Info




SELAMAT DATANG DI WEB Haris Gudang Ilmu



Selamat datang di Web Side saya , saya harap anda senang berada di Web sederhana ini. Web ini saya tulis dengan komputer yang sederhana dan koneksi internet yang juga sederhana. Saya berharap Anda sering datang kembali. Silahkan anda mencari hal-hal yang baru di blog saya ini. Terima Kasih



SEKILAS HARIS GUDANG ILMU



Nama saya Mohammad Haris saya seorang yang mempunyai Web Side ini . Saya mulai belajar blogger sejak bulan Oktober 2009, dan blog ini saya buat pada bulan January 2009. Terimakasih Atas Kunjungannya.Follow Grup saya di https://www.facebook.com/harisgudangilmu?ref=hl







Exit
Jangan Lupa Klik Like Ya

Social Icons

My Biodata Admin



Nama:Muhammad Haris Yuliandra
Angkatan Ke 2 Anak Didikan Dari
Sekolah SMK Negri 1 Kutalimbaru
Sudah Tamat

Selamat Bergabung Di Blog Saya






selamat berkujung di blog saya semoga apa yang saya berikan kepada anda semoga bermanfaat

Tampilkan postingan dengan label al-Musaqah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label al-Musaqah. Tampilkan semua postingan

Rabu, 27 April 2016

Al-Muzara’ah, al-Musaqah, al-Mukhabarah dan Ihya’ al-mawat

Assalamualaikum wr.wb

A.        Al-Muzar’ah
1. Pengertian al-Muzara’ah
Al-Muzara’ah adalah kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (persentase) dari hasil panen.
Al-Muzara’ah seringkali diidentik dengan mukhabarah. Diantara keduanya terdapat sedikit perbedaan sebagai berikut :Muzara’ah : benih dari pemilik lahan
Mukhabarah : benih dari penggrap
2. Landasan Syari’ah

a. Al-Hadits
Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw. pernah memberikan tanah Khaibar kepada penduduknya (waktu itu mereka masih yahudi) untuk digarap dengan imbalan pem-bagian hasil buah-buahan dan tanaman.
Diriwayatkan oleh Bukhari dari Jabir yang mengatakan bahwa bangsa Arab senantiasa mengolah tanahnya secara muzara’ah dengan rasio bagi hasil 1/3:2/3, 1/4:3/4, 1/2:1/2, maka Rasulullah pun bersabda, “hendaklah menanami atau menyerahkannya untuk digarap. Barang siapa tidak melakukan salah satu dari keduanya, tahanlah tanahnya.”
b. Ijma
Bukhari mengatakan bahwa telah berkata Abu Jafar, “Tidak ada satu rumah pun di Madinah kecuali penghuninya mengolah tanah secara muzara’ah dengan pembagian hasil 1/3 dan 1/4. Hal ini telah dilakukan oleh sayyidina Ali, Sa’ad bin Abi Waqash, Ibnu Mas’ud, Umar bin Abdul Azis, Qasim, Urwah, keluarga Abu Bakar, dan keluarga Ali.”
c. Penjelasan
Dalam konteks ini, lembaga keuangan Islam dapat memberikan pembiyaan bagi nasabah yang bergerak dalam bidang plantation atas dasar prinsip bagi hasil dari hasil panen.
3.Rukun Muzara’ah
Rukun Muzara’ah terdiri dari 3 unsur yaitu:
a. Pemilik lahan.
b. Petani penggarap.
c. Objek akad
d. Ijab dan Kabul
4. Berahirnya akad Muzara’ah
a. Jangka wakatu yang disepakati berakhir.
b. Apabila salah seorang yang berakad wafat.
c. Adanya uzur salah satu pihak, baik dari pihak pemilik lahan maupum dari pihak petani yang menyebabkan mereka tidak bisa melanjutkan akad muzara’ah tersebut.

