Assalamualaikum wr.wb
عن ا بن عمر ان النبي صلي الله عليه و سلم عا مل اهل خيبر بشرط ما يخرج منهامن ثمراوزرع .روا مسلم.
Dari Ibnu Umar, “sesungguhnya nabi Saw telah memberikan kebun beliau kepada penduduk Khaibar, agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilannya, baik dari buah-buahan ataupun hasil pertahun (palawija)” (Riwayat Muslim)
A. Al-Muzar’ah
1. Pengertian al-Muzara’ah
Al-Muzara’ah adalah
kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, dimana
pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan
dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (persentase) dari hasil panen.
Al-Muzara’ah
seringkali diidentik dengan mukhabarah. Diantara
keduanya terdapat sedikit perbedaan sebagai berikut :Muzara’ah : benih dari
pemilik lahan
Mukhabarah : benih dari penggrap
Mukhabarah : benih dari penggrap
2. Landasan Syari’ah
a. Al-Hadits
Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw. pernah
memberikan tanah Khaibar kepada penduduknya (waktu itu mereka masih yahudi)
untuk digarap dengan imbalan pem-bagian hasil buah-buahan dan tanaman.
Diriwayatkan oleh Bukhari dari Jabir yang mengatakan
bahwa bangsa Arab senantiasa mengolah tanahnya secara muzara’ah dengan rasio
bagi hasil 1/3:2/3, 1/4:3/4, 1/2:1/2, maka Rasulullah pun bersabda, “hendaklah
menanami atau menyerahkannya untuk digarap. Barang
siapa tidak melakukan salah satu dari keduanya, tahanlah tanahnya.”
b. Ijma
b. Ijma
Bukhari mengatakan bahwa telah berkata Abu Jafar, “Tidak
ada satu rumah pun di Madinah kecuali penghuninya mengolah tanah secara
muzara’ah dengan pembagian hasil 1/3 dan 1/4. Hal ini telah dilakukan oleh
sayyidina Ali, Sa’ad bin Abi Waqash, Ibnu Mas’ud, Umar bin Abdul Azis, Qasim, Urwah,
keluarga Abu Bakar, dan keluarga Ali.”
c. Penjelasan
c. Penjelasan
Dalam konteks ini, lembaga keuangan Islam dapat
memberikan pembiyaan bagi nasabah yang bergerak dalam bidang plantation atas
dasar prinsip bagi hasil dari hasil panen.
3.Rukun Muzara’ah
Rukun Muzara’ah terdiri dari 3 unsur yaitu:
a. Pemilik lahan.
b. Petani penggarap.
c. Objek akad
d. Ijab dan Kabul
4. Berahirnya akad Muzara’ah
a. Jangka wakatu yang disepakati berakhir.
b. Apabila salah seorang yang berakad wafat.
c. Adanya uzur salah satu pihak, baik dari pihak pemilik
lahan maupum dari pihak petani yang menyebabkan mereka tidak bisa melanjutkan
akad muzara’ah tersebut.
Dari Nafi’ bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma
memberitahukan kepadanya:
عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ.
عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ.
“Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh
penduduk Khaibar untuk menggarap tanah di Khaibar dan mereka mendapat setengah
dari hasil buminya berupa buah atau hasil pertanian.”
Dalil
diberbolehkannya muzara’ah adalah:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ بِشَطْرٍ عَلَى مَا يَخْرُجُ مِنْهَا
مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ
“Dari Ibnu Umar
rahuma bahwasanya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah
memperkerjakan penduduk khoibar dengan memperoleh setengah dari hasilnya berupa
buah dan tanaman.”
Berkata Syaikh Abdullah Al-Bassam dalam menyebutkan
pelajaran yang dapat diambil dari hadits diatas:
1. Bolehnya muzara’ah dan Musaqat
dengan bagian dari apa yang tumbuh dari tanah tersebut baik berupa tanaman dan
buah.
2. Dari zhahir hadits, tidak
disaratkan benih dari pemilik tanah, dan ini adalah yang benar.
Jadi muzara’ah adalah diperbolehkan dengan dalil-dalil yang ada dan
diamalkan oleh salafush shalih.
Berkata Imam Bukhari rohimahulloh: berkata Qais bin
Muslim dari Abu Ja’far, dia berkata: “Tidaklah di Madinah kaum Anshar melainkan
mereka menanam dengan bagian sepertiga atau seperempat. Dan adalah Ali, Sa’ad
bin Malik, Abdullah bin Mas’ud, Umar bin Abdul Aziz, Qasim, Urwah,
keluarga Abu Bakar, keluarga Umar, keluarga Ali dan Ibnu Sirin, mereka
melakukan muzara’ah.
