagai tanda dari
pada adanya Tuhan.
Karya-karya yang pernah beliau tulis, antara lain:
1. Hudayah Balighah ‘ala Jum’at al muchasanah, suatu pembahasan mengani
hukum Islam tentang: bukti, kesaksian dan sumpah palsu. Buah pikirannya
ini menjadi pedoman dan kaedah hukum adat dalam masyarakat Aceh hingga
dewasa ini.
2. Miratul Tullab fi Tasyl Ma’rifatul Asysyariah li makhluk Wahhab kupasan mengenai pengantar Imu Fiqih menurut mazahab Syafii.
3. Kifayat al Muhtajin, Daqaiq al Huruf, Bayan Tajalli, suatu kupasan
mengenai pokok-pokok ajaran tasauf dan dasar-dasar pendiriannya dalam
lapangan ini.
4. Syair makrifat, karangan dalam bentuk puisi.
5. Tafsir al Qur an, dalam bahasa Melayu.
Syekh Abdurrauf wafat tahun 1114 Hijriyah dimakamkan dekat muara sungai
Aceh. Pada makam beliau dibuat orang hiasan tulisan yang berbunyi Al
Waliyul mulki Syekh Abdur Rauf bin Ali, menunjukkan betapa besar
peranannya dalam kerajaan Aceh pada waktu itu Setelah meninggal dunia
beliau lebih dikenal dengan sebutan Tengku di Kuala atau Syekh Kuala.
Kepada ulama dan mubaligh inilah Pono menuntut ilmu dan memperdalam
ajaan Islam selama 10 tahun. Lebih-lebih ketika Syekh Abdur Rauf al
Singkli diangkat Sulthanat Syafiatuddin sebagai mufti Aceh, Pono dapat
belajar tentang kehidupan istana dalam hubungannya dengan kegiatan
masyarakat Aceh.
Syekh Abdur Rauf memberikan perhatian istimewa pula kepada Pono.
Hubungan antara murid dengan guru terlihat sangat intim. Di samping
belajar, Pono membantu guru menggembalakan ternaknya. Membuat dan
memelihara kolam ikan sebagai bagian dari kegiatan rangkang ini.
Murid-murid di rangkang Syekh Abdur Rauf harus berusaha sendiri dan
mempunyai ketrampilan untuk memenuhi keperluan hidup.
Pono diajak tinggal serumah dengan guru. Tugas Pono bertambah dengan
mengasuh anak-anak sang guru. Pono sudah dianggap sebagai keluarga
sendiri oleh Syekh Abdur Rauf.
Minat serta perhatiannya sungguh luar biasa diikuti dengan daya tangkap
yang tinggi. Tidak mengherankan Pono termasuk murid yang terpandai di
antara pelajar di sana. Karena itulah Syekh Abdur Rauf mencurahkan
sekalian ilmu yang pernah dimilikinya, dan kesempatan ini dipergunakan
sebaik-baiknya oleh Pono. Ilmu yang dipelajarinya ialah ilmu syariat
Islam dengan cabang-cabangnya tauhid, tasauf, nahu, sharaf, hadits dan
juga ilmu taqwim (hisab).
Setelah melalui ujian-ujian berat dilengkapi dengan berkhalwat selama 40
hari di gua hulu sungai Aceh, di kaki Gunung Peusangan, sebelah selatan
Beureun, akhirnya Pono berhasil lulus dengan baik.
Syekh Burhanuddin kembali ke Minangkabau
Setelah cukup menerima ilmu pengetahuan selama beberapa than tibalah
masanya Syekh Burhanuddin meninggalkan Aceh. Masa pendidikan diakhiri
dengan perpisahan antara guru dan murid dengan penuh kasih
sayang.Terjadi percakapan antara Syekh Abdur Rauf dengan Syekh
Burhanuddin yang berbunyi sebagai berikut:
“Malam ini berakhirlah ketabahan dan kesungguhan hatimu menuntut ilmu
tiada taranya. Suka duka belajar telah engkau lalui dengan sepenuh hati.
Berbahagialah Engkau, dengan rahmat dan karunia Tuhan, telah selamat
menempuh masa khalwat 40 hari lamanya. Engkau beruntung di dunia dan
berbahagia di akhirat kelak. Sekarang pulanglah engkau ke tanah tumpah
darahmu menemui ibu bapamu yang telah lama engkau tinggalkan. Di samping
itu tugas berat dan mulia menantimu untuk mengembangkan Islam di sana.”