Dari Nafi’ bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma memberitahukan kepadanya:

عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ.
“Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh penduduk Khaibar untuk menggarap tanah di Khaibar dan mereka mendapat setengah dari hasil buminya berupa buah atau hasil pertanian.”
Dalil diberbolehkannya muzara’ah adalah:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ بِشَطْرٍ عَلَى مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ
“Dari Ibnu Umar rahuma bahwasanya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah memperkerjakan penduduk khoibar dengan memperoleh setengah dari hasilnya berupa buah dan tanaman.”
Berkata Syaikh Abdullah Al-Bassam dalam menyebutkan pelajaran yang dapat diambil dari hadits diatas:
1. Bolehnya muzara’ah dan Musaqat dengan bagian dari apa yang tumbuh dari tanah tersebut baik berupa tanaman dan buah.
2. Dari zhahir hadits, tidak disaratkan benih dari pemilik tanah, dan ini adalah yang benar.
Jadi muzara’ah adalah diperbolehkan dengan dalil-dalil yang ada dan diamalkan oleh salafush shalih.
Berkata Imam Bukhari rohimahulloh: berkata Qais bin Muslim dari Abu Ja’far, dia berkata: “Tidaklah di Madinah kaum Anshar melainkan mereka menanam dengan bagian sepertiga atau seperempat. Dan adalah Ali, Sa’ad bin Malik, Abdullah bin Mas’ud, Umar bin Abdul Aziz, Qasim, Urwah, keluarga Abu Bakar, keluarga Umar, keluarga Ali dan Ibnu Sirin, mereka melakukan muzara’ah.
Mengenai benih tanaman bisa dari pemilik tanah maka ini dinamakan muzara’ah, dan boleh benih berasal dari penggarap dan ini disebut mukhabarah. Berkata Syaikh Abdul Adhim Al-Badawi: “Tidak mengapa benih berasal dari pemilik tanah atau dari penggarap tanah ataupun dari keduanya, dalilnya; berkata Imam Bukhari rohimahulloh: Umar ra memperkerjakan orang-orang, jika benih dari Umar maka bagiannya setengah, dan jika benih berasal dari mereka maka bagian mereka adalah seperti itu (setengah). Dia juga berkata: telah berkata Hasan: “Tidak mengapa jika tanah itu milik salah satu dari keduanya, kemudian diusahakan bersama maka apa yang keluar (tumbuh) untuk keduanya, dan Az-zuhri berpendapat demikian.
Berkata Syaikh Abu Bakar Al-Jazairi: “Diantara hukum-hukum muzara’ah adalah sebagai berikut:
1. Masa muzara’ah harus ditentukan misalnya satu tahun.
2. Bagian yang disepakati dari ukurannya harus diketahui, misalnya setengah, sepertiga atau seperempatnya, dan harus mencakup apa saja yang dihasilkan tanah tersebut. Jika pemilik tanah berkata kepada penggarapnya: “Engkau berhak atas apa yang tumbuh ditempat ini dan tidak ditempat yang lainnya.” Maka hal ini tidak sah.
3. Jika pemilik tanah mensyaratkan mengambil bibit sebelum dibagi hasilnya kemudian sisanya dibagi antara pemilik tanah dan penggarap tanah sesuai dengan syarat pembaginnya maka muzara’ah tidak sah.
Seorang muslim yang mempunyai kelebihan tanah, disunnahkan memberikan kepada saudaranya tanpa konpensasi apapun, karena Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعُهَا فَإِنْ لَمْ يَزْرَعْهَا فَلْيَزْرَعْهَا أَخَاهُ
“Barang siapa yang mempunyai tanah, hendaklah ia menanaminya atau hendaklah ia menyuruh saudaranya untuk menanaminya.”
Juga sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam:
أَنْ يَمْنَحَ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَأْخُذَ شَيْئًا مَعْلُوْمًا
“Jika salah seorang kalian memberi kepada saudaranya itu lebih baik baginya daripada ia mengambil imbalan tertentu.”
Yang tidak bolehkan dalam muzara’ah:
Dalam penggarapan tanah tidak boleh adanya unsur-unsur yang tidak jelas seperti pemilik tanah mendapat bagian tanaman dari tanah sebelah sini, dan penggarap mendapat bagian tanaman dari tanah sebelah sana. Hal ini dikatakan tidak jelas karena hasilnya belum ada, bisa jadi bagian tanaman dari tanah sebelah sini yaitu untuk pemilik tanah bagus dan bagian tanaman penggarap gagal panen ataupun sebaliknya. Dan bila keadaan ini yang terjadi maka terjadi salah satu pihak dirugikan. Padahal muzara’ah termasuk dari kerjasama yang harus menanggung keuntungan maupun kerugian bersama-sama.