Mengenai benih tanaman bisa dari pemilik tanah maka ini dinamakan
muzara’ah, dan boleh benih berasal dari penggarap dan ini disebut mukhabarah.
Berkata Syaikh Abdul Adhim Al-Badawi: “Tidak mengapa
benih berasal dari pemilik tanah atau dari penggarap tanah ataupun dari
keduanya, dalilnya; berkata Imam Bukhari rohimahulloh: Umar ra
memperkerjakan orang-orang, jika benih dari Umar maka bagiannya setengah, dan
jika benih berasal dari mereka maka bagian mereka adalah seperti itu
(setengah). Dia juga berkata: telah berkata Hasan: “Tidak mengapa jika tanah
itu milik salah satu dari keduanya, kemudian diusahakan bersama maka apa yang
keluar (tumbuh) untuk keduanya, dan Az-zuhri berpendapat demikian.
1. Masa muzara’ah harus
ditentukan misalnya satu tahun.
2. Bagian yang disepakati dari ukurannya harus diketahui,
misalnya setengah, sepertiga atau seperempatnya, dan harus mencakup apa saja
yang dihasilkan tanah tersebut. Jika pemilik tanah berkata kepada penggarapnya:
“Engkau berhak atas apa yang tumbuh ditempat ini dan tidak ditempat yang
lainnya.” Maka hal ini tidak sah.
3. Jika pemilik tanah mensyaratkan mengambil bibit
sebelum dibagi hasilnya kemudian sisanya dibagi antara pemilik tanah dan
penggarap tanah sesuai dengan syarat pembaginnya maka muzara’ah tidak sah.
Seorang muslim yang mempunyai kelebihan tanah, disunnahkan memberikan
kepada saudaranya tanpa konpensasi apapun, karena Rosululloh shollallohu
‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَتْ
لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعُهَا فَإِنْ لَمْ يَزْرَعْهَا فَلْيَزْرَعْهَا أَخَاهُ
“Barang siapa yang mempunyai tanah, hendaklah ia menanaminya atau hendaklah
ia menyuruh saudaranya untuk menanaminya.”
Juga sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam:
أَنْ يَمْنَحَ
أَحَدُكُمْ أَخَاهُ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَأْخُذَ شَيْئًا مَعْلُوْمًا
“Jika salah seorang kalian memberi kepada saudaranya itu lebih baik baginya
daripada ia mengambil imbalan tertentu.”
Yang tidak bolehkan dalam muzara’ah:
Dalam penggarapan tanah tidak boleh adanya unsur-unsur yang tidak jelas
seperti pemilik tanah mendapat bagian tanaman dari tanah sebelah sini, dan
penggarap mendapat bagian tanaman dari tanah sebelah sana. Hal ini dikatakan
tidak jelas karena hasilnya belum ada, bisa jadi bagian tanaman dari tanah
sebelah sini yaitu untuk pemilik tanah bagus dan bagian tanaman penggarap gagal
panen ataupun sebaliknya. Dan bila keadaan ini yang terjadi maka terjadi salah
satu pihak dirugikan. Padahal muzara’ah termasuk dari kerjasama yang harus
menanggung keuntungan maupun kerugian bersama-sama.
Ataupun bisa terjadi pemilik tanah memilih bagiannya dari tanah yang dekat
dengan saluran air, tanah yang subur, sementara yang penggarap mendapat
sisanya. Inipun tidak diperbolehkan karena mengandung ketidakadilan, kezhaliman
dan ketidakjelasan. Tetapi dalam dalam muzaraah harus disepakati pembagian dari
hasil tanah tersebut secara keseluruhan. Misalnya pemilik tanah mendapatkan
bagian separuh dari hasil tanah dan penggarap mendapat setengah bagian juga,
kemudian setelah ditanami dan dipanen ternyata rugi maka hasilnya dibagi dua,
begitu juga bila hasilnya untung maka harus dibagi dua. Dan pada kasus ini ada
kejelasan pembagian hasil, dan ini diperbolehkan.