“Syukur Alhamdulillah”, kata Syekh Burhanuddin.
“Hatimu telah terbuka dan aku mendoa ke hadhirat Allah subhanahu
wata’ala, semoga cahaya hatimu menyinari seluruh alam Minangkabau. Kini,
engkau, aku lepaskan. Namun dengar baik-baik! Guru di Madinah ada empat
orang, yakni Syekh Ahmad al Kusasi, Syekh Qadir al Jailani, Syekh
Laumawi. Ketika aku berangkat ke tanah Jawi ini beliau memberi amanat
yang harus kusampaikan kepadamu.
Sesungguhnya nama Burhanuddin yang engkau pakai adalah nama pemberian
guruku itu dan ia mengirimkan sepasang jubah dan kopiah. Terimalah ini
dari padaku supaya sempurna amanat yang kubawa dan suatu kemuliaan bagi
engkau dengan sepasang pakaian ini tanda kebesaran ilmu yang penuh di
dadamu!”
Hari ini adalah saat perpisahan antara guru dengan murid dan
meninggalkan mesjid Singkil untuk selama-lamanya bagi Syekh Burhanuddin.
Syekh Abdur Rauf melepas Syekh Burhanuddin dengan sebuah taufah dan
menyediakan perahu disertai sembilan orang yang akan mengawalnya selama
dalam perjalanan. Rombongan ini dipimpin oleh Tuanku Nan Basarung dengan
pesan supaya mengantarkan Syekh Burhanuddin sampai di kampung
halamannya.
Pada saat itu telah terjadi perubahan hubungan antara Aceh dengan
Minangkabau. Daerah yang selama ini berada di bawah kekuasaan Aceh satu
persatu ingin melepaskan diri. Demikian juga halnya dengan Minangkabau.
Telah terjadi beberapa kali perkelahian dan peperangan yang banyak
memakan korban. Di antaranya gugur seorang panglima bernama Sisangko,
kemenakan panglima Kacang Hitam, cucu Ami Said yang berkubur di Pulau
Angso.
Perahu Syekh Burhanuddin mendarat di Pulau Angso di muka pantai Pariaman
untuk beristirahat dan meninjau keadaan di darat. Bersama dengan
pengawalnya kemudian mereka mendekati pantai Ulakan. Perahu Syekh
Burhanuddin adalah perahu Aceh, sehingga penduduk di sekitar pantai
telah siap berjaga-jaga lengkap dengan senjata menunggu kemungkinan yang
akan terjadi. Melihat keadaan seperti itu Syekh Burhanuddin berpendapat
lebih baik kembali ke Pulau Angso menunggu saat yang baik.
Namun, Tuanku Nan Basarung berpendapat lain. Tugasnya adalah
mengantarkan orang kampung mereka sendiri yang telah merantau ke Aceh
beberapa tahun. Dengan keras hati ia mendayung sendiri ke pantai. Ia
disambut dengan perkelahian melawan orang banyak. Walaupun ia
memperlihatkan keberaniannya, namun akhirnya ia gugur dalam melakukan
tugas yang diembannya. Syekh Burhanuddin tinggal sendirian di Pulau
Angso setelah pengawalnya yang delapan orang itu disuruhnya kembali ke
Aceh. Ia berpesan kepada Syekh Abdur Rauf bahwa ia telah sampai di
kampung halamannya dan akan menyelamatkan jenazah Tuanku Nan Basarung.
Melalui seorang nelayan, Syekh Burhanuddin mengirimkan sepucuk surat
kepada teman akrabnya, Idris Majo Lelo yang menyatakan beliau sudah
kembali dari Aceh dan sekarang berada di Pulau Angso. Perahu yang
mendekati pantai Ulakan kemarin adalah perahu saya yang sengaja dikirim
oleh Syekh Abdur Rauf.
Setelah menerima surat tersebut, Idris Majo Lelo menyampaikan isi dan
maksud surat tersebut kepada pemimpin dan rakyat Ulakan. Besoknya, Idris
Majo Lelo diiringi beberapa orang menjemput ulama ini ke pantai Kenaur
dekat Pariaman. Kedua teman ini berjabat tangan setelah sekian lama
berpisah.