Ataupun bisa terjadi pemilik tanah memilih bagiannya dari tanah yang dekat dengan saluran air, tanah yang subur, sementara yang penggarap mendapat sisanya. Inipun tidak diperbolehkan karena mengandung ketidakadilan, kezhaliman dan ketidakjelasan. Tetapi dalam dalam muzaraah harus disepakati pembagian dari hasil tanah tersebut secara keseluruhan. Misalnya pemilik tanah mendapatkan bagian separuh dari hasil tanah dan penggarap mendapat setengah bagian juga, kemudian setelah ditanami dan dipanen ternyata rugi maka hasilnya dibagi dua, begitu juga bila hasilnya untung maka harus dibagi dua. Dan pada kasus ini ada kejelasan pembagian hasil, dan ini diperbolehkan.
Berkata Syaikh Abdul Azhim Al Badawi: “Dan tidak boleh muzaraah dengan syarat sebidang tanah ini untuk pemilik tanah dan sebidang tanah yang ini untuk penggarap. Sebagaimana tidak boleh pemilik tanah berkata bagianku dari tanah ini adalah sejumlah berapa wasak.
عَنْ حَنْظَلَةَ بْنِ قَيْسٍ عن رَافِعِ بْنِ خَدِيْجٍ قَالَ: حَدَثَنِّيْ عَمَّايَ أَنَّهُمْ كَانُوْا يَكْرُوْنَ الأَرْضَ عَلَى عَهْدِ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بِمَا يَنْبُتُ عَلَى الأَرْبِعَاءِ أَوْ شَيْءٍ يَسْتَثْنِيْهِ صَاحِبُ الأَرْضِ, فَنَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ. فَقُلْتُ لِرَافِعٍ: فَكَيْفَ هِيَ بِالدِّيْنَرِ وَ الدِّرْهَمِ؟ فَقَالَ رَافِعٌ: لَيْسَ بِهَا بَأْسَ بِالدِّيْنَرِ وَ الدِّرْهَمِ
“Dari Hanzhalah bin Qais dari Rafi’ bin Khadij, dia berkata, pamanku telah menceritakan kepadaku bahwasanya mereka menyewakan tanah pada zaman Nabi r dengan apa yang tumbuh dari saluran-saluran air atau sesuatu yang telah dikecualikan pemilik tanah, kemudian Nabi shollallohu ,’alaihi wa sallam melarang hal itu. Aku bertanya kepada Rafi’, bagaimana bila dengan dinar dan dirham?, maka Rafi’ menjawab, tidak mengapa menyewa tanah dengan dinar dan dirham.
عَنْ حَنْظَلَةَ بْنِ قَيْسٍ قَالَ: سَأَلْتُ رَافِعَ بْنَ خَدِيْجٍ عَنْ كِرَاءِ الأَرْضِ بِالذَّهَبِ وَ الْوَرِقِ, فَقَالَ: لاَ بَأْسَ بِهِ, إِنَّمَا كَانَ النَّاسُ يُؤَاجِرُوْنَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بِمَا عَلَى الْمَاذِيَانَاتِ وَ أَقْبَالِ الْجَدَاوِلِ, وَ أَشْيَاءَ مِنَ الزَّرْعِ, فَيَهْلِكُ هَذَا وَ يَسْلَمُ هَذَا, وَ يَسْلَمُ هَذَا وَ يَهْلِكُ هَذَا, وَ لَمْ يَكُنْ لِلنَّاسِ كِرَاءٌ إِلاَّ هَذَا, فَلِذَلِكَ زَجَرَ عَنْهُ, فَأَمَّا شَيْءٌ مَعْلُوْمٌ مَضْمُوْنٌ فَلاَ بَأْسَ بِهِ.
”Dari Hanzhalah bin Qais, dia berkata, aku bertanya kepada Rafi’ bin Khadij mengenai penyewaan tanah dengan emas dan perak, kemudian dia menjawab, tidak apa-apa. Sesungguhnya orang-orang pada zaman Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam menyewakan tanah dengan imbalan apa yang tumbuh di saluran air dan parit, dan berupa aneka tanaman. Kemudian terkadang tanaman ini rusak dan itu selamat, terkadang juga tanaman ini selamat dan tanaman itu rusak, sedangkan orang-orang tidak mempunyai sewaan kecuali itu, oleh karena itu Rasululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam melarangnya. Adapun sesutu (imbalan) yang jelas diketahui dan terjamin maka tidak apa-apa.
Dari dua hadits yang ada menggunakan lafadz menyewakan tanah namun menyewakan tanah yang dilarang pada hadits tersebut adalah muzaraah (menggarap tanah), karena imbalan yang disepakati adalah dari hasil tanah tersebut dan ini dinamakan muzaraah. Sedangkan apabila imbalannya berupa emas, perak, uang ataupun selain dari hasil tanah tersebut maka ini disebut penyewaan tanah. Pelarangan muzaraah pada hadits di atas juga tidak secara mutlak, karena sebenarnya muzaraah diperbolehkan sebab nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam sendiri mengamalkan muzaraah dan juga salafus shalih. Namun pelarang muzaraah pada hadits di atas karena tidak adanya pembagian hasil yang jelas. Maka haruslah bagi orang yang akan melakukan akad muzaraah harus menentukan pembagian hasil tanah dengan jelas seperti menentukan separuh, sepertiga atau seperempat dari hasil tanaman yang dihasilkan untuk penggarap dan untuk pemilik tanah karena muzaraah adalah kerja sama (persekutuan), dan yang namanya kerja sama keuntungan dan kerugian harus ditanggung bersama.
B.        Musaqah
1. Pengertian Musaqah
Musaqah adalah pemilik kebun yang memberikan kebunnya kepada tukang kebun agar dipeliharanya, dan penghasilan yang didapat dari kebun itu dibagi antara keduanya, menurut perjanjian keduanya diwaktu akad .