Berkata Syaikh Abdul Azhim Al Badawi: “Dan tidak
boleh muzaraah dengan syarat sebidang tanah ini untuk pemilik tanah dan
sebidang tanah yang ini untuk penggarap. Sebagaimana tidak boleh pemilik tanah
berkata bagianku dari tanah ini adalah sejumlah berapa wasak.
عَنْ حَنْظَلَةَ بْنِ قَيْسٍ عن
رَافِعِ بْنِ خَدِيْجٍ قَالَ: حَدَثَنِّيْ عَمَّايَ أَنَّهُمْ كَانُوْا يَكْرُوْنَ
الأَرْضَ عَلَى عَهْدِ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بِمَا يَنْبُتُ
عَلَى الأَرْبِعَاءِ أَوْ شَيْءٍ يَسْتَثْنِيْهِ صَاحِبُ الأَرْضِ, فَنَهَى
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ. فَقُلْتُ لِرَافِعٍ:
فَكَيْفَ هِيَ بِالدِّيْنَرِ وَ الدِّرْهَمِ؟ فَقَالَ رَافِعٌ: لَيْسَ بِهَا
بَأْسَ بِالدِّيْنَرِ وَ الدِّرْهَمِ
“Dari
Hanzhalah bin Qais dari Rafi’ bin Khadij, dia berkata, pamanku telah
menceritakan kepadaku bahwasanya mereka menyewakan tanah pada zaman Nabi r
dengan apa yang tumbuh dari saluran-saluran air atau sesuatu yang telah
dikecualikan pemilik tanah, kemudian Nabi shollallohu ,’alaihi wa sallam
melarang hal itu. Aku bertanya kepada Rafi’, bagaimana bila dengan dinar dan
dirham?, maka Rafi’ menjawab, tidak mengapa menyewa tanah dengan dinar dan
dirham.
عَنْ حَنْظَلَةَ بْنِ قَيْسٍ
قَالَ: سَأَلْتُ رَافِعَ بْنَ خَدِيْجٍ عَنْ كِرَاءِ الأَرْضِ بِالذَّهَبِ وَ
الْوَرِقِ, فَقَالَ: لاَ بَأْسَ بِهِ, إِنَّمَا كَانَ النَّاسُ يُؤَاجِرُوْنَ
عَلَى عَهْدِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بِمَا عَلَى الْمَاذِيَانَاتِ
وَ أَقْبَالِ الْجَدَاوِلِ, وَ أَشْيَاءَ مِنَ الزَّرْعِ, فَيَهْلِكُ هَذَا وَ
يَسْلَمُ هَذَا, وَ يَسْلَمُ هَذَا وَ يَهْلِكُ هَذَا, وَ لَمْ يَكُنْ لِلنَّاسِ
كِرَاءٌ إِلاَّ هَذَا, فَلِذَلِكَ زَجَرَ عَنْهُ, فَأَمَّا شَيْءٌ مَعْلُوْمٌ
مَضْمُوْنٌ فَلاَ بَأْسَ بِهِ.
”Dari Hanzhalah bin Qais, dia berkata, aku bertanya kepada Rafi’ bin Khadij
mengenai penyewaan tanah dengan emas dan perak, kemudian dia menjawab, tidak
apa-apa. Sesungguhnya orang-orang pada zaman Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam
menyewakan tanah dengan imbalan apa yang tumbuh di saluran air dan parit, dan
berupa aneka tanaman. Kemudian terkadang tanaman ini rusak dan itu selamat,
terkadang juga tanaman ini selamat dan tanaman itu rusak, sedangkan orang-orang
tidak mempunyai sewaan kecuali itu, oleh karena itu Rasululloh shollallohu
‘alaihi wa sallam melarangnya. Adapun sesutu (imbalan) yang jelas diketahui dan
terjamin maka tidak apa-apa.
Dari dua hadits yang ada menggunakan lafadz menyewakan tanah namun
menyewakan tanah yang dilarang pada hadits tersebut adalah muzaraah (menggarap
tanah), karena imbalan yang disepakati adalah dari hasil tanah tersebut dan ini
dinamakan muzaraah. Sedangkan apabila imbalannya berupa emas, perak, uang
ataupun selain dari hasil tanah tersebut maka ini disebut penyewaan tanah.