Sesaat kemudian mereka berangkat ke Padang Langgundi, Ulakan. Di sanalah
mereka bermalam. Sebagai tanda kenang-kenangan kembali dari menuntut
ilmu, Syekh Burhanuddin menanam ranting pinago biru yang dibawa dari
Aceh. Beliau berpesan kepada Idris Majo Lelo bila ajal sampai kelak ia
dikuburkan dekat pinago biru ini.
Menyebarkan Ajaran Islam
Di Tanjung Medan ada sebidang tanah milik Idris Majo Lelo, pemberian
dari Raja Ulakan. Ke sanalah Syekh Burhanuddin dibawanya. Dimulainyalah
tugas suci mengajar dan menyebarkan ajaran Islam. Usaha pertama
dilakukannya di lingkungan keluarga Idris Majo Lelo. Kemudian diikuti
oleh tetangga terdekat.
Walaupun mendapat tantangan dari golongan ninik mamak dan pemimpin
mesyarakat lainnya yang khawatir pengaruhnya akan berkurang, namun
akhirnya sebagian besar masyarakat Tanjung Medan sudah menganut agama
Islam yang taat.
Syekh Burhanuddin meresapkan agama Islam dengan cara lunak dan berangsur-angsur.
Jalan yang dilakukan adalah menerapkan salah satu ayat al Quran yang
berbunyi la iqraha fiddin, tidak ada paksaan dalam menjalan agama.
Kegagalan sewaktu di Sintuk dulu diperbaikinya sekarang setelah mendapat ilmu dakwah dari gurunya, Syekh Abdur rauf.
Ternyata cara baru ini berhasil dilaksanakan dengan baik. Beliau yakin
bahwa kegagalan di Sintuk merupakan keberhasilan yang tertunda, yang
baru menampakkan hasil setelah beliau melakukan dakwah islamiyah di
dalam dan di luar nagari Ulakan.
Dalam usaha meresapkan ajaran Islam terutama diarahkan kepada anak-anak
yang masih “bersih” dan mudah dipengaruhi. Diusahakan oleh Syekh
Burhanuddin agar anak-anak bermain di halaman surau.
Syekh Burhanuddin ikut pula bermain bersama-sama dengan anak-anak
tersebut. Setiap memulai permainan Syekh Burhanuddin selalu mengucapkan
nama Tuhan, bismillahir rahmanir rahim dan bacaan doa-doa lain.
Itulah sebabnya anak-anak tertarik ingin belajar dan ingin mengetahui
isi doa yang dibaca beliau. Setelah murid-murid makin banyak mengaji,
akhirnya setelah dimusyawarahkan secara gotong royong dibangun sebuah
surau di Tanjung Medan yang sampai sekarang dapat kita saksikan tempat
mengaji bagi anak-anak dan santri.
Kesepakatan Bukit Marapalam
Berita kegiatan Syekh Burhanuddin di Ulakan ini meluas sampai ke daerah
lain, ke Gadur Pakandangan, Sicincin, Kapalo Hilalang, Guguk Kayu Tanam
terus ke Pariangan Padang Panjang dan akhirnya sampai ke Basa Ampek
Balai dan raja Pagaruyung sendiri.
Alam Minangkabau waktu itu menjadi goncang dan perhatian tertuju ke
Ulakan sebagai pusat pendidikan dan penyiaran Islam dengan
mengintensifkan ke seluruh pelosok Minangkabau. Cara yang dilakukan
ialah, dengan meminta restu kepada Raja Pagaruyung. Apabila Raja telah
yakin akan kebenaran agama Islam ini Alam Minangkabau akan mudah
dipengaruhi. Secara kebetulan, salah seorang temannya belajar di Aceh,
Datuk Maruhum Basa, diangkat oleh Yang Dipertuan Kerajaan Pagaruyung
sebagai Tuan Kadhi di Padang Ganting.
Dengan diiringkan oleh Idris Majo Lelo, Syekh Burhanuddin menemui Raja
Ulakan yang bergelar Mangkuto Alam, kemenakan Datuk Maninjun Nan
Sabatang dan Ami Said, cucu Kacang Hitam dengan maksud menyampaikan
niatnya memperluas ruang lingkup kegiatan dakwah. Dengan kepandaian
berbicara akhirnya Mangkuto Alam ditunjuk menghadap Daulat Raja
Pagaruyung. Ajakan ini diterima baik oleh Mangkuto Alam setelah
dimusyawarahkan dengan “Orang Nan Sebelas di Ulakan.”