 عن ا بن عمر ان النبي صلي الله عليه و سلم عا مل اهل خيبر بشرط ما يخرج منهامن ثمراوزرع .روا مسلم.
Dari Ibnu Umar, “sesungguhnya nabi Saw telah memberikan kebun beliau kepada penduduk Khaibar, agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilannya, baik dari buah-buahan ataupun hasil pertahun (palawija)” (Riwayat Muslim)
2.Hukum Musaqah
Hukum musaqah adalah mubah (boleh). Adapun jika niat mengikuti Rasulullah maka hukumnya sunah. Sebab hadis tersebut diatas adalah teladan konkrit mengenai cara-cara kerjasama yang baik antara yang punya kebun dengan petani penggarap.
3.Rukun musaqah
1.Pemilik dan penggarap kebun.Baik pemilik kebun maupun tukang kebun (yang mengerjakan) keduanya hendaklah orang yang sama-sama berhak ber-tasarruf (membelanjakan) harta keduanya.
2. Pekerjaan dengan ketentuan yang jelas baik waktu, jenis, dan sifatnya. Pekerjaan hendaklah ditentukan masanya, misalnya satu tahun, dua tahun atau lebih. Sekurang-kurangnya kira-kira menurut kebiasaan dalam masa itu kebun sudah bisa berbuah. Pekerjaan yang wajib dikerjakan oleh tukang kebun ialah semua pekerjaan yang bersangkutan dengan penjagaan kerusakan dan pekerjaan (perawatan yang berfaedah) untuk buah seperti menyiram, merumput, dan mengawinkannya.
3.Hasil yang diperoleh berupa buah, daun, kayu, atau yang lainnya. Buah, hendaknya ditentukan bagian masing-masing (yang punya kebun dan tukang kebun) misalnya seperdua, sepertiga, atau berapa saja asal berdasarkan kesepakatan keduanya pada waktu akad.
4. Akad, yaitu ijab qabul baik berbentuk perkataan maupun tulisan .
4. Hikmah Musaqah
Jika ada orang kaya memiliki sebidang kebun yang didalamnya terdapat pepohonan seperti kurma dan anggur, dan orang tersebut tidak mampu mengairi atau merawat pohon-pohon kurma dan anggur tersebut karena adanya suatu halangan, maka syari’ yang bijaksana (Allah) memperbolehkannya untuk melakukan suatu akad dengan seseorang yang mau mengairi dan merawat pohon-pohon tersebut. Dan bagi masing-masing keduanya mendapatkan bagian dari hasilnya.
C.        Mukhabarah
a. Pengertian Mukhabarah
Mukhabarah adalah paroan sawah atau ladang seperdua, sepertiga, atau lebih, atau kurang, sedangkan benihnya dari yang punya tanah .Perbedaan antara muzara’ah dan mukhabarah hanya terletak pada benih tanaman. Jika muzara’ah benih tanaman berasal dari petani, maka dalam mukhabarah benih tanaman berasal dari yang punya sawah/ladang. Pada umumnya kerjasama mukhabarah ini dilakukan pada tanaman yang benihnya cukup mahal, seperti cengkeh, pala, vanili, dan lain-lain. Namun tidak tertutup kemungkinan pada tanaman yang benihnya relatif murah pun dilakukan kerjasama mukhabarah .
b. Hukum Mukhabarah
Sebagian ulama melarang paroan tanah semacam ini. Mereka beralasan pada beberapa hadis yang melarang paroan tersebut . Hal itu ada dalam kitab hadis Bukhari dan Muslim diantaranya:

عن رافع بن خديج قل كنا اكثرالا نصارحقلا فكنا نكري لارض علي ان لنا هذه ولهم هذه فربما اخرجت هذه ولم تخرج هذه فنها نا عن ذلك .رواه البخاري.
Rafi’ bin Khadij berkata “diantara Ansar yang paling banyak mempunyai tanah adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami, dan sebagian untuk mereka yang mengerjakannya. Kadang-kadang sebagian tanah itu berhasil baik, dan yang lain tidak berhasil, oleh karena itu Rasulullah Saw melarang paroan dengan cara demikian.” (Riwayat Bukhari).
3. Hikmah Muzara’ah dan Mukhabarah
Ketahuilah bahwa banyak sekali orang yang memiliki binatang ternak atau hewan pembajak dan mempunyai kemampuan untuk menggarap tanah atau menghasilkannya, tetepi ia tidak memiliki tanah. Juga banyak sekali orang yang mempunyai tanah yang layak untuk ditanami, tetapi mereka tidak mempunyai hewan pembajak dan tidak mampu untuk menggarap tanah. Apabila kedua orang tersebut saling melakukan perjanjian dalam sebuah kerja sama, dimana yang satu memberikan tanah dan benih, dan yang satunya lagi memberikan tenaganya atau hewannya untuk menggarap tanah, kemudian masing-masing keduanya mendapatkan bagian dari hasil tanah tersebut, maka sesungguhnya hal tersebut sangat berarti.
Adapun ketentuan-ketentuan yang yang harus di penuhi dalam Muzara’ah dan Mukhabarah adalah sebagai berikut :
·         Pemilik dan penggarap harus sudah balig, berakal sehat, dan bersikap jujur.
·         Sawah dan ladang yang di garap betul-betul milik orang yang menyerahkan sawah atau ladangnya untuk di garap.
·         Hendaknya di tentukan lamanya masa penggarapan.
·         Besarnya paruhan hasil sawah/ladang untuk pemilik dan penggarap di tentukan berdasarkan musyawarah antara keduanya yang di liputi  oleh masa keadilan dan kekeluargaan.
·         Pemilik dan penggarap hendaknya menaatii ketentuan-ketentuan yang telah mereka sepakati bersama.
D. IHYA AL-MAWAT (MENGHIDUPKAN TANAH KOSONG)
1.      Pengertian Ihya’ Al-Mawat
Kata ihya’ al-mawat terdiri dari dua kata yaitu ihya’ menghidupkan dan al-mawat sesuatu yang mati, yang berarti ihya’ al-mawat menurut bahasa diartikan menghidupkan sesuatu yang mati. Menurut Abu Bakar Ibn Khusen al-Kasynawi al-mawat itu adalah tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak ada yang memanfaatkannya.Al-Rafi’i mendefinisikan al-mawat dengan tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak ada yang memanfaatkannya seorangpun.
Menurut Syekh Muhammad yang dimaksud dengan tanah mati ialah tanah yang tidak ada pemiliknya dan belum ada seorang pun yang mengambil manfaat bumi tersebut. Ibn Qudamah mendefinisikan al-mawat dengan tanah rusak dan tidak diketahui siapa pemiliknya. Hasbullah Bakry berpendapat ihya’ al-mawat
Hukum Ihya’ al-Mawat Adapun yang mendasari konsep ihya al-mawat  adalah hadis-hadis Rosulullah saw. Hadis-hadis tersebut sebagai berikut :
Rasulullah saw. Bersabda
من عمر أر ضا ليست لأ حد فهو أ حق بها (رواه البخا ري)
Artinya : “barang siapa yang membangun sebidang tanah yang bukan hak seseorang, maka dialah yang berhak atas tanh itu”. (HR.Imam al-Bukhari).
Rasulullah saw. Bersabda :
من احيا ارضا ميتة فهي له (رواه ابو داود والتر مدى)
Artinya : “barang siapa yang membuka tanah yang kosong, maka tanah itu akan menjadi miliknya”. (HR.Ahmad dan Imam at-Tirmidzi).
Dengan adanya hadis-hadis tersebut di atas, para ulama berpendapat bahwa hukum ihya al-mawat adalah mubah, bahkan ada yang mengatakan sunah. Yang jelas hadis-hadis tersebut memotivasiumat Islam untuk menjadikan lahankosong menjadi lahan produktif, sehingga karunia yang diturunkan oleh Allah swt, dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kepentingan dan kemaslahatan umat manusia.