Pelarangan muzaraah pada hadits di atas juga tidak secara mutlak, karena
sebenarnya muzaraah diperbolehkan sebab nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam
sendiri mengamalkan muzaraah dan juga salafus shalih. Namun pelarang muzaraah
pada hadits di atas karena tidak adanya pembagian hasil yang jelas. Maka
haruslah bagi orang yang akan melakukan akad muzaraah harus menentukan
pembagian hasil tanah dengan jelas seperti menentukan separuh, sepertiga atau
seperempat dari hasil tanaman yang dihasilkan untuk penggarap dan untuk pemilik
tanah karena muzaraah adalah kerja sama (persekutuan), dan yang namanya kerja
sama keuntungan dan kerugian harus ditanggung bersama.
B. Musaqah
1. Pengertian Musaqah
Musaqah adalah pemilik kebun
yang memberikan kebunnya kepada tukang kebun agar dipeliharanya, dan
penghasilan yang didapat dari kebun itu dibagi antara keduanya, menurut perjanjian
keduanya diwaktu akad .
عن ا بن عمر ان النبي صلي الله عليه و سلم عا مل اهل خيبر بشرط ما يخرج منهامن ثمراوزرع .روا مسلم.
Dari Ibnu Umar, “sesungguhnya nabi Saw telah memberikan kebun beliau kepada penduduk Khaibar, agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilannya, baik dari buah-buahan ataupun hasil pertahun (palawija)” (Riwayat Muslim)
2.Hukum Musaqah
Hukum
musaqah adalah mubah (boleh). Adapun jika niat mengikuti Rasulullah maka
hukumnya sunah. Sebab hadis tersebut diatas adalah teladan konkrit mengenai
cara-cara kerjasama yang baik antara yang punya kebun dengan petani penggarap.
3.Rukun musaqah
1.Pemilik dan penggarap kebun.Baik pemilik kebun maupun
tukang kebun (yang mengerjakan) keduanya hendaklah orang yang sama-sama berhak
ber-tasarruf (membelanjakan) harta keduanya.
2. Pekerjaan dengan
ketentuan yang jelas baik waktu, jenis, dan sifatnya. Pekerjaan hendaklah
ditentukan masanya, misalnya satu tahun, dua tahun atau lebih.
Sekurang-kurangnya kira-kira menurut kebiasaan dalam masa itu kebun sudah bisa
berbuah. Pekerjaan yang wajib dikerjakan oleh tukang kebun ialah semua
pekerjaan yang bersangkutan dengan penjagaan kerusakan dan pekerjaan (perawatan
yang berfaedah) untuk buah seperti menyiram, merumput, dan mengawinkannya.
3.Hasil yang diperoleh
berupa buah, daun, kayu, atau yang lainnya. Buah,
hendaknya ditentukan bagian masing-masing (yang punya kebun dan tukang kebun)
misalnya seperdua, sepertiga, atau berapa saja asal berdasarkan kesepakatan
keduanya pada waktu akad.
4. Akad, yaitu ijab
qabul baik berbentuk perkataan maupun tulisan .
4. Hikmah Musaqah
Jika ada orang kaya memiliki sebidang kebun yang
didalamnya terdapat pepohonan seperti kurma dan anggur, dan orang tersebut
tidak mampu mengairi atau merawat pohon-pohon kurma dan anggur tersebut karena
adanya suatu halangan, maka syari’ yang bijaksana (Allah) memperbolehkannya
untuk melakukan suatu akad dengan seseorang yang mau mengairi dan merawat
pohon-pohon tersebut. Dan bagi masing-masing keduanya mendapatkan bagian dari
hasilnya.
C. Mukhabarah
a. Pengertian Mukhabarah
a. Pengertian Mukhabarah
Mukhabarah adalah paroan sawah atau ladang seperdua,
sepertiga, atau lebih, atau kurang, sedangkan benihnya dari yang punya tanah .Perbedaan
antara muzara’ah dan mukhabarah hanya terletak pada benih tanaman. Jika
muzara’ah benih tanaman berasal dari petani, maka dalam mukhabarah benih
tanaman berasal dari yang punya sawah/ladang. Pada umumnya kerjasama mukhabarah
ini dilakukan pada tanaman yang benihnya cukup mahal, seperti cengkeh, pala,
vanili, dan lain-lain. Namun tidak tertutup kemungkinan pada tanaman yang
benihnya relatif murah pun dilakukan kerjasama mukhabarah .
b.
Hukum Mukhabarah
Sebagian
ulama melarang paroan tanah semacam ini. Mereka beralasan pada beberapa hadis
yang melarang paroan tersebut . Hal itu ada dalam kitab hadis Bukhari dan
Muslim diantaranya:
عن رافع بن خديج قل كنا اكثرالا نصارحقلا فكنا نكري لارض علي ان لنا هذه ولهم هذه فربما اخرجت هذه ولم تخرج هذه فنها نا عن ذلك .رواه البخاري.