Berangkatlah Syekh Burhanuddin dan Idris Majo Lelo bersama dengan
Mangkuto Alam dan Orang Nan Sebelas Ulakan dengan diiringkan hulubalang
seperlunya menghadap Daulat Yang DipetuanRaja pagaruyung. Pertama yang
ditemui Datuk Bandaharo di Sungai Tarab. Atas inisiatif Datuk Bandaro
diundanglah basa Ampek balai untuk membicarakan maksud dan tujuan “orang
Ulakan” tersebut., minta izin menyebarluaskan ajaran Islam di
Minangkabau.
Tempat sidang diadakan di sebuah bukit yang dikenal dengan nama “Bukit
Marapalam” Keduanya merupakan norma hukum dan saling isi mengisi yang
akan jadi pedoman hidup masyarakat Minangkabau. Inti sari konsepsi
Marapalam melahirkan ungkapan “adat basandi syarak, sebagaimana
disinggung oleh Scherieke dalam bukunya “Pergolakan Agama di Sumatra
Barat (terjemahan) sejak tahun 1668 konsepsi Marapalam itu dicetuskan
sehingga alim ulama di Minangkabau telah dapat melibatkan rakyat dalam
suatu aksi politik agama.
Konsepsi Marapalam ini dengan kerendahan hati disampaikan ke hadapan
daulat Raja Pagaruyung. Kepada pembesar kerajaan dimintakan pertimbangan
yang diterima dengan suara bulat.
Syekh Burhanuddin dan pengikutnya diberikan kebebasan seluas-luasnya mengembang agama Islam di seluruh Alam Minangkabau.
Dalam pepatah adat disebutkan batas-batasnya, ” di dalam lareh nan duo,
luhak nan tigo, dari ikue darek kapalo rantau sampai ke riak nan
badabue” Syekh Burhanuddin dengan gerakannya dilindungi oleh kerajaan
Pagaruyung.
Bagaimana usaha Syekh Burhanuddin berhasil mencapai kesepakatan dalam
waktu yang singkat dengan Yang Dipertuan Raja Pagaruyung? Tak heran
peranan gurunya di Aceh dengan filsafah “adat bak po teumeureuhum, huköm
bak syiah kuala”, (adat kembali pada raja, Iskandar Muda, hukum agama
pada Syiah Kuala) teralir dalam pikiran muridnya Syekh Burhanuddin di
Ulakan.
Daerah pesisir sebagai bagian dari rantau Yang Dipertuan Pagaruyung
menentang kehadiran Persatuan Dagang Belanda (VOC) yang mencoba
menerapkan penguasa tunggal dalam perdagangan dan memecah belah rantau
pesisir. Di antaranya dengan menciptakan Perjanjian Painan tahun 1662.
Sedang di daerah pesisir mulai berkembang surau-surau yang mengadakan
perlawanan terhadap monopoli dagang, seperti Muhammad Nasir dari Koto
Tangah, Tuanku Surau Gadang di Nanggalo.
Antara Syekh Burhanuddin dengan Yang Dipertuan Raja Pagaruyung mempunyai kepentingan yang sama yaitu keutuhan Alam Minangkabau.
Dengan kedua kepentingan antara keutuhan daerah rantau kesepakatan mudah
dicapai antara Syekh Burhanuddin dengan Yang Dipertuan Pagaruyung.
Kesepakatan inilah yang sering disebut dengan Perjanjian Marapalam.
Kemudian usaha Belanda ingin memasuki pedalaman Minangkabau dirintis
oleh Thomas Diaz yang berangkat dari Patapahan menembus hutan rimba dan
tiba di Buo (1680) disambut Raja Malio. Pengalaman Syekh Burhanuddin
bersama gurunya, Syekh Abdur Rauf sebagai mufti kerajaan Aceh, menambah
wawasan Syekh Burhanuddin dalam politik keagamaan di Minangkabau.
Peristiwa bersejarah di Bukit Marapalam dan Titah Sungai Tarab menghadap
kepada Yang Dipertuan Kerajaan Pagaruyung telah tersiar di seluruh
pelosok Alam Minangkabau dan menerima agama Islam dengan kesadaran.