2.Cara-cara Ihya al-Mawat
Cara-cara pengelolaan ihya al-Mawat secara rinci sebagai berikut :
                                i.  Menyuburkan. Cara ini digunakan untuk lahan yang gersang, yakni lahan yang yang tanamannya sulit tumbuh. Maka pada lahan seperti ini perlu diberi pupuk, baik pupuk organik maupun pupuk non-organik, sehingga lahan itu menjadi subur dan dapat ditanami dan selanjutnya mendatangkan hasil yang sesuai dengan yang diharapkan.
                              ii.  Menanam pohon. Cara ini dilakukan untik lahan-lahan yang relatif subur tapi belum terolah. Sebagai tanda tanah itu telah dikuasai atau ada yang memiliki, perlu diberikan tanda dengan menanam tanaman-tanaman yang produktif seperti : tanaman untuk makanan pokok atau perkebunan tanaman keras, seperti : pohon jati, pohon karet, dan pohon kopi.
                            iii. Membuat pagar. Hal ini dilakukan untuk menandai lahan kosong yang luas, sehingga orang lain mengetahui bahwa tanah itu telah dikasai oleh seseorang.
                            iv. Menggali parit, yaitu membuat parit di sekelilingi kebun yang dikuasainya, dengan maksud supaya orang lain mengetahui bahwa tanah tersebut sudah ada yang menguasai, sehingga menutup jalan bagi orang lain yang menguasainya.
3.Syarat-syarat ihya al-mawat
Adapun syarat-syarat ihya’ al-mawat mencakup: 1) orang yang menggarap; 2) tanah yang akan digarap; dan 3) proses penggarapannya. Menurut madzhab Maliki, orang yang akan menggarap tanah tersebut tidak disyaratkan seorang muslim. Mereka menyatakan tidak ada bedanya antara muslim dan non muslim dalam menggarap sebidang tanah kosong. Hal ini sejalan dengan keumuman sabda Rasulullah SAW sebagaimana telah disebutkan di atas. Kemudian mereka menyatakan bahwa ihya’ al-mawat merupakan salah satu cara pemilikan tanah. Karenanya tidak perlu dibedakan antara muslim dan non muslim.
Terhadap syarat yang terkait dengan proses penggarapan tanah, menurut madzhab Maliki, jika tanah tersebut dekat dengan pemukiman, maka untuk menggarapnya harus mendapat izin dari pemerintah. Tetapi jika letaknya jauh dari pemukiman, maka tidak perlu izin pemerintah.
      4. Temuan dalam Tanah Baru
Menurut Hendi Suhendi bahwa seseorang yang telah memilki tanah atau lahan dibolehkan mengelola dan memanfaatkannya sesuai dengan kehendaknya, dan yang terpenting tidak mengganggu milik orang lain dan menghalangi hak-hak sosial. Batas-batas lahan atau tanah harus ditandai dengan jelas seperti ditandai pohon-pohon, pagar, tiang beton dan lain sejenisnya, yang terpenting dapat menunjukkan batas-batas tanah miliknya secara jelas. Hal ini dilakukan untuk menghindari perselisihan kepemilkan hak dengan orang lain.
Dalam salah satu hadist yang terkait dengan ihya al-mawat Rasulullah SAW bersabda :
قا ل رسول الله صلى عليه وسلم لا ضرر ولا ضرار (رواه احمد وابن ما جه)
Artinya : “Seseorang tidak boleh menyusahkan dan tidak boleh disusahakan (HR.Ahmad dan Ibnu Majah).
Idris Ahmad berpendapat, bahwa barang siapa yang menghidupkan tanah mati, kemudian dari tanah tersebut memunculkan benda-benda yang tersembunyi (seperti barang-barang berhaga atau barang tambang), maka benda-benda itu menjadi miliknya, sedangkan air, rumput dan api/kayu bakar tetap menjadi milik masyarakat karena mengandung nilai-nilai sosial