عن رافع بن خديج قل كنا اكثرالا نصارحقلا فكنا نكري لارض علي ان لنا هذه ولهم هذه فربما اخرجت هذه ولم تخرج هذه فنها نا عن ذلك .رواه البخاري.
Rafi’ bin Khadij berkata “diantara Ansar yang paling
banyak mempunyai tanah adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk
kami, dan sebagian untuk mereka yang mengerjakannya. Kadang-kadang sebagian
tanah itu berhasil baik, dan yang lain tidak berhasil, oleh karena itu
Rasulullah Saw melarang paroan dengan cara demikian.” (Riwayat Bukhari).
3. Hikmah Muzara’ah dan Mukhabarah
Ketahuilah bahwa banyak sekali orang yang memiliki
binatang ternak atau hewan pembajak dan mempunyai kemampuan untuk menggarap
tanah atau menghasilkannya, tetepi ia tidak memiliki tanah. Juga banyak sekali
orang yang mempunyai tanah yang layak untuk ditanami, tetapi mereka tidak
mempunyai hewan pembajak dan tidak mampu untuk menggarap tanah. Apabila
kedua orang tersebut saling melakukan perjanjian dalam sebuah kerja sama,
dimana yang satu memberikan tanah dan benih, dan yang satunya lagi memberikan
tenaganya atau hewannya untuk menggarap tanah, kemudian masing-masing keduanya
mendapatkan bagian dari hasil tanah tersebut, maka sesungguhnya hal tersebut
sangat berarti.
Adapun
ketentuan-ketentuan yang yang harus di penuhi dalam Muzara’ah dan Mukhabarah
adalah sebagai berikut :
·
Pemilik dan
penggarap harus sudah balig, berakal sehat, dan bersikap jujur.
·
Sawah dan
ladang yang di garap betul-betul milik orang yang menyerahkan sawah atau
ladangnya untuk di garap.
·
Hendaknya di
tentukan lamanya masa penggarapan.
·
Besarnya
paruhan hasil sawah/ladang untuk pemilik dan penggarap di tentukan berdasarkan
musyawarah antara keduanya yang di liputi oleh masa keadilan dan
kekeluargaan.
·
Pemilik dan
penggarap hendaknya menaatii ketentuan-ketentuan yang telah mereka sepakati
bersama.
D. IHYA AL-MAWAT (MENGHIDUPKAN TANAH KOSONG)
1. Pengertian Ihya’ Al-Mawat
Kata ihya’
al-mawat terdiri dari dua kata yaitu ihya’ menghidupkan dan al-mawat
sesuatu yang mati, yang berarti ihya’ al-mawat menurut bahasa diartikan
menghidupkan sesuatu yang mati. Menurut Abu Bakar Ibn Khusen al-Kasynawi al-mawat
itu adalah tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak ada yang
memanfaatkannya.Al-Rafi’i mendefinisikan al-mawat dengan tanah yang
tidak ada pemiliknya dan tidak ada yang memanfaatkannya seorangpun.
Menurut Syekh
Muhammad yang dimaksud dengan tanah mati ialah tanah yang tidak ada pemiliknya
dan belum ada seorang pun yang mengambil manfaat bumi tersebut. Ibn Qudamah
mendefinisikan al-mawat dengan tanah rusak dan tidak diketahui siapa
pemiliknya. Hasbullah Bakry berpendapat ihya’ al-mawat
Hukum Ihya’ al-Mawat Adapun yang
mendasari konsep ihya al-mawat adalah hadis-hadis Rosulullah saw.
Hadis-hadis tersebut sebagai berikut :
Rasulullah saw. Bersabda
من عمر أر ضا
ليست لأ حد فهو أ حق بها (رواه البخا ري)
Artinya : “barang siapa yang
membangun sebidang tanah yang bukan hak seseorang, maka dialah yang berhak atas
tanh itu”. (HR.Imam al-Bukhari).
Rasulullah saw. Bersabda :
من احيا ارضا
ميتة فهي له (رواه ابو داود والتر مدى)
Artinya : “barang siapa yang
membuka tanah yang kosong, maka tanah itu akan menjadi miliknya”. (HR.Ahmad dan
Imam at-Tirmidzi).