Islam diakui sebagai agama resmi. Adat dan agama telah dijadikan pedoman
hidup dan saling melengkapi. Saat itu lahirlah ungkapan “adat menurun,
syarak mendaki. Artinya adat datang dari pedalaman Minangkabau dan agama
berkembang dari daerah pesisir.
Syariat Islam yang dibawa dan dikembangkan oleh Syekh Burhanuddin telah
menyinari Alam Minangkabau banyaklah orang yang menuntut ilmu agama.
Dari mana-mana orang berdatangan ke Tanjung Medan. Nama Tanjung Medan
sebagai pusat pendidikan dan pengajaran ilmu Islam sudah masyhur. Surau
Tanjung Medan penuh sesak dengan murid-murid beliau.
Untuk menampung mereka dibangun lagi surau-surau disekeliling surau
asal. Menurut catatan terdapat 101 buah surau baru di Tanjung Medan yang
merupakan satu kampus, permulaan sistem pesantren yang kita kenal
sekarang.
Perjanjian Marapalam kemudian berkembang menjadi suatu proses
penyesuaian terus menerus antara adat dan agama Islam, saling menopang
sebagai pedoman hidup masyarakat Minangkabau.
Syekh Burhanuddin telah meninggalkan jasa yang gilang gemilang. Namanya
senantiasa akan hidup terus dan tak terlupakan sepanjang masa. Sebelum
meninggal dunia, Syekh Burhanuddin tidak lupa mendidik kader penerus
dalam usaha menyebarluaskan ajaran Islam yang dilakukan melalui latihan
dan pendidikan.
Untuk meneruskan perjuangan beliau, Syekh Burhanuddin melatih dan
mendidik dua orang pemuda Tanjung Medan, Abdul Rahman dan Jalaluddin
yang akan menggantikan kedudukan, “khalipah” kelak. Menurut penilaiannya
kedua anak muda ini memenuhi pesyaratan dalam mengemban tugasnya, baik
dari akhlak, kecerdaan serta ketrampilan dakwah. Untuk itu ditetapkan
Abdul Rahman sebagai khalipah I.
Idris Majo Lelo, teman akrab Syekh Burhanuddin sedari muda bekerja bahu membahu dalam menegakkan agama Islam.
Sebagai kehormatan atas jasanya, Idris Majo Lelo diangkat menjadi Khatib
nagari Tanjung Medan dan jabatan itu berlangsung sampai sekarang.
Tharekat Ulakan
Ajaran yang dikembangkan Syekh Burhanuddin sebagai penganut mazhab
Sjafii adalah tharikat Syattariyah, yang dinamakan juga tharikat Ulakan
atau “martabat yang tujuh”.
Martabat yang tujuh adalah mengenai ketujuh tahap pancaran dari “ada
yang mutlak”, bersumber dari ajaran al Halaj, Ibnu Arabi. Menurut ajaran
ini semua yang di alam merupakan pancaran dari Allah. Pikiran ini
dikembangkan dari ajaran Wihdatul wujud, bersatu dengan Tuhan. Penganjur
faham wihdatul wujud di Aceh adalah Syamsuddin Pasai al Sumatrani dan
Hamzah Fansuri. Menurut Syamsuddin al Sumatrani, bahwa Allah itu roh,
dan wujud kita ini roh dan wujud Tuhan.
Sedangkan Hamzah Fansuri mengatakan bahwa asal roh itu qadin, yakni roh
Muhammad s.a.w. karena ia dijadikan Allah dari pada nur zatnya yang
qadin. Man ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa rabbahu (siapa yang mengenal
dirinya, berarti mengenal Tuhannya), yang oleh Hamzah Fansuri diartikan
bahwa manusia bersatu dengan Tuhan, bersatu sifat dengan zat.
Adapun ajaran tharikat Syattariyah mempunyai ciri-ciri khusus, antara lain:
a. tentang lafadz bahasa Arab dari pada imam dan upacara-upacara berdasarkan bahasa Arab yang kuno dan kurang murni.
b. Permulaan dan akhir puasa dilaksanakan semata-mata atas rukyah, dalam arti dapat dilihat dengan mata adanya bulan.
Pengaruh tharikat ini masih dapat disaksikan sekarang lewat “basapa” ke
makam Syekh Burhanuddin di Ulakan. Dalam komplek makam tersebut,
pengikutnya melakukan ratib semalam suntuk. Dalam ajaran tharikat,
pendekatan dan penghormatan kepada guru diutamakan sekali. Jalan pikiran
manusia dalam ajaran tharikat turut mempengaruhi akan peningkatan
amalannya melalui makrifat (ilmu) dan hakikat (kebenaran sejati =
Tuhan).
Untuk memperoleh makrifat, perlu guru atau khalipah. Tanpa guru,
makrifat tidak akan berhasil mencapai hakikat. Fungsi guru di sini
adalah sebagai perantara (rabuthah). Guru menjadi komponen utama dalam
menghubungkan seseorang dengan Tuhannya (hakikat), karenanya doa guru
perlu disebut. Menyebut nama guru ialah memudahkan doa diperkenankan.
Proses pencapaian hakikat yang telah diajarkan guru menuntut
penghormatan kepada guru, sehingga setelah meninggal jasa guru perlu
diingat dalam bentuk ziarah ke makamnya. Dalam pikiran si murid, ulama
dan guru tharikat dianggap mempunyai kelebihan yang luar biasa hingga
dianggap keramat.
Tanah dan tempat-tempat yang pernah dipakai oleh ulama tersebut perlu dihormat dan dikunjungi.
Banyak di antara murid-murid Syekh Burhanuddin yang mengembangkan ajaran
tharikat ini di Minangkabau. Salah seorang murid yang terkenal ialah
Tuanku Mansiang di Paninjauan.
Setelah Syekh Burhanuddin wafat, banyak pula orang yang berguru kepada
Tuanku Mansiang ini. Perkembangan kemudian cepat berubah sesuai dengan
perkembangan pedalaman Minangkabau, Murid-murid Tuanku Mansiang ini
mendirikan surau-surau di kampungnya dalam mengembangkan keahliannya
masing-masing.
Pada pertengahan kedua abad ke-18 terjadi perkembangan ilmu pengetahuan,
politik dan lahirnya cendekiawan sebagai salah satu unsur kepemimpinan
tali Tigo Sapilin.
Sejalan dengan itu lahir pula pembaharuan pemikiran agama Gerakan
“kembali ke syariat” yang lebih dikenal dengan sebutan Gerakan Padri
(1784 – 1821) untuk mengatasi kemajuan kehidupan masyarakat pada
masanya.
Semuanya hasil pendidikan surau Syekh Burhanuddin di Tanjung Medan, Ulakan.
AJARAN TARIKAT
DI MINANGKABAU
Pada awal perkembangan Islam lahir suatu kelompok persaudaraan
(tarikat) sebagai suatu cara mendekatkan diri kepada Allah. Tarikat
adalah cabang ilmu agama yang disampaikan filosof Islam. Penganutnya
yang taat disebut sufi. Seorang sufi menuntut ilmu agama bertahun-tahun
yang diajarkan seorang guru.
Pada masa itu, tarikat dan surau dapat menyesuaikan diri dengan lembaga
yang ada di Minangkabau, tanpa menimbulkan pertentangan. Pesantren
(surau) lahir dan diterima seluruh masyarakat sebagai tambahan lembaga
kehidupan di desa. Kelompok tarikat mahir menanggapi situasi dan lebih
menekan ajaran pada usaha ketentraman batin sebagai hamba Allah. Latihan
kejiwaan dan zikir diselenggarakan untuk mengingat Allah sehingga
terpelihara kesinambungan kehidupan di desa.
Pada abad ke-18, di Minangkabau terdapat tiga kelompok tarikat:
Naqsyabandiyah, Syattariyah dan Kadiriyah. Ciri ketiga kelompok itu
sama, yaitu kepatuhan sepenuhnya yang dituntut dari seorang murid kepada
gurunya.
Di tempat belajar, mereka mengenal ajaran Islam, disiplin dan latihan yang diterapkan masing-masing guru.
Guru dan guru tuo (guru pembantu) mengajar membaca Qur’an, tafsir dan
kaedah agama serta praktek lainnya untuk mencari keridhaan Allah dengan
tertib. Pada sore hari para santri berkumpul sambil melaksanakan zikir
dengan menyebut asma Allah.