Dengan adanya hadis-hadis
tersebut di atas, para ulama berpendapat bahwa hukum ihya al-mawat adalah
mubah, bahkan ada yang mengatakan sunah. Yang jelas hadis-hadis tersebut
memotivasiumat Islam untuk menjadikan lahankosong menjadi lahan produktif,
sehingga karunia yang diturunkan oleh Allah swt, dapat dimanfaatkan semaksimal
mungkin untuk kepentingan dan kemaslahatan umat manusia.
2.Cara-cara Ihya al-Mawat
Cara-cara
pengelolaan ihya al-Mawat secara rinci sebagai berikut :
i. Menyuburkan. Cara ini digunakan untuk lahan yang gersang, yakni
lahan yang yang tanamannya sulit tumbuh. Maka pada lahan seperti ini perlu
diberi pupuk, baik pupuk organik maupun pupuk non-organik, sehingga lahan itu
menjadi subur dan dapat ditanami dan selanjutnya mendatangkan hasil yang sesuai
dengan yang diharapkan.
ii. Menanam pohon. Cara ini dilakukan untik lahan-lahan yang relatif
subur tapi belum terolah. Sebagai tanda tanah itu telah dikuasai atau ada yang
memiliki, perlu diberikan tanda dengan menanam tanaman-tanaman yang produktif
seperti : tanaman untuk makanan pokok atau perkebunan tanaman keras, seperti :
pohon jati, pohon karet, dan pohon kopi.
iii. Membuat pagar. Hal ini dilakukan untuk menandai lahan kosong yang
luas, sehingga orang lain mengetahui bahwa tanah itu telah dikasai oleh seseorang.
iv. Menggali parit, yaitu membuat parit di sekelilingi kebun yang
dikuasainya, dengan maksud supaya orang lain mengetahui bahwa tanah tersebut
sudah ada yang menguasai, sehingga menutup jalan bagi orang lain yang
menguasainya.
3.Syarat-syarat ihya al-mawat
Adapun syarat-syarat ihya’
al-mawat mencakup: 1) orang yang menggarap; 2) tanah yang akan
digarap; dan 3) proses penggarapannya. Menurut madzhab Maliki, orang yang akan
menggarap tanah tersebut tidak disyaratkan seorang muslim. Mereka menyatakan
tidak ada bedanya antara muslim dan non muslim dalam menggarap sebidang tanah
kosong. Hal ini sejalan dengan keumuman sabda Rasulullah SAW sebagaimana telah
disebutkan di atas. Kemudian mereka menyatakan bahwa ihya’ al-mawat merupakan
salah satu cara pemilikan tanah. Karenanya tidak perlu dibedakan antara muslim
dan non muslim.
Terhadap syarat yang terkait
dengan proses penggarapan tanah, menurut madzhab Maliki, jika tanah tersebut
dekat dengan pemukiman, maka untuk menggarapnya harus mendapat izin dari
pemerintah. Tetapi jika letaknya jauh dari pemukiman, maka tidak perlu izin
pemerintah.
4. Temuan dalam Tanah Baru
Menurut Hendi
Suhendi bahwa seseorang yang telah memilki tanah atau lahan dibolehkan
mengelola dan memanfaatkannya sesuai dengan kehendaknya, dan yang terpenting
tidak mengganggu milik orang lain dan menghalangi hak-hak sosial. Batas-batas
lahan atau tanah harus ditandai dengan jelas seperti ditandai pohon-pohon,
pagar, tiang beton dan lain sejenisnya, yang terpenting dapat menunjukkan
batas-batas tanah miliknya secara jelas. Hal ini dilakukan untuk menghindari
perselisihan kepemilkan hak dengan orang lain.
Dalam salah
satu hadist yang terkait dengan ihya al-mawat Rasulullah SAW bersabda :
قا ل رسول الله صلى عليه وسلم لا ضرر ولا ضرار (رواه احمد وابن ما جه)
Artinya : “Seseorang
tidak boleh menyusahkan dan tidak boleh disusahakan (HR.Ahmad dan Ibnu Majah).
Idris Ahmad berpendapat, bahwa
barang siapa yang menghidupkan tanah mati, kemudian dari tanah tersebut
memunculkan benda-benda yang tersembunyi (seperti barang-barang berhaga
atau barang tambang), maka benda-benda itu menjadi miliknya, sedangkan air,
rumput dan api/kayu bakar tetap menjadi milik masyarakat karena mengandung
nilai-nilai sosial