Organisasi sekelompok surau, kadang-kadang terdiri dari 20 bangunan yang
ditempati santri dari berbagai daerah. Setiap surau berada di bawah
pengawasan seorang guru tuo. Murid-murid harus ikut membantu guru
bekerja di kebun atau sawahnya. Pada masa sibuk bertani, belajar sering
terganggu. Di samping itu, murid menanam pisang atau buah-buahan di
sekitar surau mereka. Kehidupan mereka tergantung dari hasil pertanian
yang dijual ke pasar setiap minggu. Surau-surau besar, biasanya berdiri
di desa-desa pusat perbelanjaan, yang disebut pakan.
Seorang murid harus berpegang teguh pada kepatuhan diri kepada guru.
Kepatuhan ini merupakan dasar sebelum melangkah mempelajari ajaran
Islam.
Pengajaran dasar bagi seorang muslim ialah membaca Al Qur’an yang lebih
menekankan pada tajwid, bunyi (fonem) yang benar menurut tata bahasa
Arab. Sebelum memperdalam kitab suci Al Qur’an, mereka harus pula
mempelajari nahu sharaf, tata bahasa Arab.
Bagi yang mendapat kesulitan mempelajarinya, dapat beralih mempelajari hukum Islam, syariat. Kajian syariat disebut fikih.
Buku fikih yang dipakai di semua surau tarikat umumnya sama yaitu
mengajarkan tiang Islam, arkanul khamsah, yang digolongkan ke dalam
ibadah sebagai dasar kewajiban seorang muslim. Kemudian diikuti dengan
bimbingan berperilaku yang benar. Lanjutannya ialah mempelajari hukum
yang berkaitan dengan pengendalian hubungan sesama manusia, seperti
hukum warisan, dan lain-lain.
Surau-surau yang memperdalam kajian pokok tentang hukum tersebut umumnya
menjadi surau yang mempunyai nama baik di Minangkabau. Surau-surau
Naksyah-bandiyah umumnya terletak di desa-desa persimpangan jalan
perniagaan atau desa-desa pertanian yang makmur.
Guru-guru tarikat bekerja sebagai petani untuk nafkahnya sehari-hari.
Sebagai guru, ia harus pula menyiapkan suatu buku fikih dan doa-doa
upacara dalam bahasa Melayu berdasarkan sumber-sumber dari bahasa arab.
Tarikat Syattariyah lebih banyak dikenal pada akhir abad ke-18, yang
diperkenalkan di Sumatera oleh Abdur Rauf dari Singkil, Aceh
(1605-1693). Salah seorang muridnya bergelar Syekh Burhanuddin,
membawanya ke Ulakan pada bagian ke dua abad ke-17. Dari Ulakan, tarikat
itu bersebar melalui jalur perdagangan sampai ke Paninjauan dan
Pamansiangan, kemudian ke Koto Tuo, di daerah Agam bagian selatan yang
kaya dengan sawah.
Di sebelah barat Koto Tuo berdiri surau-surau tarikat yang banyak
menghasilkan ulama. Daerah ini dikenal dengan nama Ampek Angkek berasal
dari nama empat orang guru yang terpuji kemasyhurannya dalam tarikat
Syattariyah.
Murid-murid di surau Syattariyah mempelajari rangkaian pengetahuan
Islam. Salah satu buku yang pedoman dalam kajian Syattariyah adalah
karya Abdul Rauf.
Surau- surau lain di pedalaman Minangkabau memperdalam suatu cabang ilmu
agama tertentu, sehingga terdapat spesialisasi pengajaran.
Tuanku di Kamang tempat memperdalam ilmu alat, nahu shraf, tata bahasa
Arab; Koto Gadang dan Rao (Pasaman) dalam ilmu mantik maani, ilmu logika
Islam; Tuanku di Koto Tuo dalam ilmu tafsir Qur’an, tarbiyah,
pendidikan; Tuanku di Sumanik dalam ilmu hadith, tafsir dan faraidh
(ilmu warisan); Tuanku di Talang (Solok) dalam ilmu sharaf, dan Tuanku
Salayo dalam badi’, maani dan bayan.
Seorang santri dapat pula memperdalam ilmu kepada guru lainnya. Dengan
demikian, terjadi mobilitasi sosial yang tinggi di Minangkabau.
Pada tahun 1803, terjadi suatu peristiwa yang kelak membawa akibat yang lebih jauh.
Sabtu, 16 Mei 2015
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
coba belajar dari awal